Investigasi Menyeluruh Lembaga Pendidikan Berbasis Agama
Terungkapnya sejumlah kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan berbasis agama dikhawatirkan menjadi fenomena gunung es. Audit menyeluruh semua lembaga pendidikan itu mendesak dilakukan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Agama diminta memperketat pengawasan terhadap lembaga pendidikan berbasis agama. Terungkapnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan HW, pemimpin salah satu pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat, seharusnya mendorong lahirnya peraturan pengawasan dan pencegahan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama.
”Kami mendorong Kementerian Agama membuat peraturan menteri untuk membangun sistem pengawasan dan pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan di bawah terutama pondok pesantren atau sekolah-sekolah berasrama lainnya,” ujar Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, Minggu (12/10/2021).
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, dalam siaran pers, di laman Kementerian Agama, menegaskan, pihaknya akan menginvestigasi secara menyeluruh ke semua lembaga pendidikan madrasah dan pesantren setelah mencuatnya kasus dugaan asusila di Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung, Jawa Barat.
”Kita sedang melakukan investigasi ke semua lembaga pendidikan baik madrasah dan pesantren. Yang kita khawatirkan ini adalah puncak gunung es. Kita menurunkan tim untuk melihat semua dengan melibatkan jajaran Kemenag di daerah masing-masing,” kata Menag kepada media seusai mendampingi Presiden Joko Widodo di acara Kongres Ekonomi Umat Ke-2, di Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Infografik: Kekerasan seksual pada anak
”Kalau ada hal serupa, kita akan melakukan mitigasi segera. Jadi, jangan tunggu kejadian dulu baru bergerak. Semua lembaga pendidikan akan kami lakukan investigasi,” ujar Gus Yaqut, sapaan Menag.
Menurut Menag, kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan salah seorang pemimpin pesantren di Bandung kini menjadi masalah bersama. ”Ini adalah problem bersama dan kita akan atasi bersama-sama. Jadi, kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan semua tindakan asusila itu harus disikat,” tandasnya.
Kita sedang melakukan investigasi ke semua lembaga pendidikan baik madrasah dan pesantren. Yang kita khawatirkan ini adalah puncak gunung es.
Sebagaimana diberitakan, HW (36) oknum pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani, Kota Bandung dan Madani Boarding School Cibiru viral diduga memerkosa belasan santriwati. Perbuatan pelaku yang juga guru terhadap belasan santriwati berlangsung sejak tahun 2016 hingga 2021, dan mengakibatkan 13 santri berusia 16-17 tahun mengandung serta melahirkan anak. Beberapa santriwati lain kini juga mengandung.
Saat ini, pelaku menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Jawa Barat, dan ditahan di Rumah Tahanan Kebon Waru Bandung sejak tanggal 1 Juni 2021. Hingga pekan lalu, di media sosial, warganet terus mengecam dan mengutuk pelaku, dan meminta penegak hukum menuntut dan menghukum pelaku seberat-beratnya.
Selain itu, Kementerian Agama mencabut izin operasional Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung. Tindakan tegas ini diambil karena pemimpinnya yang berinisial HW diduga memerkosa sejumlah santri.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Waryono mengungkapkan, pihaknya sejak awal mengawal kasus ini, berkoordinasi dengan Polda Jawa Barat dan KPAI Jawa Barat. Langkah pertama yang sudah diambil, yakni menutup dan menghentikan kegiatan belajar mengajar di lembaga pesantren tersebut.
Kemenag langsung memulangkan seluruh santri ke daerah asal masing-masing dan membantu mereka mendapatkan sekolah lain untuk melanjutkan belajarnya. Selain itu, pesantren Tahfidz Quran Almadani yang juga diasuh HW ditutup. Lembaga itu belum memiliki izin operasional dari Kemenag.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam M Ali Ramdhani mengatakan, pemerkosaan merupakan tindakan kriminal. Kemenag mendukung langkah hukum yang diambil kepolisian. Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif membatasi ruang gerak lembaga yang melakukan pelanggaran berat seperti ini. ”Kita mencabut izin operasional pesantren tersebut,” ujarnya, Jumat (10/12).
Kanal pengaduan
Menyikapi kasus itu, KPAI meminta agar Kementerian Agama membuat regulasi yang ketat untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama. Kemenag juga diminta membuat kanal-kanal pegaduan.
Kanal itu tidak hanya mencantumkan nomor kontak satuan pendidikan, tetapi juga nomor-nomor pengaduan dari lembaga perlindungan anak, seperti KPAI/KPAD (Komisi Perlindungan Anak Daerah) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat.
Pemerintah juga didesak untuk memperhatikan para korban terkait hak pemulihan psikologi dan hak atas pendidikan. ”Para korban harus dicarikan satuan pendidikan baru agar mereka bisa melanjutkan pendidikannya. Sebab, ada satu santriwati yang sudah bersekolah lalu dikeluarkan pihak sekolah lantaran ketahuan sudah memiliki atau melahirkan anak. Padahal, anak ini korban kejahatan HW,” kata Retno.
Selain itu, para pendidik diharapkan memiliki perspektif korban dan perlindungan anak. Hak atas kesehatan anak-anak korban, juga anak-anak yang dilahirkan perlu mendapat perhatian pemerintah daerah, termasuk pengasuhan anak-anak yang dilahirkan dan perawatan anak-anak yang hamil. Ini harus jadi perhatian pihak terkait di daerah.
Hingga Minggu (12/12), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terus mengawal proses hukum kasus kekerasan seksual yang dilakukan HW. Kementerian PPPA melalui unit pelayanan teknis daerah daerah (UPTD) dan P2TP2A bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Anak (LPSK) mendampingi anak-anak korban.
”Sejauh ini pendampingan dilakukan pada 21 anak. Sebanyak 13 santriwati berusia 16-17 tahun diketahui mengalami pemerkosaan, dan 8 di antaranya mengandung dan melahirkan 9 anak (ada korban melahirkan dua anak),” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA, Nahar. (EVY RACHMAWATI)