Kematian perempuan tenaga kesehatan, Suster Gabriella Meilani, di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, menambah daftar perempuan yang menjadi korban di daerah konflik.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Serangan terhadap pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, dan kematian perempuan tenaga kesehatan, Suster Gabriella Meilani, mengundang keprihatinan dan kecaman. Kematian Gabriella menegaskan betapa perempuan juga rentan menjadi sasaran serangan di daerah konflik.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), bertepatan dengan Hari Perdamaian Internasional 2021, yang jatuh pada hari ini, Senin (21/9/2021), mengingatkan pentingnya memperkuat cita-cita dunia mewujudkan perdamaian di dalam negeri maupun di antara bangsa-bangsa.
Perdamaian mensyaratkan keadilan yang artinya bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, bebas dari ancaman, teror, intimidasi, persekusi, serta pembungkaman. ”Tak ada perdamaian tanpa keadilan dan tak ada keadilan tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi perempuan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani, bersama komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang, Tiasri Wiandani, Rainy Hutabarat, dan Olivia Salampessy dalam pernyataan sikap, Selasa (21/9/2021).
Kekerasan yang mencederai hak asasi manusia di Papua nyaris tidak pernah sepi di sepanjang tahun dan tidak pernah diselesaikan baik secara hukum maupun secara politik.
Tak hanya Komnas Perempuan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati juga mengecam keras penyerangan tenaga kesehatan dan guru di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua pada pekan lalu, 17 September 2021.
”Masyarakat khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan harus mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak untuk dapat hidup aman, bebas dari segala aksi kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa,” kata Bintang, Senin.
Bintang menegaskan, tidak boleh ada toleransi sekecil apa pun terhadap segala bentuk kekerasan dan kita harus bebas dari segala bentuk diskriminasi. Negara wajib hadir melindungi warga Papua agar bisa menjalani kehidupan dengan normal tanpa dibayang-bayangi teror dan ketakutan. Ketika Papua kembali damai dan kondusif, pemerintah akan bisa dengan tenang melanjutkan pembangunan.
Maka, hukum harus ditegakkan untuk menghentikan tindakan yang tidak berperikemanusian dan melanggar HAM. Apalagi, ketika hal itu disertai perusakan fasilitas publik, fasilitas kesehatan, dan pendidikan di Kabupaten Pegunungan Bintang tersebut. Aparat penegak hukum harus bertindak dan melakukan penegakan hukum secara tegas dan terukur sesuai dengan perundangan di Indonesia.
Persekutuan Intelegensia Sinar Kasih (PISKA) juga mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun dan kepada siapa pun di Papua. ”Kami menuntut negara untuk secara beradab dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan dalam menyelesaikan persoalan Papua dengan jalan damai melalui dialog yang setara serta menghentikan pendekatan militeristik,” ujar Ketua Umum PISKA Mompang L Panggabean.
Selain menyampaikan dukacita atas kematian Gabriella, PISKA juga menegaskan negara memberikan perlindungan kepada setiap warga negara yang berada di Papua tanpa terkecuali. Sebab, kekerasan demi kekerasan telah menjadi spiral kekerasan yang terjadi tanpa henti di Papua. Spiral kekerasan ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kekerasan bahkan sejak pertama Papua menjadi bagian dari NKRI.
Perempuan jadi korban
Pendekatan keamanan yang dijalankan pemerintah ternyata berbalas kekerasan dari pihak lain di Papua. Hal ini justru semakin menjadikan rakyat Papua menjadi korban berlapis, terutama perempuan dan anak-anak yang juga menjadi pengungsi di negeri sendiri seperti kejadian di Kabupaten Nduga, Distrik Hitadipa, dan Distrik Maybrat beberapa waktu lalu.
”Kekerasan yang mencederai hak asasi manusia di Papua nyaris tidak pernah sepi di sepanjang tahun dan tidak pernah diselesaikan baik secara hukum maupun secara politik. Upaya duduk bersama untuk mencari titik temu bagi kedua belah pihak bak pungguk merindukan bulan,” ujar Sekretaris Umum PISKA Woro Wahyuningtyas.
Kekerasan terhadap tenaga kesehatan dan pembakaran layanan kesehatan di Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, adalah salah satu wujud terjadinya spiral kekerasan tersebut di tengah rendahnya akses kesehatan di Papua.
”Siapa pun pelakunya dan dengan dalil atau alasan apa pun tindakan kekerasan ini tidak dapat dibenarkan. Seluruh dunia pasti menentang tindakan yang dilakukan sekelompok orang yang tidak memiliki nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap kaum perempuan,” ujar Mamberob Yosephus Rumakiek, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua.
Jangan terulang lagi
Mamberob menegaskan, tenaga kesehatan bukanlah musuh siapa pun di dunia ini. Justru tenaga kesehatan adalah kelompok yang paling dilindungi karena pekerjaannya adalah menyelamatkan nyawa setiap manusia, tanpa pandang bulu.
”Tragedi ini tidak boleh terulang lagi kepada siapa pun petugas kesehatan dan kaum perempuan, di mana pun terlebih di wilayah NKRI,” ujarnya.
Karena itu, aparat keamanan diminta harus dapat menegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap tenaga kesehatan dan terutama pelaku kekerasan kepada perempuan.