Guru Daerah 3T Berinovasi Mencari Solusi
Para guru di daerah tetinggal, terdepan, dan terluar yang minim dari sentuhan pelatihan dan informasi tetap berupaya keras menggelar pembelajaran bagi anak-anak didik mereka.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah keterbatasan, guru-guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar berinovasi dalam mengatasi kendala pendidikan. Dengan penuh dedikasi, mereka melayani anak-anak agar dapat belajar.
Para guru tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang minim dari sentuhan pelatihan dan informasi terkini tentang metodologi pendidikan berupaya keras agar mampu mengatasi kendala pembelajaran. Mereka memastikan anak-anak daerah 3T menguasai kemampuan dasar membaca, menulis, dan menghitung, serta menyalakan mimpi dan cita-cita tinggi muda untuk berani menembus keterbatasan.
Dari pantauan Kompas tentang kondisi pendidikan di daerah 3T di beberapa pulau sejak pekan lalu hingga Senin (29/11/2021), para guru tetap mampu menghadirkan solusi untuk mengatasi masalah pembelajaran siswa, meskipun dengan cara sederhana. Pembelajaran yang fleksibel dan kontekstual juga mulai diterapkan guru agar siswa lebih mudah belajar.
Pembelajaran bagi anak-anak Rimba di Bukit Duabelas, Jambi dijalankan guru dengan ”jemput bola” menjangkau murid. Mereka belajar di mana saja, di bawah pohon ataupun di pinggir sungai. ”Di mana pun bisa menjadi ruang kelas kami untuk belajar,” kata Yohana Marpaung, guru rimba dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi.
Di mana pun bisa menjadi ruang kelas kami untuk belajar.
Mereka juga bisa belajar kapan saja. Anak-anak malah kerap belajar serius pada malam hari.
Baca juga : Hidup Nomadik demi Angka dan Aksara bagi Orang Rimba
Belakangan ini, program-program pendidikan bagi masyarakat pedalaman semakin luas difasilitasi, baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jika dulu Orang Rimba harus keluar hutan agar dapat belajar di sekolah, kini sejumlah program dikemas lebih ramah bagi mereka, diselenggarakan dengan program sekolah berpindah.
Saat belajar, anak-anak Rimba tak perlu berseragam. Para guru rela mengikuti mereka menetap di hutan untuk waktu tertentu. ”Pembelajarannya juga berjalan dalam konteks lokalitas,” kata Haidir, Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
Di tempat tersebut digelar dua program pendidikan nonformal, yakni mobile school dan Sekolah Rimba. Mobile school diselenggarakan bagi kelompok yang tengah berpindah. Saat ada kelompok menjalankan tradisi melangun (pindah tempat karena ada anggota kelompok yang meninggal), petugas pendidikan akan mendekati kelompok yang tengah berduka itu. Asupan pendidikan di tempat yang baru sekaligus menjadi bagian dari penghiburan.
Sementara, Sekolah Rimba dibangun di dalam kawasan taman nasional dengan bangunan sederhana dari kayu. Di Kelompok Tumenggung Bepayung yang belum tersentuh pendidikan, telah dibangun sekolah berukuran 6 meter x 6 meter. Tenaga pengajar didatangkan dari kader konservasi Balai TNBD.
Di tahun 2000, KKI Warsi memfasilitasi 228 anak-anak yang belajar alternatif di dalam rimba dan di bawah kebun sawit. Adapun, yang difasilitasi untuk sekolah formal tingkat SD sebanyak 29 anak, SMP 1 anak, dan SMA 30 anak. Dari jumlah ini, tidak semuanya menyelesaikan pendidikan formal.
Berangkat dari keresahan tersebut dibentuklah satuan pendidikan nonformal berupa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bunga Kembang pada 2019. Dalam menjalankan aktivitasnya, PKBM Bunga Kembang mendapat bantuan pembiayaan dari pemerintah.
Program pendidikan dilakukan dengan bahasa dan waktu yang fleksibel bagi Orang Rimba. Sudah ada 110 orang dari 11 kelompok belajar yang menerima legalitas berupa Surat Melek Aksara (Sukma). Surat itu diberikan kepada peserta didik yang lulus Program Keaksaraan Dasar dan Program Keaksaraan Usaha Mandiri.
Baca juga : Di Tepian Kaltara-Malaysia, Para Guru Mengajar Sukarela di Luar Jam Kerja
Guru honorer Juan Vicki (28) yang mengajar di SDN 14 Krayan, Kalimantan Utara, daerah perbatasan Malaysia, selalu membawa contoh untuk mengenalkan materi baru kepada siswanya. Sebagai guru ilmu pengetahuan alam, ia terlebih dahulu menganalisis siswanya untuk mengetahui mana siswa yang sudah mahir dan belum bisa membaca.
