Kementerian Agama Diminta Membuat Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terus mendera perempuan dan anak-anak, bahkan di masa pandemi. Kejahatan kemanusiaan itu bahkan terjadi di tempat-tempat yang seharusnya melindungi anak-anak.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah berbasis agama terus berulang di beberapa daerah di Indonesia. Karena itu, Kementerian Agama diminta segera menerbitkan aturan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan tersebut.
Salah satu kasus kekerasan seksual terungkap dilakukan oleh pemimpin salah satu pondok pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat. Berbagai kecaman dan kutukan dilontarkan publik karena perbuatan pelaku sejak 2016 hingga 2021 yang memperkosa belasan santriwati sehingga mengandung dan melahirkan anak.
Selain menuntut aparat penegak hukum menghukum pelaku dengan hukuman maksimal untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak, Kementerian Agama diminta segera membuat Peraturan Menteri Agama tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama. Satuan pendidikan itu meliputi madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasekha.
Hingga Jumat (10/12/2021), hukuman maksimal pada pelaku disuarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan lembaga perlindungan anak. Kasus itu diharapkan mendorong DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
”Itu kebiadaban yang luar biasa. Anak yang seharusnya di tempat yang aman, justru pelakunya ada di situ. Kami meminta hukuman yang maksimal karena korbannya banyak. Ini penting,” kata Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati.
Baca juga : Kekerasan Seksual adalah Kejahatan Kemanusiaan
Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA, Nahar, menyatakan, pihaknya mengawal proses hukum kasus kekerasan seksual di Bandung. Dari informasi yang diterima Kementerian PPPA, ada 13 anak menjadi korban, delapan anak di antarnya yang hamil dan sudah melahirkan 9 anak (ada satu anak melahirkan 2 anak).
Itu kebiadaban yang luar biasa. Anak yang seharusnya di tempat yang aman, justru pelakunya ada di situ. Kami meminta hukuman yang maksimal karena korbannya banyak.
”Kami mendukung proses peradilan yang berlangsung serta mendorong penerapan hukuman yang tegas dan maksimum terhadap terdakwa yang telah bertindak amat keji terhadap anak yang ingin mendapat pendidikan terbaiknya,” kata Nahar.
Kementerian PPPA menilai, pelaku layak mendapatkan hukuman seberat-beratnya atau hukuman maksimum. Pelaku dapat diancam tambahan hukuman kebiri sesuai Pasal 81 Ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.
”Terkait dengan tuntutannya, seharusnya mempertimbangkan Pasal 81 UU Nomor 17 Tahun 2016, tidak hanya ayat (1) dan (3), tetapi juta ayat (4), (5), dan (7) yang dapat dikenakan hukuman maksimal dan kebiri kimia,” ucap Nahar.
Kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama sangat sering berulang. Karena itu, Kementerian PPPA mengharapkan adanya langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak lainnya.
”Kami juga mengharapkan orangtua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak. Ini sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan kepada lembaga tersebut,” kata Nahar.
Para korban saat ini mendapat pendampingan dari lembaga layanan perlindungan perempuan dan anak yang dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jabar.
Selain di Bandung, Jawa Barat, kekerasan seksual di ponpes juga terjadi di Tasikmalaya. Sekitar tiga pekan lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya menerima laporan seorang guru di salah satu ponpes melakukan kekerasan seksual kepada sembilan santri perempuan.
Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto, sebagaiman dikutip dari Kompas.com, menyatakan ada sembilan korban, tetapi yang baru melapor ke polisi dua korban. Para korban berusia di kisaran 15-17 tahun.
Di Cilacap, Jawa Tengah, juga terungkap seorang guru agama di salah satu SD di Cilacap, berinisial M (51), melakukan kekerasan sekesual terhadap 15 muridnya. Modus pelaku yang juga berstatus aparatur sipil negara (ASN) ini menjanjikan nilai bagus kepada muridnya. Saat diperiksa Kepolisian Resor Cilacap, Kamis (9/12/2021), pelaku mengaku tindak kekerasan seksual tersebut dilakukan di dalam kelas, saat jam istirahat.
Seharusnya jadi teladan
Pemberatan hukuman kepada oknum guru tersebut juga disuarakan P2G. Sebab, pelaku merupakan guru yang semestinya menjadi teladan, digugu dan ditiru, membangun karakter bagi muridnya, tetapi yang dilakukan sebaliknya.
”Hukuman maksimal penjara seumur hidup dan kebiri kimia bagi oknum guru agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat jangan sekali-sekali meniru perbuatan hina itu,” kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G.
Baca juga: Kekerasan Seksual Terulang
Pekan ini, berita tentang kekerasan seksual yang dilakukan HW, oknum pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani, Kota Bandung, dan Madani Boarding School Cibiru viral di media daring dan media sosial. Perbuatan pelaku yang juga guru terhadap belasan santriwati itu diketahui berlangsung sejak 2016 hingga 2021 sehingga mengakibatkan 13 santri berusia 16-17 tahun mengandung dan melahirkan anak. Beberapa santriwati lainnya saat ini juga tengah mengandung.
Saat ini, pelaku menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Jawa Barat, dan ditahan di Rumah Tanahan Kebon Waru, Bandung, sejak 1 Juni 2021. Hingga Jumat, di media sosial, warganet terus mengecam pelaku dan meminta penegak hukum menuntut dan menghukum pelaku seberat-beratnya.
Selain mengecam perbuatan oknum pendidik di ponpes tersebut, Komisioner KPAI Retno Listyarti menegaskan, pihaknya mendorong pemulihan psikologi para korban agar dapat melanjutkan masa depannya. Sebab, trauma kekerasan seksual bisa berlangsung sangat lama. ”Selain pemenuhan hak psikologi, hak atas pendidikan anak-anak tersebut juga wajib dijamin negara,” kata Retno.
Bukan kasus pertama
Karena itu, P2G mendesak Kementerian Agama segera membuat Peraturan Menag tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama. Peraturan tersebut sangat penting untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan agama, menyusul berbagai kasus kekerasan yang terjadi.
’Regulasi menteri agama sangat mendesak dibuat mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi,’ ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Peraturan tersebut mendesak karena dari catatan P2G, kekerasan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan asusila lainnya di satuan pendidikan berbasis agama bukan pertama kali terjadi. Kasus terjadi di 27 kota/kabupaten, antara lain di Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jawa Timur).
Kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama juga terjadi antara lain di Kubu Raya (Kalimantan Barat); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), serta Padang Panjang dan Solok (Sumatera Barat).
Kasus serupa terjadi di Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumatera Selatan); Bintan (Kepulauan Riau); Tenggamus, Way Kanan, Tulang Bawang, dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulawesi Selatan); Balikpapan (Kalimantan Timur); Kotawaringin Barat; Jembrana (Bali); dan Cianjur dan Garut (Jawa Barat).
Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.
Mayoritas korban adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun, bahkan ada yang berumur 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana. Umumnya, kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun. Bahkan, untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak, sampai 34 santriwati.
Adapun korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan. Ada juga santri laki-laki, seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pondok pesantren di Ogan Komering Ilir.
’Kami mendesak agar Kemenag, Kementerian PPPA, dan KPAI membuka hotline pengaduan masyarakat perihal tindak kekerasan di satuan pendidikan berbasis agama sehingga lebih cepat ditindaklanjuti,’ kata Satriwan.