Di balik wajah suram pendidikan yang masih menempatkan perempuan sebagai objek, buah-buah pemikiran perempuan pendidik perlu terus-menerus digali.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dunia pendidikan di sepanjang tahun 2021 tidak lepas dari polemik isu perempuan. Beberapa isu yang sempat mencuat, antara lain soal aturan seragam perempuan di sekolah, kekerasan seksual pada anak perempuan di lingkungan pendidikan, candaan seksis, hingga peran pengasuhan di rumah.
Di acara diskusi dan refleksi akhir tahun Yayasan Cahaya Guru (YCG) bertajuk Perempuan dan Pendidikan : Belajar dari Pemikiran Perempuan Pendidik, Selasa (28/12/2021), buah-buah pemikiran perempuan pendidik digali dari sejumlah tokoh perempuan. Beberapa sosok perempuan pendidik tersebut, yaitu Rohana Kudus dari Sumatera Barat; Dewi Sartika dari Jawa Barat, Gedong Bagoes Oka dari Bali; dan Maria Walanda Maramis dari Sulawesi Utara.
Ketua YCG Henny Supolo Sitepu mengatakan, banyak pemikiran perempuan yang luar biasa untuk negeri ini. Dari para tokoh perempuan yang memperjuangkan pendidikan bagi kaumnya dan bangsanya, tergambar sosok perempuan yang mandiri dan tetap berjuang dalam keterbatasan.
“Kemandirian yang dimiliki perempuan perlu disebarluaskan supaya orang-orang di sekitarnya berani untuk mandiri,” kata Henny.
Pemikiran perempuan pendidik ini tak sekadar berkutat pada kegiatan membaca dan menulis atau belajar di ruang kelas. Pendidikan mereka maknai lebih luas, yaitu untuk memberdayakan diri, sehingga mampu menjadi sosok yang percaya diri dan mandiri.
Upaya ini bukan untuk berada di depan atau di belakang laki-laki, tapi di samping laki-laki untuk bersama-sama memperjuangkan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera bagi semua kaum.
Kepala Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat Yefri Heriani berbicara tentang Rohana Kudus atau akrab disapa One Rohana, sosok perempuan Minangkabau, Sumatera Barat yang sering diperbicangkan. “Baru-baru ini saya datang ke Perkumpulan Kerajinan Amei Setia yang didirikan One Rohana. Ternyata sosok dan pemikirannya tidak diinternalisasi ke generasi berikutnya, terutama di sekolah-sekolah Koto Gadang. Karena itu, saya mengingatkan supaya tidak sekadar mengajar kerajinan yang menjadi muatan lokal, tapi juga buah pemikirannya,” kata Yefri.
Menurut Yefri, meskipun tidak menikmati pendidikan formal, Rohana beruntung karena bisa belajar membaca dan menulis dari ayah, tetangga, dan neneknya. Pengetahuannya berkembang karena asupan bacaan yang luas.
Dia mau melakukan perubahan pola pikir dan mempertanyakan mengapa pendidikan hanya untuk laki-laki. Padahal, para lelaki pun tak ada perhatian untuk memberikan pengetahuan yang baik pada perempuan.
Keterpanggilan untuk memberikan pendidikan kepada para perempuan diwujudkan dengan mendirikan Perkumpulan Kerajinan Amei Setia pada tahun 1911. Dimulai dari rumahnya, kemudian Rohana menjadikan lembaga ini milik bersama.
“Bagi Rohana, pendidikan bukan sekadar untuk membuat perempuan dapat membaca dan menulis. Pendidikan adalah upaya untuk membuat perempuan dan laki-laki meningkat kepercayaan dan harga dirinya dengan pengetahuan, keterampilan, dan keberdayaan diri dalam melihat dunia luas,” ujar Yefri.
