Benahi Mutu Pendidikan dengan Menerapkan Pola Pikir Bertumbuh
Pola pikir bertumbuh makin diperlukan untuk memperbaiki mutu pendidikan. Karena itu, pendidik yang mampu menjadi mentor untuk membentuk pola pikir tersebut pada peserta didik makin dibutuhkan.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan di sekolah-sekolah harus bergeser dari sekadar mengejar tujuan performa atau nilai ke tujuan proses atau pembelajaran. Namun, banyak salah kaprah dalam pendidikan yang telanjur dipercayai birokrat pendidikan dan pendidik yang perlu dibenahi dengan menggeser pola pikir.
Kini, di dunia pendidikan makin diyakini pentingnya pola pikir bertumbuh atau growth mindset untuk memperbaiki mutu pendidikan, terutama di negara dengan sistem pendidikan rendah. Untuk itu, pendidik yang mampu menjadi growth mindset coach (mentor) di ruang kelas/sekolah semakin dibutuhkan.
Instruktur mindset internasional, Djohan Yoga, di acara training of trainer Growth Mindset Coach(GMC) yang diikuti sekitar 200 guru, kepala sekolah, dan dosen dari berbagai daerah, Minggu (12/9/2021), mengatakan, di era revolusi industri 4.0 dan Society 5.0, konten dari ilmu pengetahuan dapat diakses siapa saja di internet secara gratis maupun berbayar.
Karena itu, tujuan pendidikan yang hanya mengejar target nilai atau akademik tinggi, tetapi tidak melalui proses bermutu, makin tidak relevan. Dengan mengutamakan tujuan proses pembelajaran yang memastikan siswa menguasai kompetensi yang dibutuhkan, otomatis berdampak pada pencapaian hasil akademik yang meningkat.
Djohan memaparkan di era kini dan ke depan, semua ilmu ada di dunia maya. Bukan mereka yang pintar atau punya talenta yang bisa sukses. Orang yang tekun dan gigih berusaha dengan pola pikir bertumbuh akan mampu menantang dirinya untuk terus belajar hal-hal baru dan menerima tantangan meski menghadapi kesulitan atau hambatan.
Baca juga : Membantu Siswa Bertumbuh dengan Growth Mindset
Dalam rilis OECD Tahun 2021 bertajuk ”Sky’s the Limit: Growth Mindset, Students, and Schools in PISA”, diungkapkan pentingnya memperkuat pola pikir bertumbuh untuk dapat mendorong siswa berperforma baik. Lebih dari sekadar tentang prestasi akademik, disebutkan dengan growth mindset membawa siswa menjadi sosok well-being atau berbahagia.
Untuk Indonesia, rendahnya performa akademik di PISA, berkolerasi dengan rendahnya growth mindset. Indonesia berada di urutan ketiga terbawah, hanya unggul dari North Macedonia dan Kosovo. Sedikitnya 60 persen siswa di tiga negara terbawah dari hampir 78 negara ini sangat tidak yakin atau tidak yakin kemampuan mereka dapat berubah.
Menurut Djohan, pola pikir bertumbuh harus diajarkan kepada siswa di ruang kelas dan sekolah. Guru dengan pola pikir bertumbuh dapat membantu siswa untuk yakin bahwa mereka dapat mencapai kesuksesan dalam pembelajaran dengan kerja keras, hasrat, kegigihan, dan latihan yang teratur.
”Para pendidik di Indonesia harus disiapkan untuk menjadi GMC yang dapat mengimplementasikan intervensi pola pikir growth mindset kepada siswa/mahasiswa. Kami optimistis prinsip growth mindset ini dapat membenahi mutu pendidikan Indonesia yang masih terpuruk,” kata Djohan.
Orang dengan karakter GM berani menerima tantangan, bertahan saat ada rintangan, usaha dilihat sebagai peluang mengeluarkan segala potensi, menganggap kritik sebagai informasi gratis untuk perbaikan, dan memandang kesuksesan orang lain sebagai motivasi untuk lebih baik. Sementara orang dengan pola pikir tetap (fixed mindset) selalu berada di zona nyaman.
”Secara perkembangan otak, yang pola pikir fixed mindset, otaknya banyak kosong atau kopong karena tidak mau menambahkan hal-hal baru. Kalau tidak paham suatu hal, menyerah karena merasa tidak berbakat atau pintar. Sebaliknya, yang berpola pikir GM ruang otaknya rimbun atau penuh karena terus bertanya dan belajar,” kata Djohan.
Menghargai proses
Guru yang menjadi GMC di ruang kelas akan menghargai proses belajar siswa, termasuk memberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Siswa diyakini belum bisa, bukan tidak bisa belajar. Justru guru meyakinkan siswa yang sulit belajar bahwa otak mereka sedang mencari jalan sehingga jika tekun dan gigih siswa bisa berhasil.
Dalam memuji, guru akan berfokus pada perkembangan yang sudah dicapai atau proses. Guru tidak memuji siswa karena dia pintar/berbakat agar tidak puas diri. Dengan memuji proses, siswa akan yakin dirinya mampu untuk menghadapi berbagai tantangan.
Pendidik yang menjadi GMC akan menghadirkan kelas yang welas asih. Di kelas ini, kesalahan dipandang sebagai kesempatan untuk belajar dan memberi kesempatan karena sebagai proses. Anak didik menyukai pendidikannya karena guru mendorong mereka untuk menantang diri sendiri dan responsif terhadap kebutuhan mereka. Pendidik percaya bahwa dengan usaha dan latihan, semua anak didik bisa beprestasi di bidang apa saja. Para anak didik mandiri dalam mengatur proses.
