Lika-liku Menghadirkan Sekolah Aman dari Covid-19 bagi Anak
Kegelisahan akan kondisi kualitas pendidikan anak membuat banyak pihak tak tahan untuk kembali menghadirkan kegiatan di sekolah secara langsung.
Di tengah pandemi Covid-19 yang terasa menurun intensitasnya, kesempatan untuk membuka pembelajaran tatap muka di Indonesia didorong sejumlah pihak. Mulai dari pemerintah, lembaga internasional, manajemen sekolah, hingga para orangtua yang kewalahan maupun khawatir akan ketertinggalan pendidikan anaknya.
Vaksinasi pada guru dan tenaga kependidikan serta anak usia 12-17 tahun yang telah dilakukan menjadi modal membuka PTM. Namun, cakupan vaksinasinya masih butuh terus didorong peningkatannya.
Yang menjadi dasar penting untuk berkegiatan saat ini adalah memperkuat hulu dari penanganan pandemi Covid-19, yaitu protokol kesehatan. Kesiapan sekolah, orangtua, pemerintah daerah, dan semua pihak untuk memitigasi dan mengatasi penularan sedini mungkin sangat krusial. Ini agar tak menjadikan sekolah sebagai kluster penularan maupun mencegah lonjakan kasus Covid-19.
Meski demikian, hingga kini, menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Senin (27/9/2021), protokol kesehatan serta panduan untuk pelaksanaan pembelajaran tatap muka masih disusun. Diharapkannya, protokol kesehatan tersebut bisa segera diterbitkan.
Kami mendukung PTM segera, tapi minta tolong supaya dikawal betul PTM yang aman dan sehat, serta bisa menjamin kesehatan anak Indonesia.
Sambil menanti protokol kesehatan tersebut, prinsip pencegahan penularan bisa diterapkan sekolah bekerja sama dengan orangtua. Mulai dari penyediaan sarana dan prasarana penunjang, pengaturan jarak tempat duduk, serta memastikan setiap siswa mampu menggunakan masker dengan benar.
”Saat setelah pulang, orangtua pun harus bisa menjemput langsung anaknya. Ini perlu untuk meminimalkan penularan di perjalanan dari rumah ke sekolah dan sebaliknya,” ucap dia.
Apabila hal itu dilakukan dengan baik, vaksinasi yang sudah berjalan bagi guru dan anak menjadi pendukungnya. Karena itulah, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak menjadikan vaksinasi sebagai syarat untuk guru dan anak mengikuti pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas.
Namun, demi memberikan keamanan dan kenyamanan belajar bersama di sekolah sehingga sekolah tidak buka-tutup akibat ada kasus positif, vaksinasi jadi salah satu hal penting untuk dipenuhi sekolah. Upaya jemput bola pun dilakukan sekolah dan daerah untuk memperluas cakupan vaksinasi Covid-19 pada guru dan tenaga kependidikan serta siswa berusia 12-17 tahun.
Berdasarkan data vaksin Kementerian Kesehatan hingga Selasa (28/9/2021) pukul 18.00, untuk tenaga pendidik yang sudah mendapat vaksin lengkap mencapai lebih dari 2 juta orang. Penerima vaksin pertama 2,52 juta orang. Adapun kelompok usia 12-17 tahun yang sudah divaksin lengkap sekitar 2,52 juta anak (9,46 persen) dan vaksin satu sebanyak 3,87 juta anak (14,52 persen) dari total kelompok sasaran sekitar 26,7 juta anak.
Di sejumlah daerah, vaksinasi pada guru maupun anak didik ini masih berupaya terus dikejar. Seperti sekolah-sekolah di Provinsi Aceh yang berusaha keras untuk menggenjot realisasi vaksinasi terhadap siswa dan tenaga pendidik. Realisasi vaksinasi mulai meningkat, tetapi ada kendala berupa masih adanya orangtua siswa yang belum setuju vaksin.
Sekolah-sekolah pun kini menjadi tempat vaksin. Pihak sekolah juga proaktif mengedukasi orangtua, bahkan ke rumah siswa, supaya anak-anak mendapat restu untuk divaksin.
Kepala SMA N 4 Banda Aceh, Bachtiar, optimistis target vaksinasi 100 persen pada 30 September 2021 tercapai. Di SMA Negeri 4 Banda Aceh, sejumlah 600 anak dari 860 orang siswa dan 53 orang dari 74 tenaga pendidik telah divaksin.
”Sampai sekarang masih ada siswa yang divaksin, kesadaran siswa dan orangtua cukup baik. Lebih banyak yang vaksin mandiri daripada di sekolah,” kata Bachtiar.
Baca juga : Belajar Tatap Muka yang Aman Mesti Jadi Komitmen Bersama
Bachtiar menuturkan keinginan para siswa dan guru sekolah tatap muka menjadi motivasi ikut vaksinasi. Setahun lebih mereka melakukan pembelajaran dalam jaringan. Terkadang mereka menerapkan sekolah tatap muka dengan cara membagi jadwal dan menerapkan kapasitas 50 persen dari jumlah siswa per kelas.
