Belajar Tatap Muka yang Aman Mesti Jadi Komitmen Bersama
Upaya pemulihan kondisi pendidikan selama masa pandemi Covid-19 dilakukan dengan mengutamakan hal-hal prioritas, terutama memastikan keamanan proses pembelajaran tatap muka.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembelajaran tatap muka yang aman mesti menjadi komitmen bersama. Semua prosedur standar operasi dan peraturan pembelajaran tatap muka terbatas sudah jelas dan sekolah tinggal mengikutinya. Apabila muncul kasus Covid-19, sekolah segera ditutup sementara.
Untuk menambah level kontrol pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, ada sejumlah langkah yang dilakukan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan sampling secara regular dengan melakukan pemeriksaan di sekolah-sekolah untuk memastikan keamanan sekolah dari penyebaran Covid-19. Peningkatan risiko Covid-19 bisa terpantau berdasarkan bukti.
”Kemendikbudristek dan Kemenkes memastikan protokol kesehatan terjadi. Secara statistik, (hal ini) bisa diukur. Yang lebih menyeramkan memang dampak permanen pembelajaran jarak jauh kalau dipaksakan. Apalagi untuk murid PAUD (pendidikan anak usia dini) dan SD yang belum bisa divaksin, yang justru kebutuhan PTM-nya tinggi,” ujar Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim di acara talkshow #BangkitBareng yang digelar Republika.co.id, Selasa (28/9/2021).
PTM terbatas bukan sekadar upaya mengatasi ketertinggalan pembelajaran secara akademik. Kebijakan pembukaan sekolah ini juga untuk menyelamatkan siswa dari tekanan psikis karena merasa kesepian atau ketegangan dengan orangtua akibat belajar dari rumah yang sudah berlangsung lama.
Nadiem mengatakan, dari kajian yang dilakukan Bank Dunia dan Kemendikbudristek, ada potensi learning loss berkisar 0,8-1,2 tahun pembelajaran. Masa pandemi Covid-19 juga semakin memperburuk ketimpangan pendidikan yang sudah ada sebelum pandemi, khususnya untuk kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah serta daerah yang tidak memiliki akses internet.
Menurut Nadiem, masih terus dikaji apakah dampak pembelajaran dari rumah yang berlangsung sejak Maret 2020 hingga saat ini akan permanen atau tidak. ”Yang dikhawatirkan kalau pembelajaran jarak jauh terus berlangsung, tidak hanya berdampak pada learning loss. Ada masalah psikis siswa yang kesepian, yang secara emosional trauma dengan situasi saat ini,” ujarnya.
Nadiem melanjutkan, orangtua juga stres di rumah, ada ketegangan antara anak dan orangtua. ”Padahal, kondisi emosional ini juga menjadi bagian kemampuan anak-anak untuk bisa belajar dengan baik. Kondisi emosional dan kognitif anak nyambung,” ucapnya.
PTM terbatas dilakukan sejak Januari 2021. Sebelum pandemi Covid-19 gelombang kedua, ada 30 persen sekolah yang menggelar PTM terbatas. Saat ini, daerah PPKM level 1-3 baru 40 persen yang menggelar PTM.
Kita harus melakukan PTM terbatas dengan cara teraman yang bisa dilakukan.
”Kita tidak ingin semakin ketinggalan. Saya pergi ke daerah untuk mendorong pemerintah segera mengizinkan PTM. Apalagi di daerah yang koneksi sulit, gawai tidak ada, lalu anak dibiarkan tidak sekolah. Seharusnya dicari solusi. Kita harus melakukan PTM terbatas dengan cara teraman yang bisa dilakukan,” tutur Nadiem.
Nadiem menyatakan, sekolah di daerah yang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 1-3 diperbolehkan menggelar pembelajaran tatap muka secara terbatas.
Ia menyebutkan, jika PTM terbatas digelar menunggu vaksin untuk siswa usia 12 tahun ke bawah, anak-anak usia ini akan semakin berisiko besar kehilangan pembelajaran yang efektif. Menurut survei yang digelar Kemendikbudristek, 80-85 persen masyarakat sepakat digelar PTM terbatas.