Menurut Yefri, mendidik memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan berbagai keberagaman. Pengekangan yang terjadi pada perempuan dan pengaturan kelas sosial dalam mengakses pendidikan pada zaman dahulu menjadi penghambat bagi perempuan untuk bisa berkembang dan menghadirkan jati diri mereka di ruang publik.
Kemandirian Perempuan
Sementara itu, Kenny Dewi Krisdiany, Akademisi dan Ketua Yayasan Awika yang juga cicit Dewi Sartika, mengatakan, salah satu kutipan dari Dewi Sartika, yaitu: hanya dengan pendidikan, kita akan tumbuh menjadi suatu bangsa. Namun, dalam perjalanan hidupnya, Dewi Sartika melihat keterbatasan perempuan mendapatkan pendidikan dan hidupnya banyak bergantung pada suami.
Di usia 18 tahun, Dewi Sartika mulai mengajarkan banyak hal pada perempuan. Kegiatannya tercium inspektur pendidikan Belanda, tapi kemudian Dewi Sartika mampu meyakinkan bahwa dia menanamkan kepada perempuan agar bisa melakukan segala hal supaya punya kepercayaan diri dan tidak bergantung pada suami. Perjuangan salah satunya diwujudkan dengan mendirikan Sakola Istri.
“Pengajaran tidak terbatas baca tulis. Pengajaran adalah pemahaman atau sarana berbenah untuk memajukan segala hal. Konsep pendidikan adalah hal-hal yang diperlukan untuk menjadi keutamaan dari kehidupan individu sebagai manusia. Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku, bukan sekadar pendidikan akademis,” kata Kenny .
Isyana Bagoes Oka, politisi yang juga cucu Gedong Bagoes Oka mengisahkan tentang neneknya yang dikenal sebagai perempuan pendidik dan berjuang untuk perdamaian dan keragaman. Gedong menjadi perempuan pertama dari Bali yang menjadi anggota DPR dan anggota MPR dari utusan golongan Hindu di masa Kabinet Gotong Royong.
Gedong berasal dari keluarga yang terpandang. Dia menjadi satu dari empat perempuan Bali pertama yang bisa mengenyam pendidikan di Yogyakarta.
Saat berada di Yogyakarta, Gedong tinggal dengan keluarga pendeta yang dianggap seperti keluarganya. Di sinilah dia mulai belajar tetang keberagaman. Sebenarnya, Gedong hendak menjadi dokter, tapi ayahnya meminta agar ia menjadi guru saja.
Gedong punya perhatian untuk pendidikan perempuan. Salah satunya mendirikan Ashram Gandhi di Candi Dasa yang memberikan beasiswa pendidikan bagi perempuan tidak mampu. Di sini juga diajarkan pemikiran Mahatma Gandi untuk saling menghormati dan membangun dialog antariman.
Ruth Ketsia Wangkai, Aktivis Gerakan Perempuan di Sulawesi Utara yang juga Pendeta berbagi kisah tentang buah pemikiran pendidikan dari Maria Walanda Maramis. Pahlawan nasional dari Minahasa ini menjadi yatim piatu di usia enam tahun. Dia hanya bisa menikmati pendidikan formal selama tiga tahun yang menjadi standar bagi perempuan biasa di Minahasa ketika itu. Sementara itu, saudaranya laki-laki bisa sekolah lebih tinggi.
Kepindahannya ke Manado untuk mengikuti suaminya dan pergaulan yang luas, membuat keinginannya untuk memajukan kaum perempuan di pendidikan menguat. Pengalaman diskriminasi berbasis jender karena perempuan tidak boleh mendapatkan pendidikan tinggi dan perbedaan sekolah berdasarkan kelas sosial membuat Maria gelisah dan memunculkan pemberontakan di dalam dirinya. Dia meyakini perempuan dan laki-laki setara.
“Maria Walanda Maramis kemudian juga menjadi tokoh perempuan yang vokal sehingga berkiprah hingga sampai ke politik,” kata Ruth.