Perempuan Harus Lebih Berani Bicara dan Tunjukkan Potensi
Peringatan Hari Ibu tidak semata sebagai momen untuk mengucapkan terima kasih atas jasa para ibu. Peringatan itu sekaligus jadi momentum agar kaum perempuan berani bersuara dan menunjukkan potensi demi kemajuan bangsa.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Peringatan Hari Ibu jadi momentum menghadirkan pengakuan atas peran penting kaum perempuan dalam pembangunan. Momen itu sekaligus membangkitkan semangat perempuan agar berani bersuara, menunjukkan potensi, serta berdaya membangun kesetaraan dan kehidupan sejahtera.
”Momentum istimewa ini harus membangkitkan semangat kaum perempuan untuk lebih berani berbicara dan menunjukkan potensi serta makin inovatif berkontribusi bagi kemajuan bangsa,” kata Ibu Negara Iriana Joko Widodo, secara daring, pada Puncak Peringatan Hari Ibu (PHI) Ke-93 Tahun 2021, Rabu (22/12/2021).
Puncak PHI Ke-93 yang bertema ”Perempuan Berdaya, Indonesia Maju” itu berlangsung secara daring-luring di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta, Rabu (22/12/2021). Kongres Perempuan Indonesia I pada 1928 diselenggarakan di Yogyakarta. Kini Gedung Mandala Bhakti Wanitatama menjadi Monumen Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia.
Momentum istimewa ini harus membangkitkan semangat kaum perempuan untuk lebih berani berbicara dan menunjukkan potensi, serta makin inovatif berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Wakil Gubernur DI Yogyakarta Sri Paduka Paku Alam X yang hadir mewakili Gubernur DIY menegaskan, Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 merupakan momentum spesifik menandai babak baru.
Hal itu disebabkan peristiwa tersebut menandai kebangkitan gerakan perempuan Indonesia untuk berorganisasi secara demokratis tanpa membedakan agama, etnis, dan kelas sosial. Subyeknya adalah perempuan yang secara umum tidak terbatas pada mereka yang secara etimologi ibu yang dimaknai perempuan.
Terkait dengan hal itu, Hari Ibu merupakan peringatan atas eksistensi perempuan dalam bermasyarakat dan bernegara. ”Kita perlu meluruskan miskonsepsi terkait dengan makna dan cakupan perayaan Hari Ibu sehingga dapat kembali ke roh asalnya,” kata Paku Alam X.
Selain mengucapkan Selamat Hari Ibu kepada semua perempuan di Indonesia, Iriana menegaskan, Hari Ibu merupakan tonggak penting dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia untuk ikut berkontribusi memajukan bangsa dan negara.
Pada kesempatan tersebut, Iriana menyatakan kekaguman kepada para ibu Indonesia yang tangguh selama pandemi Covid-19. Kaum perempuan membuktikan ketangguhan dan daya juangnya untuk bertahan dari berbagai kesulitan, melindungi anak-anak keluarga dan orang-orang di sekitarnya agar tetap sehat dan produktif.
Situasi tersebut menguatkan keyakinan bahwa perempuan adalah pilar sekaligus penggerak penting pembangunan bangsa. ”Saya mengajak kaum ibu, kaum perempuan Indonesia, tidak berhenti berjuang untuk kemajuan perempuan dan kemajuan Indonesia,” kata Iriana.
Lebih lanjut Iriana memotivasi perempuan-perempuan Indonesia agar menjadi perempuan yang berdaya dan terdepan dalam pembentukan karakter bangsa, menyiapkan generasi masa depan yang kuat dan tangguh.
”Kita harus bergerak bersama bangsa lain untuk menurunkan angka stunting (tengkes), menurunkan angka kematian ibu saat melahirkan, menekan tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta memperkuat ekonomi keluarga dengan menggerakkan semangat kewirausahaan,” ajak Iriana.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengutarakan, peringatan Hari Ibu sesungguhnya perayaan bagi semua perempuan Indonesia. ”Ini merupakan pengakuan atas capaian dan arti penting kerja perempuan di berbagai sektor pembangunan,” ucapnya.
