Selamatkan Anak-anak, Negara Harus Bertindak Cepat
Kekerasan seksual tak berjeda, bahkan pada masa pandemi Covid-19. Bahkan anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan berbasis agama pun menjadi korban. Perlu ada langkah cepat untuk melindungi anak-anak.
Bejat, biadab, kejam, dan berbagai kata-kata yang menggambarkan perbuatan tak berperikemanusiaan dilontarkan warganet di media sosial menanggapi kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan Herry Wirawan (36), pemimpin sekaligus guru di Madani Boarding School, Kota Bandung, Jawa Barat. Kasus ini menjadi sorotan karena figur seseorang yang seharusnya menjadi teladan dan pelindung justru merusak dan menghancurkan masa depan anak didiknya.
Perbuatan Herry memerkosa 12 anak didiknya hingga hamil dan melahirkan selama kurun waktu 2016-2021 terus mengundang kemarahan dan kecaman publik. Foto Herry diunggah di media sosial dan publik mendesak agar pelaku pemerkosaan dihukum seberat-beratnya.
Herry saat ini menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Jawa Barat. Ia ditahan di Rumah Tahanan Kebon Waru Bandung sejak 1 Juni 2021.
Hingga Minggu (12/12/2021), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mendampingi 21 anak. Sebanyak 13 santriwati berusia 16-17 tahun diketahui mengalami pemerkosaan, dan 8 korban di antaranya mengandung serta melahirkan sembilan anak. Dari delapan korban, ada satu di antaranya yang melahirkan dua anak.
Kasus kekerasan seksual di lembaga berbasis agama bukanlah yang pertama. Selama ini, hanya beberapa kasus yang terpantau media dan dipublikasikan. Banyak yang tidak terungkap atau berhenti di tengah jalan dengan berbagai alasan.
Negara diminta tidak diam dan segera hadir melindungi dan mencegah praktik-praktik kejahatan seksual yang bertahun-tahun tersembunyi di balik tembok-tembok lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Tangan-tangan negara harus segera bertindak cepat, membongkar berbagai kekerasan seksual yang selama ini sulit tersentuh proses hukum.
Selain menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) perlu segera membuka kontak pengaduan masyarakat tentang tindak kekerasan di satuan pendidikan berbasis agama.
Baca juga : Darurat Kekerasan Seksual
Langkah tersebut harus segera dilakukan untuk mencegah lebih banyak lagi korban yang jatuh. Peserta didik dan orangtua agar tidak takut melaporkan jika ada indikasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan.
”Kita tengah mengalami darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan,” ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G).
Dari catatan P2G, sepanjang 2021 ada sejumlah kasus kekerasan seksual tempat pendidikan berbasis agama di 27 kota/kabupaten. Beberapa daerah itu, antara lain, adalah Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jatim); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta); serta Cianjur dan Garut (Jabar).
Di luar Jawa, kasus serupa terjadi di Kubu Raya (Kalbar), Padang Panjang dan Solok (Sumbar), Aceh Tamiang (Aceh), Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel), Bintan (Kepri), Tenggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung), Pinrang (Sulsel), Balikpapan (Kaltim), Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), dan Jembrana (Bali).
Mayoritas korban adalah anak-anak usia di bawah 18 tahun, bahkan ada yang masih berusia 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana. Rata-rata, kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari satu tahun.
Di Trenggalek, korbannya sampai 34 santriwati. Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, tetapi juga santri laki-laki, seperti kasus di Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan Ogan Komering Ilir.
Perlu pengawasan sistematis
Munculnya kasus-kasus tersebut diharapkan mendorong Kemenag mempercepat penyusunan aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaan yang dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru. ”Berdasarkan fakta di atas, kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama tak hanya di lembaga formal yang terdaftar, tetapi juga lembaga pendidikan yang belum terdaftar di Kemenag,” kata Anggota Dewan Pakar P2G, Rakhmat Hidayat.
Baca juga : Perlindungan Korban Kekerasan Seksual
Di Indonesia, satuan pendidikan pesantren mencapai 33.980 pesantren dan 83.468 madrasah. Dari jumlah tersebut, hanya 5 persen madrasah milik pemerintah atau statusnya negeri, sementara 95 persen lainnya adalah swasta. Data ini belum termasuk pesantren atau madrasah yang belum terdaftar di Kemenag.
”Kemenag dan Kanwil Kemenag daerah wajib melakukan pengawasan sistematis dan berkala terhadap pesantren atau lembaga pendidikan agama yang tidak terdaftar,” kata Rakhmat.
Kementerian PPPA pada 2018-2019 juga melakukan pendataan crawling pemberitaan media terkait dengan kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di pesantren. Hasilnya, ditemukan 37 kasus kekerasan pada anak, dan dari 37 kasus tersebut, 67 persen didominasi oleh kasus kekerasan seksual.