”Belajar daring tidak efektif, ada mata pelajaran yang sukar dijelaskan melalui daring,” kata Bachtiar.
Kepala SMA 10 Padang, Sumatera Barat, Parendangan, mengatakan, hingga Kamis pekan lalu, dari total 1.005 siswa di SMA ini, ada 653 orang yang belum divaksinasi Covid-19. Anak-anak tersebut ikut serta dalam gebyar vaksinasi di sekolah ini. Adapun semua guru dan tenaga kependidikan sudah divaksin lengkap.
”Mudah-mudahan selesai semuanya hari ini. Kami membuat tiga sesi, untuk kelas X, XI, dan XII. Untuk guru dan tenaga kependidikan, sudah divaksinasi semuanya,” kata Parendangan.
Vaksinasi memang tidak diwajibkan kepada siswa. Namun, sejauh ini, dengan pendekatan, sekolah mendapatkan izin tertulis mengikuti vaksinasi Covid-19 dari semua orangtua siswa. ”Bukan syarat wajib, tetapi untuk kenyamanan proses pembelajaran tatap muka,” ujar Parendangan.
Kepala SMP 30 Padang Revianti mengatakan, terkait vaksinasi, pada awal September ini sudah digelar vaksinasi siswa. Namun, karena tidak wajib, baru separuh dari 757 siswa yang divaksinasi. Sisanya, ada yang mengaku sudah divaksinasi di tempat lain dan ada pula yang tidak diizinkan orangtua. Sementara itu, dari 46 guru dan tenaga kependidikan, hanya 3-4 orang yang belum divaksinasi karena alasan kesehatan.
Pendekatan pada Orangtua
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Aceh-Kabupaten Aceh Selatan Annadwi menuturkan dari target vaksin 7.462 orang, sebanyak 3.861 telah divaksin. Dia menuturkan minat warga untuk vaksin cukup tinggi. Meski demikian, masih ada orangtua murid yang belum setuju anaknya divaksin karena masih ragu terhadap kegunaan dan kehalalan vaksin.
”Kami datangi rumah siswa, memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa vaksin ini halal dan aman bagi tubuh,” kata Annadwi.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Aceh-Kota Subulussalam dan Aceh Singkil Asbaruddin mengatakan, perlu edukasi lebih masif kepada orangtua siswa mengenai vaksin. Warga di daerah yang minim terpapar literasi tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang vaksin sehingga mereka takut dan ragu pada kegunaan vaksin.
Di Subulussalam dan Aceh Singkil, 50 persen siswa telah divaksin. Pola vaksinasi jemput bola ke sekolah-sekolah membuat realsiasi divaksin meningkat. ”Pendekatan persuasif kepada orangtua siswa menjadi kunci keberhasilan realisasi vaksin, sebab siswa yang divaksin harus ada izin orangtua,” ujar Asbaruddin.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh Safrizal Rahman menuturkan, kasus harian menurun dan tidak ada lagi zona merah menandakan ada perbaikan pengendalian penyebaran. Namun, skor indeks pengendalian Covid-19 di Aceh masih buruk, yakni 42, jauh dari nilai nasional 74.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengatakan, pemerintah pusat wajib melakukan percepatan vaksinasi kepada peserta didik usia 12-17 tahun. Tingkat vaksinasi harus mencapai minimal 70 persen dari populasi di sekolah agar terbentuk kekebalan kelompok.
Baca juga : Menghitung Kerugian Belajar
”Kalau hanya guru yang divaksinasi, kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa,” ujar Retno.
Selain itu, pemerintah pusat harus memastikan penyediaan vaksin untuk anak merata di seluruh Indonesia. Survei singkat KPAI pada Agustus lalu menemukan bahwa vaksinasi anak didominasi oleh Pulau Jawa dan itu pun hanya menyasar anak-anak di perkotaan.
Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Aman B Pulungan mendukung PTM terbatas bisa dibuka. Namun, PTM jangan dipaksakan dan tergesa-gesa. Harus ada pertimbangan, bahwa PTM terbatas dilakukan untuk sekolah yang siap dan anak-anak yang sudah divaksinasi.
Vaksinasi anak harus terus didorong secara cepat. Bukan hanya untuk kelompok usia 12-17 tahun, melainkan juga di bawahnya.
”Kami mendukung PTM segera, tapi minta tolong supaya dikawal betul PTM yang aman dan sehat, serta bisa menjamin kesehatan anak Indonesia,” ujar Aman.