Tak boleh tertinggal
Bintang mengatakan, Hari Ibu merupakan apresiasi bagi perjuangan perempuan Indonesia sekaligus memperbarui tekad berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan kemajuan bangsa. Apalagi perempuan yang mengisi setengah dari populasi Indonesia adalah kekuatan sumber daya manusia bangsa.
”Pemberdayaan perempuan jadi urusan setiap warga negara Indonesia karena manfaatnya dirasakan secara nasional, bahkan global. Jika kita menginginkan Indonesia maju, kaum perempuan tak boleh tinggal di belakang,” ujarnya.
Menurut Ketua Kongres Wanita Indonesia Giwo Rubianto, aspirasi perempuan sejak Kongres Perempuan I tahun 1928 perlu terus digaungkan sebab masalah yang terjadi 93 tahun lalu masih terjadi.
”Kita harus bersama memperjuangkan perlindungan perempuan. Jangan cuma aktivis dan organisasi perempuan berteriak. Kalau anggota DPR tak sepakat dengan perjuangan perempuan, ya,sulit. Belum lagi aparat hukum,” kata Giwo seraya mencontohkan sulitnya memperjuangkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriayani mengatakan, perlu upaya strategis memastikan kesetaraan substantif lelaki dan perempuan serta mewujudkan kehidupan bebas diskriminasi dan kekerasan pada perempuan.
”Laju angka pelaporan kekerasan pada perempuan belum ditopang kapasitas memadai merespons korban dalam memperjuangkan keadilan dan pemulihan,” ujarnya.
Sejauh ini kesenjangan perempuan dan lelaki di dunia kerja masih terjadi. Program Officer Organisasi Buruh Internasional (ILO) Tendy Gunawan memaparkan, kesenjangan ini kian besar dialami pada perempuan disabilitas. ”Perempuan disabilitas termarjinalkan terhadap akses pendidikan hingga pekerjaan,” ucapnya.
Sementara itu, sejumlah organisasi perempuan kepala keluarga menuntut kesetaraan dalam pencantuman nama ayah atau ibu dalam perjalanan pendidikan anak mereka. Sebagai kepala keluarga, mereka berjuang membiayai dan mendidik anaknya tanpa dibantu suami.
Poppy Dihardjo, orangtua tunggal dari Komunitas Perempuan Tanpa Stigma, menginisiasi agar nama ibu dicantumkan di ijazah. Ia membuat petisi di change.org yang menembus 16.000 penanda tangan.
Pemerintah lalu menerbitkan Surat Edaran Sekjen Kemendikbudristek Nomor 28/2021 tentang Pengisian Blangko Ijazah Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Di situ dicantumkan bahwa dalam mengisi lembar ijazah dapat mencantumkan nama ayah, ibu, atau wali peserta didik mengikuti permohonan ayah, ibu, atau wali peserta didik yang bersangkutan.
Selain itu, perempuan disabilitas menghadapi banyak tantangan untuk bekerja di sektor formal ataupun informal. Hal ini membuat perempuan dengan disabilitas makin rentan. Dukungan pun perlu diberikan, khususnya berupa peningkatan kapasitas dan perluasan kesempatan kerja.
Survei yang dilakukan oleh UN Women menunjukkan adanya ketimpangan jender pada akses pekerjaan antara perempuan dan laki-laki dengan disabilitas. Saat ini, hanya ada 19 persen perempuan dengan disabilitas yang bisa mendapat pekerjaan, sementara laki-laki mencapai 52 persen.
Program Officer International Labour Organization (ILO) Tendy Gunawan di Jakarta, Rabu (22/12/2021), mengatakan, kesenjangan masih terjadi antara perempuan dan laki-laki di dunia kerja. Kesenjangan ini makin besar dialami pada perempuan disabilitas. (DEONISIA ARLINTA/ESTER LINCE NAPITUPULU)