Baca juga : Intervensi Pola Pikir Bertumbuh Bisa Meningkatkan Pencapaian Akademik
Sayangnya, kata Djohan, masih banyak pola pikir keliru dalam dunia pendidikan yang dianggap telanjur benar. Sebagai contoh penyelenggaraan asesmen nasional (AN). Para kepala dinas pendidikan, guru, kepala sekolah karena masih berpola pikir tujuan pada nilai, menggelar uji coba untuk mencapai hasil tes yang tinggi. Padahal, hasil AN tidak berdampak pada individu siswa dan guru, tapi untuk mengetahui proses pembelajaran yang terjadi di sekolah.
Djohan mengatakan, pola pikir keliru menghasilkan tindakan kontraproduktif. Peningkatan mutu pendidikan, salah satu peran sentral adalah guru dan dosen. Akibat pola pikir birokrat pendidikan yang keliru, yang selalu diutak-atik, yakni sibuk mengubah kurikulum sehingga menghabiskan anggaran triliunan rupiah, tapi tidak berdampak pada mutu pembelajaran.
Pelatihan guru yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah, misalnya, masih sekadar berorientasi pada penguasaan kognitif guru. Pelatihan guru one size for all atau sama seperti untuk siswa. Padahal, banyak kompetensi lain yang penting, seperti kemampuan berkomunikasi, berhubungan interpersonal yang efektif, neurosains, maupun membenahi pola pikir, yang juga penting untuk mendukung peningkatan performa akademik siswa.
Belajar dari Singapura, salah satu negara terbaik dalam PISA, misalnya, guru mendapatkan pelatihan 100 jam per tahun. Pelatihan yang diikuti guru, juga berdasarkan kebutuhan guru yang merefleksikan keberhasilan dan hambatan yang dihadapinya di ruang kelas.
Ketika growth mindset kini diyakini makin penting untuk intervensi kesuskesan siswa secara akademik dan nonakedemik, Pemerintah Singapura memberikan pelatihan kepada guru untuk jadi GMC. Kurikulum GM untuk siswa Sinagpura juga sudah disiapkan dengan prinsip ajarkan, miliki, dan budayakan.
Baca juga : Narasi ”Well-Being” Memberikan Kebahagiaan Anak dalam Belajar
”Dari kajian OECD sudah terbukti, growth mindset ini dapat membantu siswa yang merasa dirinya biasa-biasa saja atau dari kelompok miskin atau marjinal bisa meraih prestasi baik. Demikian juga, dampaknya baik untuk meningkatkan mutu di negara yang sistem pendidikannya masih rendah seperti Indonesia,” kata Djohan.
Peran kepala sekolah
Kajian dari INSPIRASI Foundation yang berupaya meningkatkan mutu kepala sekolah berbasis komunitas praktisi pada Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) menunjukkan kepala sekolah masih lemah dalam kompetensi supervisi pembelajaran para guru di ruang kelas. Dengan memperkuat K3S menjadi komunitas praktisi, peningkatan kompetensi supervisi kepala sekolah terjadi dan berdampak pada hasil belajar siswa.
Dari kajian OECD sudah terbukti, growth mindset ini dapat membantu siswa yang merasa dirinya biasa-biasa saja atau dari kelompok miskin atau marjinal bisa meraih prestasi baik.
Cici T Wanita, peneliti dari INSPIRASI Foundation mengatakan, selama ini K3S lebih sebagai forum sosialisasi kebijakan pendidikan dari dinas pendidikan tentang pengelolaan sekolah sampai kelengkapan administrasi. Dampaknya tidak terasa pada hasil belajar siswa sekolah. Sebab, kompetensi supervisi kepala sekolah yang mampu mengatasi hambatan guru dalam pembelajaran tak tersentuh di K3S.
Ena Supriatna, Kepala Sekolah SD Islam Terpadu Nurul Iman di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, JAwa Barat, mengakui selama ini K3S tidak efektif. Tiap pertemuan, yang dibahas lebih berfokus pada sosialisiasi kebijakan, monitor dan evaluasi, maupun informasi kedinasan.
Padahal, tiap sekolah punya masalah yang beragam. Di antara sekolah negeri dan swasta pun berbeda masalahnya. Namun, forum K3S belum berperan nyata meningkatkan kapasitas kepala sekolah meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah masing-masing.
”Jujur, masalah supervisi akademik sering jadi momok yang membuat kepala sekolah bingung. Guru pun merasa terintimidasi jika ada supervisi. Dengan pelatihan dan pendampingan dari program INSPIRASI Foundation, saya merasa percaya diri menjalankan supervisi akademik yang membuat guru termotivasi meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas,” kata Ena.
Cici mengatakan, para kepala sekolah yang tergabung di K3S mendapatkan pelatihan untuk memperkuat kompetensi supervisi akademik. Adapun pengawas sekolah dilibatkan sebagai fasilitator untuk mendampingi kepala sekolah.
Menurut Cici, untuk menjadikan K3S sebagai komunitas praktisi yang efektif dalam meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah, pemda perlu membangun kapasitas pengawas/pengurus K3S menjadi fasilitator di K3S.
Pengawas/pengurus K3S mengidentifikasi masalah nyata yang dialami kepala sekolah di sekolah. Selain itu, pengawas konsisten melakukan pendampingan kepala sekolah saat aksi perubahan dilakukan guru serta pemda mengidentifikasi figur kuat di lingkungan K3S di kecamatan.