Penutur bahasa Indonesia lebih memilih nama Sinterklas daripada Santa Claus dalam praktik berbahasa sehari-hari. Ini lebih karena faktor sosiobudaya dan fonologis.
Oleh
Stephanus E Bala
·3 menit baca
Tak kenal maka tak sayang. Demikian pepatah lama mengatakan. Pepatah ini berlaku juga bagi tokoh Natal yang dijuluki Sinterklas. Dia begitu populer di berbagai kalangan, terutama anak-anak. Janggut putihnya yang panjang dan topi kuncup merahnya menjadi ikon pada setiap bulan Desember. Tokoh ini biasanya ditemani oleh Piet Hitam yang membawa karung hadiah yang siap dibagikan.
Sinterklas alias Santa Claus diduga terinspirasi gambaran seorang uskup Nikolaus yang suka berbagi hadiah kepada anak-anak. Dipercaya bahwa uskup Nikolaus dilahirkan sekitar tahun 280 Masehi di Patara, dekat Myra di Turki modern. Kemudian dia menjadi uskup di Myra dan sangat dikagumi karena kebaikannya.
Sinterklaas (demikian penulisan menurut versi Kamus Umum Belanda-Indonesia karya Wojowasito, 2003), konon, melepaskan semua kekayaannya dan melakukan perjalanan ke desa-desa untuk membantu orang miskin dan sakit. Salah satu cerita yang paling terkenal adalah saat dia menyelamatkan tiga saudara perempuan miskin yang akan dijual sebagai budak atau pelacur oleh ayah mereka dengan memberi mereka mas kawin sehingga mereka bisa menikah.
Dalam Ensiklopedi Gereja (2005), uskup ini bahkan pernah dimasukkan ke dalam penjara selama lima tahun pada masa Kekaisaran Romawi yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kaisar Diolectianus (245-312 M). Kemurahan hatinya dianggap sebagai sikap menentang kebijakan kaisar.
Bagi penutur bahasa Indonesia, nama Sinterklas lebih disukai daripada Santa Claus. Ini lebih karena faktor sosiobudaya dan fonologis. Nama Sinterklas merupakan nama warisan budaya Belanda yang masuk bersama penjajahan Belanda. Jadi, sudah tidak asing di telinga penutur bahasa Indonesia. Sementara itu, dilihat dari sisi fonologi atau pengucapan, kata Sinterklas lebih ”nyaman” dilafalkan ketimbang Santa Claus yang dibawa oleh budaya Amerika.
Barangkali karena alasan itu pula KBBI daring menggunakan nama Sinterklas, bukan Santa Claus. Dalam penjabarannya, Sinterklas dimaknai sebagai ’tokoh suci (dalam agama Kristen) yang konon sangat sayang dan selalu memberikan hadiah kepada anak-anak pada hari-hari penting (terutama pada ulang tahunnya, tanggal 6 Desember).’
Di Amerika sendiri, yang menggunakan nama Santa Claus, tokoh ini begitu cepat menjadi populer. Ya, kita tahu bahwa Amerika memang jago dalam hal pemasaran ide. Untuk itu, berbagai acara digelar secara komersial, yang tentu saja menghasilkan jutaan dollar AS.
Para orangtua dipersuasi untuk merogoh kocek lebih banyak demi kebahagiaan anak-anak mereka. Berbagai pernak-pernik Sinterklas diproduksi, mulai dari pakaian Sinterklas hingga berbagai hiasan Natal dan mainan anak-anak. Sinterklas pun dicitrakan meluncur di atas kereta salju bersama rusa-rusa penarik kereta yang membawa berbagai hadiah Natal bagi anak-anak.
Secara lebih komersial, acara Sinterklas dijual di berbagai mal. Sinterklas berbagi potongan harga dan berbagi hadiah tambahan bagi tiap pengunjung dan pembeli. Dapat kita bayangkan berapa besar uang yang diputar dalam bisnis Sinterklas ini di seluruh dunia. Bisnis musiman yang menggiurkan.
Dalam berbagai kegemerlapan dekorasi dan kerlap-kerlip lampu Natal, Sinterklas Sang Pemurah membawa pesan untuk tetap berbagi kasih yang membawa kebahagiaan. Berbagi kasih tak perlu memandang tingkat kekayaan, warna kulit atau keturunan, bahkan agama. Lakukan saja.
Stephanus E Bala, Dosen Bahasa Indonesia di Universitas Multimedia Nusantara