Hidup Nomadik demi Angka dan Aksara bagi Orang Rimba
Untuk menjangkau siswa, guru Rimba harus siap keluar masuk hutan. Mereka menjelajah dari satu kelompok ke kelompok lainnya guna mengenalkan angka dan aksara.
Yohana Marpaung (29) dan Jauharul Maknun (36) bisa bekerja di mana saja. Namun, mereka memilih hidup menjelajah di belantara pedalaman Jambi bersama anak-anak Rimba demi mengawal mereka melek huruf dan angka.
Yohana sudah tiga tahun ini mengampu mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Ia bertugas sebagai guru bersama Jauharul yang lebih dahulu menjadi guru rimba sejak 2013.
Untuk dapat menjangkau siswa-siswanya, mereka harus keluar masuk hutan. Menjelajah dari satu kelompok ke kelompok lainnya yang menyebar di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, untuk tujuan sederhana, mengenalkan angka dan aksara bagi kelompok nomadik itu.
Di era yang semakin padat populasi, suku-suku pedalaman ini masih menjalankan pola hidup yang sama, berkelana di tengah rimba. Mendapatkan penghidupan lewat berburu dan meramu.
Namun, interaksi dengan dunia luar meningkat seiring kebutuhan akan lahan dan hunian, juga investasi. Pertemuan dengan orang dari luar rimba kerap terjadi. Sering kali dalam interaksi, mereka dibodoh-bodohi karena belum mengenal angka, apalagi membaca dan menulis.
Sering kali dalam interaksi, mereka dibodoh-bodohi karena belum mengenal angka, apalagi membaca dan menulis.
Untuk itulah kedua guru mengenalkan sekolah bagi mereka. Dengan pola hidup komunitas yang masih berpindah, pendidikan adaptif harus dibangun. Sekolahnya bisa di bawah pohon atau di pinggir sungai sambil mencari ikan. ”Di mana pun berada menjadi ruang kelas kami untuk belajar,” kata Yohana.
Aktivitas belajar anak-anak juga tidak terpatok waktu. Belajar bisa kapan saja, bahkan sampai tengah malam dan dini hari.
Awalnya cukup sulit bagi Yohana beradaptasi dengan ketidakbiasaan jam belajar para siswanya. Pernah ia dapati siswanya telah tidur menjelang pukul 20.00 WIB, lalu sekitar pukul 23.00 mereka terbangun. Saat itu, dirinya telah terlelap.
Anak-anak membangunkannya. Mereka minta belajar. ”Sebagai guru, saya tidak bisa menolak, apalagi ketika melihat mata mereka yang berbinar ingin diajari,” ujarnya.
Baca juga: Mengantar Anak-anak Rimba Berdaya
Lama kelamaan ia pun terbiasa dengan dinamika itu. Untuk membuat suasana belajar makin menyenangkan, mereka mencari kayu bakar bersama. Sebelum belajar, air dijerang di perapian. Mereka lalu membuat teh atau kopi sebagai teman belajar.
Meski harus melalui medan berat untuk menjangkau anak-anak, kegiatan belajar di tengah rimba sangat mengasyikkan. ”Dari anak-anak Rimba, gurunya malah lebih banyak belajar. Soal makna kehidupan dan kesederhanaan. Semua yang tersedia di alam diambil hanya sebatas kebutuhan hari itu,” kisahnya.
Perubahan besar pada menyusutnya ruang hidup Orang Rimba akibat alih fungsi hutan turut dirasakan para guru. Sebagian Orang Rimba harus tinggal di bawah-bawah pohon sawit. Kegiatan belajarnya pun dilakukan di bawah pohon sawit.
”Mobilitas mereka lebih tinggi. Jika di dalam rimba berpindah hanya dilakukan ketika ada kematian, di dalam kebun sawit berpindah karena diusir pemilik kebun sawit,” kata Jauharul.
Jauharul dan Yohana yang bergantian mengunjungi muridnya sering kali dibuat terpana dengan kondisi muridnya. Dalam sebulan pertemuan, biasanya anak-anak sudah hapal huruf dan angka. Sudah bisa mengeja huruf. Tak disangka pada kunjungan bulan berikutnya, mereka menghilang.
Baca juga: Kisah Lenyapnya Bunga-bunga Rimba
Saat kedua guru bertanya kepada orang desa sekitar, kelompok itu telah pindah. Rupanya mereka diusir oleh pemilik kebun sawit.
Yohana merasa miris mengetahui kenyataan itu. Demi tetap menemui muridnya, kedua guru terus mencari. Sewaktu pencarian itu membuahkan hasil di bulan berikutnya, anak-anak mulai lupa berhitung dan membaca. Akhirnya pelajaran diulangi lagi dari awal.
Ruang hidup
Kepastian ruang hidup sangat penting untuk menjaminkan pendidikan suku ini bisa berjalan dengan baik. Sehingga generasi mudanya bisa meraih masa depan yang lebih baik.
Tanpa ruang hidup dan terus terlunta-lunta, suku ini akan semakin marjinal. Menimbulkan masalah sosial. ”Harus ada pengakuan ruang yang mengakomodasikan Orang Rimba sebagai tempat yang layak untuk mereka menata hidup,” kata Jauharul.
Jauharul mengapresiasi para menteri dari pemerintahan yang dalam tahun ini tercatat tiga kali berkunjung ke Orang Rimba. Menteri Sosial pada Maret lalu yang mengunjungi Orang Rimba untuk memberi bantuan sosial. Ada pula kunjungan Wakil Menteri ATR/BPN terkait penyelesaian konflik lahan dan pengakuan ruang untuk Orang Rimba. Yang terbaru, kunjungan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, September lalu. Kunjungan-kunjungan ini harapannya mempercepat penyelesaian persoalan Orang Rimba. Jumlah mereka tidaklah besar. Hanya 6.000 jiwa.
Baca juga: Orang Rimba Pun Ingin Merdeka Seutuhnya
Dalam sistem pendidikan Indonesia, pendidikan disetarakan lewat basis kurikulum dan menghasilkan ijazah. Bagi Orang Rimba, masuk dalam pendidikan formal terbilang berat dan materinya juga kurang sesuai dengan konteks keseharian mereka.
Akibatnya, capaian di sekolah formal menjadi sangat rendah. Dalam tahun 2000, KKI Warsi memfasilitasi 228 anak-anak yang belajar alternatif di dalam rimba dan di bawah kebun sawit. sedangkan yang difasilitasi untuk sekolah formal tingkat SD 29 orang, SMP 1 orang, dan SMA 30 orang. Dari jumlah ini tidak semuanya menyelesaikan pendidikan formal.
Berangkat dari keresahan tersebut dibentuklah satuan pendidikan nonformal berupa Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bunga Kembang pada 2019. Dalam menjalankan aktivitasnya, PKBM Bunga Kembang mendapat bantuan pembiayaan dari pemerintah. Keduanya turut serta membimbing di sana.
Program pendidikan dilakukan dengan bahasa dan waktu yang fleksibel bagi Orang Rimba. Sudah ada 110 orang dari 11 kelompok belajar yang menerima legalitas berupa Surat Melek Aksara (Sukma). Surat itu diberikan kepada peserta didik yang lulus Program Keaksaraan Dasar dan Program Keaksaraan Usaha Mandiri.
Keduanya berharap, lebih banyak lagi kepedulian bagi komunitas pedalaman itu.