Data kasus kekerasan seksual anak di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simpon-PPA) menunjukkan, pada 2020 tercatat sebanyak 823 kasus, tahun 2021 (606), dan 2021 (62). ”Data ini mungkin lebih kecil dari kondisi sebenarnya karena sampai saat ini kita masih menemukan kasus-kasus serupa terjadi di satuan pendidikan,” papar Nahar, Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA.
Turunkan tim investigasi
Setelah mencuatnya kasus pemerkosaan santri di Pesantren Manarul Huda Antapani, akhir pekan lalu, Jumat (10/12/2021), Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, pihaknya akan melakukan investigasi menyeluruh ke semua lembaga pendidikan madrasah dan pesantren.
”Yang kita khawatirkan ini adalah puncak gunung es. Kita menurunkan tim untuk melihat semua dengan melibatkan jajaran Kemenag di daerah masing-masing. Kalau ada hal serupa, kita akan lakukan mitigasi segera. Jadi, jangan tunggu kejadian dulu baru bergerak. Semua lembaga pendidikan akan kami lakukan investigasi,” ujar Yaqut.
Baca juga : Kekerasan Seksual Terulang
Selain investigasi, Kemenag juga akan melakukan pendataan masalah-masalah yang sama di semua lembaga pendidikan berbasis agama serta menyiapkan regulasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama.
Dari informasi yang diperoleh, setahun lalu, untuk mencegah kekerasan terhadap anak atau santri/santriwati, Kemenag sudah menerbitkan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor 91 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendidikan Al Quran. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi ”oknum nakal” yang menyalahgunakan lingkungan pendidikan agama sebagai sarana untuk melakukan kekerasan. Namun, untuk kekerasan seksual belum spesifik diatur.
Kemen PPPA bersama kementerian/lembaga terkait saat ini juga tengah menyusun standar lembaga perlindungan khusus ramah anak sebagai upaya bersama memantau lembaga-lembaga yang melayani dan mengasuh anak.
Awasi semua lembaga pendidikan
Kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan berbasis agama, tetapi juga di lembaga pendidikan di bawah Kemendikbudristek. Hasil pengawasan kasus kekerasan seksual terhadap peserta didik di satuan pendidikan, pada tahun 2018-2019, dan 2021, sejumlah laporan masuk ke KPAI.
”Korbannya mencapai puluhan siswa/siswi karena pelaku melaksanakan aksi bejatnya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Trennya pun berubah, kalau sebelumnya korban kebanyakan anak perempuan, tetapi data terakhir justru korban mayoritas anak laki-laki, dan berusia SD dan SMP,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan.
Retno mencontohkan, kasus kekerasan seksual oknum guru di Kabupaten Tangerang, korbannya mencapai 41 siswa, Jombang (25 siswi), Jakarta (16 siswa), Cimahi (7 siswi), dan Surabaya (65 siswa). Oknum guru pelaku berstatus guru PNS, guru tetap, dan guru honorer.
Modusnya, antara lain, korban diajari Matematika, tetapi selesai jam belajar sehingga suasana sepi, diajak menonton film porno saat jam istirahat di dalam ruang kelas. Modus lainnya adalah diancam mendapatkan nilai jelek jika menolak, diberi uang oleh pelaku antara Rp 2.000-Rp 5.000, dibelikan telepon genggam, dibelikan pulsa dan pakaian, dipacari, dijanjikan dinikahi, dan bahkan ada guru yang melakukan pelecehan seksual saat korban ganti pakaian olahraga di ruang ganti.
Karena itu, KPAI mendorong adanya pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan peserta didik di semua jenjang pendidikan agar harus sejak dini dididik untuk melindungi tubuhnya agar tidak disentuh oleh orang lain selain dirinya sendiri.
Pihak sekolah juga membuka posko pengaduan dan mendorong anak-anak berani melapor jika mengalami kekerasan yang dialaminya. Sekolah diminta mencantumkan nomor-nomor kontak pengaduan instansi lain, seperti KPAI, KPAD, UPT P2TP2A, dan lembaga perlindungan anak.
Tak hanya itu, Kemendibudristek agar menguatkan sosialisasi Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan ke jajarannya, para guru, dan para birokrat pendidikan. Itu karena hingga kini permen tersebut belum dipahami oleh para pendidik dan para birokrat pendidikan.
Berbagai kasus yang terus mencuat dengan deretan korban anak-anak seharusnya sudah cukup menjadi alarm bagi semua pihak, pemerintah ataupun masyarakat, untuk bangkit menghentikan kejahatan seksual tersebut. Maka, kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual semakin mendesak!