Intervensi Pola Pikir Bertumbuh Bisa Meningkatkan Pencapaian Akademik
Para tenaga pendidik menjadi kunci dalam membentuk pola pikir bertumbuh di kalangan peserta didik. Dengan memiliki pola pikir tersebut, pencapaian akademik para siswa diharapkan bisa meningkat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peserta didik di sekolah dan perguruan tinggi perlu memiliki pola pikir bertumbuh demi meningkatkan pencapaian akademik. Hal itu membutuhkan dukungan tenaga pendidik yang tak hanya menjadi pengajar akademik, tetapi juga membina peserta didik untuk menjadi pembelajar tangguh.
Agar dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa di perguruan tinggi penghasil calon guru menjadi pendidik dengan pola pikir atau mindset bertumbuh, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar Training of Trainer Growth Mindset Coach (GMC): ”UNY Kini dan Mendatang”, yang dimulai Jumat (27/8/2021) hingga Sabtu, secara daring dan luring.
Lebih dari 2.300 peserta bergabung untuk mendapatkan pelatihan sebagai GMC dari instruktur mindset internasional, Djohan Yoga, dengan dukungan Dewan Pengurus Pusat Ikatan Alumni UNY.
Rektor UNY Sumaryanto mengatakan, kegiatan ini sebagai komitmen UNY untuk menciptakan insan unggul. ”Pelatihan GMC ini diharapkan menjadi inspirasi bagi perguruan tinggi lain untuk menyiapkan sumber daya manusia unggul dengan memperkuat mindset pendidik dan peserta didik,” kata Sumaryanto.
Ketua Umum DPP IKA UNY Suyanto menilai, GMC ini untuk membekali pendidik dan calon pendidik yang melampaui pencapaian akademik. Pendidikan yang menjadi investasi peradaban butuh terobosan untuk membantu anak-anak muda siap menghadapi perubahan hidup. Riset terbaru membuktikan peran mindset bertumbuh atau growth mindset penting dimiliki pendidik untuk membantu anak-anak sejak usia dini agar yakin bisa bertumbuh.
Menurut Suyanto yang juga Guru Besar UNY dan anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) menggelar Programme for International Student Assesment (PISA) atau penilaian siswa skala internasional bagi siswa usia 15 tahun di dunia. Hasilnya, negara-negara dengan siswa yang punya pola pikir bertumbuh yang baik memiliki pencapaian akademik baik.
Indonesia yang terus terpuruk di deretan terbawah pada pencapaian PISA ternyata lebih dari 60 persen siswa tidak yakin mampu meningkatkan kemampuannya saat ini karena tidak memiliki mindset bertumbuh.
”UNY sebagai lembaga pencetak calon guru, strategis untuk melatih dosen jadi coach atau pelatih GM. Dampaknya, mahasiswa bertumbuh punya GM, memiliki generasi muda tangguh menghadapi tantangan, punya usaha luar biasa, menerima kritik untuk memotivasi diri, dan berusaha yang terbaik. Ini membuat capaian akademik bagus dan pembentukan karakter baik,” kata Suyanto.
Membenahi pola pikir
Djohan Yoga memaparkan, pada April 2021 OECD merilis riset faktor X yang dilakukan di dalam tes PISA 2018 terhadap 600.000 siswa berusia 15 tahun dari 78 negara, termasuk Indonesia. Hal ini dipicu keprihatinan karena negara-negara yang bertengger di bawah tak banyak perkembangan pada pencapaian nilai tes di PISA (literasi, sains, dan matematika), termasuk Indonesia.
”Dari riset ini, faktor X yang bisa mendorong peningkatan performa akademik yang baik karena ada pola pikir bertumbuh atau growth mindset sehingga siswa punya motivasi tinggi untuk belajar dan berusaha yang terbaik. Sebanyak 62 persen anak-anak Indonesia setuju mereka adalah seperti saat ini, tetap tidak mampu untuk berubah menjadi lebih pintar,” tutur Djohan.