Menurut Aman, IDAI memberi syarat untuk mulai uji coba pada anak yang sudah diimunisasi/vaksin, postivity rate di daerah 8 persen, serta seluruh guru dan keluarga yang anaknya PTM sudah diimuniasi.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, PTM yang aman jadi komitmen. Semua prosedur standar operasi (SOP) dan peraturan PTM terbatas sudah sangat jelas, tinggal diikuti saja SKB 4 Menteri. Jika ada warga sekolah yang terkena Covid-19, sekolah saja yang ditutup.
Untuk menambah level kontrol, ada berbagai inisiatif. Kementerian Kesehatan dan Kemendikbudrsitek melakukan sampling secara regular pada sekolah untuk memastikan keamanan sekolah dari penyebaran Covid-19. Peningkatan resiko bisa terpantau berdasarkan bukti.
Baca juga : Sekolah Harus Punya Rencana Aksi Tatap Muka
”Yang menghakwatiran saya bukan penyebaran Covid-19, meskipun tetap jadi concern. Kemendikbudristek dan Kemenkes memastikan protokol kesehatan terjadi, secara statistik bisa diukur. Yang lebih menyeramkan dampak permanen PJJ (pembelajaran jarak jauh) kalau dipaksakan. Apalagi untuk murid PAUD dan SD yang belum bisa divaskin, yang justru kebutuhan PTM-nya tinggi,” ujar Nadiem.
Covid-19 pada anak
Sepanjang pandemi Covid yang berlangsung sejak Maret 2020 hingga saat ini, tidak hanya lansia dan orang dewasa yang menjadi korban, melainkan juga anak-anak.
Berdasarkan studi retrospektif dari data berdasarkan laporan kasus Covid-19 pada anak yang dirawat oleh dokter anak yang tergabung dalam IDAI selama Maret-Desember 2020 (gelombang pertama covid di Indonesia), didapatkan 37.706 kasus anak terkonfirmasi Covid. Hasil penelitian IDAI tersebut dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Frontiers in pediatrics yang terbit 23 September 2021 lalu.
”Penelitian ini adalah gambaran data terbesar pertama kasus Covid-19 anak di Indonesia pada gelombang pertama Covid-19. Angka kematian yang cukup tinggi adalah hal yang harus dicegah dengan deteksi dini dan tatalaksana yang cepat dan tepat,” jelas Aman.
Berdasarkan data tersebut, di antara anak-anak terkonfirmasi Covid yang ditangani oleh dokter anak, angka kematian tertinggi pada anak usia 10-18 tahun (26 persen), diikuti 1-5 tahun (23 persen), 29 hari-kurang dari 12 bulan (23 persen), 0-28 hari (15 persen), dan 6-kurang dari 10 tahun (13 persen).
Laporan hasil riset IDAI tersebut juga menyebutkan bahwa case fatality rate (CFR) Covid-19 anak di Indonesia ini jauh lebih tinggi dibandingkan di negara lain seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Sekretaris Umum Pengurus Pusat IDAI Hikari Ambara Sjakti memaparkan, berdasarkan laporan tersebut, diperoleh CFR Covid-19 pada anak di Indonesia 522 kematian dari 35.506 kasus suspek (CFR 1.4 persen), dan 177 kematian dari 37.706 kasus terkonfirmasi (CFR 0.46 persen).
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa penyebab kematian anak akibat Covid-19 terbanyak dikarenakan faktor gagal napas, sepsis/syok sepsis, serta penyakit bawaan (komorbid). Sementara komorbid terbanyak pada anak Covid-19 yang meninggal adalah malnutrisi dan keganasan, disusul penyakit jantung bawaan, kelainan genetik, tuberkulosis (TBC), penyakit ginjal kronik, celebral palsy, dan autoimun. Sementara 62 anak meninggal tanpa komorbid.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 IDAI Yogi Prawira mengatakan, faktor penyebab gagal napas dan sepsis/syok sepsis terjadi pada kondisi Covid-19 yang berat sehingga pemantauan kondisi, serta tatalaksana secara dini dan tepat sangat penting untuk mencegah terjadinya dua kondisi tersebut.
Baca juga : Pembelajaran Tatap Muka Dibayangi Kluster Sekolah
Lebih lanjut, laporan riset IDAI tersebut juga menjabarkan distribusi regional kasus Covid-19 pada anak, di mana terdapat 10 daerah di Indonesia dengan kasus anak terkonfirmasi Covid-19 terbanyak, yakni Jawa Barat, Riau, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, DIY, dan Papua. Juga ada tujuh daerah dengan kasus kematian anak terkonfirmasi Covid-19 terbanyak, yaitu Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
”Tidak meratanya deteksi kasus ini terjadi karena fasilitas tes PCR dan fasilitas kesehatan yang berbeda, kapasitas testing PCR saat itu di Indonesia masih rendah dan anak bukan populasi prioritas untuk tes,” kata Ketua Bidang Ilmiah Pengurus Pusat IDAI Antonius H Pudjiadi. (TAN/ELN/JOL/AIN/SKA/HRS/DIA/ERK)