Misalnya, saat ia mengenalkan jenis-jenis akar kepada siswa kelas III, ia akan membawa contoh tanaman yang mudah didapat di sekitar Desa Pa’padi. Dengan demikian, siswa yang belum mahir menulis dan membaca bisa tahu akar serabut dan akar tunggang dengan melihat langsung contohnya.
”Setelah itu, saya minta murid untuk menuliskannya di buku. Caranya, saya eja pelan-pelan,” Juan.
Membuat pemancar TV
Kreativitas untuk tetap menghadirkan pendidikan juga ditunjukkan para guru di SD Negeri Cirangkong 1, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pembelajaran jarak jauh bisa berjalan meskipun siswa tidak punya gawai. Wahyu Kamal (38), guru kelas V memiliki ide membuat pemancar jaringan televisi yang disambungkan dari laptop guru yang berisi video pembelajaran, lalu terpancar ke rumah-rumah siswa dengan radius sekitar satu hingga dua kilometer dari sekolah.
Meskipun pembelajaran hanya berlangsung satu arah karena kendala alat, para siswa akhirnya bisa belajar. Siswa bisa menyaksikan guru lewat video dan audio di layar televisi sehingga merasakan kehadiran guru seperti di ruang kelas.
Anto Teguh Setiawan (33), guru fisika SMA Negeri 3 Amarasi Timur di Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, berhasil mendorong dibukanya kelas ilmu pengetahuan alam di sekolahnya. Selain mengajar Fisika, ia juga bisa mengajar Matematika, Kimia, dan Biologi. Sebelumnya, di sekolah itu hanya ada kelas ilmu pengetahuan sosial.
Teguh juga bisa mengatasi kendala lemahnya sinyal internet di sekolah. Pada ujian nasional tahun ini, Teguh memasang antena penguat sinyal internet sehingga siswa dapat mengikuti ujian nasional secara daring.
Kehadiran Teguh juga menjadi inspirasi bagi anak sekolah untuk mulai bermimpi meraih cita-cita. Mereka ada yang sudah menjadi guru dan perawat.
”Yang guru dan perawat itu ada yang sudah kembali dan mengabdi di kampung pedalaman. Mereka ingin membangun kampung mereka. Sampai saat ini, di pedalaman cari guru dan perawat masih susah,” katanya.
Direktur Eksekutif Yayasan Nusantara Sejati Eka Simanjuntak yang melayani peningkatan kualitas pendidikan dan guru di pedalaman Papua dan Papua Barat mengatakan, para guru yang memastikan pendidikan berjalan di daerah 3T harus terus diperkuat kapasitasnya dengan memberikan penguatan sesuai kondisi alam dan sosial di daerahnya. Kurikulum yang fleksibel dan sederhana serta kontekstual dibutuhkan agar pembelajaran berlangsung baik, terutama sisi kecakapan literasi dan numerasi siswa.
”Menguatkan pendidikan di daerah 3T tak hanya tentang guru, sekolah, dan siswa. Masyarakat juga harus dirangkul supaya mendukung sekolah dan memastikan bahwa guru-guru senantiasa hadir untuk membantu siswa belajar,” kata Eka.
Eka mengingatkan agar pemerintah memperlakuan secara manusiawi para guru yang mengabdi di daerah 3T. Kesejahteraan memang dibutuhkan, tapi juga perlu diperhatikan kebutuhan tempat tinggal yang layak agar mereka bisa bertahan di daerah 3T.
Baca juga : Guru Teguh Melangkah di Atas Jejak Buaya
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia sekaligus pengamat kebijakan pendidikan Cecep Darmawan menuturkan, kebijakan sistem pendidikan di saat pandemi Covid-19 mesti mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan fasilitas pendukung. Oleh sebab itu, pendekatannya perlu disesuaikan dengan kondisi lokalitas daerah yang berbeda.
”Indonesia tidak hanya Jakarta. Selama ini menyelesaikan masalah pendidikan masih di atas meja. Padahal, disparitas fasilitas pendidikan itu nyata,” katanya.
Menurut Cecep, guru-guru yang berjuang menghadirkan solusi pembelajaran di saat pandemi patut diapresiasi. Sebab, di tengah keterbatasan, mereka mau bersusah payah agar siswa tidak ketinggalan pelajaran.
”Mereka adalah pahlawan pendidikan saat ini. Belum tentu mereka lulus PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Namun, mereka mampu berdaya dalam situasi yang tak mudah,” kata Cecep. (ELN/ITA/TAM/CIP/FRN)