Terkait hal itu, pendidik di Indonesia mesti disiapkan sebagai coachgrowth mindset. ”Mindset harus diajarkan dengan dengan prinsip coaching. Seseorang yang bisa melihat kekuatan, kelemahan, dan kesalahan orang, lalu membantu untuk berusaha mencari strategi tepat demi mencapai hasil terbaik. Relasi pribadi dan antarmanusia juga bisa terbangun,” papar Djohan.
Perbaikan kemerosotan akademik di pendidikan Indonesia perlu dibenahi dengan fokus membenahi nonakademik. Mindset menjadi kunci untuk memengaruhi reaksi seseorang bertindak tepat dalam meraih kesuksesan.
Sebanyak 62 persen anak-anak Indonesia setuju mereka adalah seperti saat ini, tetap tidak mampu untuk berubah menjadi lebih pintar.
Pada 2006, Profesor Carol S Dweck memperkenalkan growth mindset yang dinyatakan sebagai psikologi baru untuk sukses, yang juga digandeng OECD dalam riset hasil PISA 2018. Mindset dikategorikan dua, yakni fixed mindset atau FM (keyakinan bahwa seseorang lahir dengan kecerdasan dan kemampuan tetap dan tak bisa diubah lagi) dan growth mindset (keyakinan bahwa kemampuan seseorang bisa dikembangkan tak terbatas lewat proses belajar dan usaha).
”Dasar berpikirnya berbeda. Orang FM merasa perubahan jadi kendala dan memilih di zona nyaman, sementara yang GM menganggap perubahan sebagai peluang untuk bertumbuh dengan terus belajar,” kata Djohan.
Mindset bertumbuh ini relevan dalam dunia pendidikan karena menumbuhkan motivasi belajar siswa untuk mencapai hasil belajar tinggi. Siswa tidak takut gagal dan punya tujuan belajar yang jelas. Hal ini bisa dialami siswa karena memiliki guru GM yang membantu, membimbing, dan mengajar dengan baik.
”Kuncinya dimulai dari guru yang harus percaya bahwa mengajar itu proses, bukan untuk mengejar kesempurnaan. Jadi, semua dianggap unik dan mampu berhasil. Ketika siswa mengalami kesulitan, guru membantu siswa untuk yakin saat ini mereka belum bisa, tetapi akan bisa dengan berusaha,” kata Djohan.
Perbedaan
Para guru yang menjadi coach growth mindset ini berperan membantu siswa menggeser pola pikir FM ke GM. Ada lima area kehidupan yang harus dikuatkan, yakni dalam cara memandang usaha, kritik, kesuksesan orang lain, tantangan, dan hambatan. Dengan memiliki keyakinan GM, hal itu membuat orang menjadi kreatif, inovatif, dan gigih.
Orang dengan FM menghindari tantangan, menyerah saat menghadapi rintangan, meyakini usaha hanya hal mubazir karena yakin kesuksesan ditentukan takdir dan talenta, kritik dianggap sebagai serangan pribadi, serta memandang kesuksesan orang lain sebagai ancaman.
Sebaliknya, orang dengan karakter GM berani menerima tantangan, bertahan saat ada rintangan, usaha dilihat sebagai peluang untuk mengeluarkan segala potensi, menganggap kritik sebagai informasi gratis untuk perbaikan, dan memandang kesuksesan orang lain sebagai motivasi untuk lebih baik.
”Intervensi mindset di dunia pendidikan ini untuk memberikan pemahaman bahwa perjuangan dan tantangan bagian proses belajar, bukan indikasi kelemahan. Ini akan berdampak jangka panjang,” kata Djohan.
Setiap orang punya FM dan GM dalam dirinya. Yang dilakukan bukan mengubah, melainkan menggeser seseorang agar punya pola pikir bertumbuh dengan mengenali suara FM bernada negatif untuk merendahkan kemampuan kita. Sadari bahwa, selain suara FM, ada pilihan menghadirkan suara GM di dalam diri.
”Kapan pun medengar suara skeptis dan menghambat di kepala, selalu lawan dengan suara GM. Lalu, lakukan aksi GM dengan kegigihan,” kata Djohan.