Upaya pemulihan
Upaya pemulihan kondisi pendidikan dilakukan dengan mengutamakan hal-hal prioritas. Ketertinggalan dalam literasi dan numerasi bisa dicapai jika semua mata pelajaran dan standar pencapaian bukan pada materi. Guru bisa menentukan kemampuan dasar yang harus diperkuat, apakah mundur atau maju, sesuai kondisi siswa.
Untuk itu, penyederhanaan kurikulum menjadi kunci. Hal ini bisa dilakukan dengan menyediakan kurikulum darurat selama masa pandemi Covid-19.
Di awal pandemi ada opsi untuk menggunakan kurikulum darurat yang lebih sederhana dan ramping agar pembelajaran tidak terlalu ketinggalan. Sejauh ini, ada sekitar 36 persen sekolah yang telah menggunakan kurikulum darurat. Selanjutnya akan didalami seberapa tingkat ketertinggalan pembelajaran dari sekolah-sekolah yang menerapkan kurikulum darurat tersebut.
Kemendikbudristek juga mendukung sekolah yang kesulitan mengatasi ketertinggalan pembelajaran pada siswa dengan menggelar Kampus Mengajar yang merupakan bagian dari program Kampus Merdeka. Lebih dari 30.000 mahasiswa tahun ini ikut mengajar di sekolah jenjang SD dan SMP.
Mereka membantu guru untuk mendampingi siswa yang membutuhkan. Mahasiswa yang mendapat pengakuan kuliah 20 satuan kredit semester tersebut juga mendukung sekolah untuk beradaptasi dengan pembelajaran digital.
Guna mengetahui sejauh mana tingkat ketertinggalan belajar siswa, pemerintah menggelar asesmen nasional untuk siswa SD,SMP, dan SMA/SMK sederajat. Fokus asesmen nasional adalah mengukur numerasi, literasi, dan karakter Pancasila.
Asesmen nasional untuk pertama kalinya memetakan capaian pembelajaran per sekolah. Asesmen nasional menjadi dasar untuk mengetahui secara detail siapa yang paling ketinggalan dan membutuhkan bantuan sehingga bisa menjadi prioritas utama.
Program digitalisasi pun ditingkatkan. Ada tim teknologi Kemendikbudristek yang membuat superaplikasi bagi kepala sekolah dan guru. Selain itu, juga ada program pemberian alat-alat teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung pendidikan digital di sekolah-sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, mengatakan, sekolah perlu melakukan pemetaan materi untuk setiap mata pelajaran mengingat pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan PTM dilaksanakan secara beriringan. Materi yang mudah dan sedang sebaiknya diberikan pada saat PJJ dengan bantuan modul. Sementara itu, materi yang sulit bisa disampaikan saat PTM agar ada interaksi dan dialog langsung antara guru dan siswa. Hal ini juga bagian dari upaya membantu anak-anak memahami materi yang sulit dan sangat sulit sehingga mengurangi stres peserta didik.
Lebih paham
Sebagai orangtua siswa, Novianti (41) yang tinggal di Kota Malang masih merasa galau, apalagi saat ini mulai muncul kasus Covid-19 akibat dibukanya PTM. Namun, ia juga bingung karena jika tidak mengizinkan anaknya ikut PTM, anaknya akan ketinggalan dari siswa lain.
”Jika yang lain PTM, tapi anak kita tidak PTM sendiri, secara psikologis si anak akan terganggu. Dahulu saat anak saya tidak masuk sekolah dan belajar dari rumah, anak saya yang harus aktif mencari kabar perkembangan tugas dan hal-hal lain di sekolah ke teman-temannya. Tentu ini membuat tidak nyaman juga jika dilakukan dalam jangka panjang. Kasihan,” tutur Novianti.
Menurut Alif Syahdan (16), siswa kelas X SMA di Jakarta, belajar di sekolah jauh lebih menyenangkan daripada di rumah. Di sekolah, ia bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang dan lebih mudah memahami penjelasan guru.
”Salah satu mata pelajaran yang sulit buat saya adalah Fisika. Biasanya ini sulit dipahami jika saya belajar sendiri di rumah. Rumus-rumusnya sering tertukar. Saat guru menjelaskan langsung di kelas tadi, saya jadi lebih paham,” kata Alif. (ELN/SKA/HRS/DIA/ERK/AIN/JOL)