Membantu Siswa Bertumbuh dengan Growth Mindset
Siswa yang memiliki mindset bertumbuh akan memiliki motivasi untuk menguasai tugas atau tantangan, memiliki keyakinan diri untuk mencapai sesuatu, punya tujuan belajar, dan menghargai nilai-nilai sekolah.
Indonesia senantiasa bertahan di posisi bawah sejak mengikuti tes Programme for International Student Assesment atau PISA untuk menguji performa akademik siswa berusia 15 tahun di bidang sains, matematika, dan literasi pada tahun 2001. Skor hanya naik sedikit atau bahkan turun.
Pada PISA tahun 2018, hasilnya juga belum menggembirakan. Pada April 2021, penyelenggara tes PISA Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mulai melihat pencapaian performa akademik siswa di suatu negara dengan faktor lain.
Para siswa ditanya pendapat mereka terkait keyakinan pada pernyataan bahwa kepintaranmu tidak dapat berubah banyak. Ada pilihan sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju dengan pernyataan itu.
Dalam rilis bertajuk “Sky’s the limit: Growth mindset, students, and schools in PISA”, diungkapkan betapa pentingnya memperkuat mindset atau pola pikir bertumbuh (growth mindset) untuk dapat mendorong siswa berperforma baik. Lebih dari sekadar tentang prestasi akademik, disebutkan dengan growth mindset membawa siswa menjadi sosok well-being.
Untuk Indonesia, rendahnya performa akademik di PISA, berkolerasi dengan rendahnya growth mindset. Indonesia berada di urutan ketiga terbawah, hanya unggul dari North Macedonia dan Kosovo. Sedikitnya 60 persen siswa di tiga negara terbawah dari hampir 80 negara ini sangat tidak yakin atau tidak yakin bahwa kemampuan mereka dapat berubah.
Di atas Indonesia, posisi diraih Panama dan Filipina. Adapun di urutan teratas, antara lain Estonia, Denmark, Jerman, Irlandia, dan Islandia. Di sejumlah negara, seperti di Asia Timur, memang terlihat skor akademik tinggi namun growth mindset rendah. Namun secara umum, performa bagus, growth mindset bagus.
Direktur Pendidikan dan Keterampilan OECD Andreas Schleicher mengatakan growth mindset sangat membantu untuk siswa dari kelompok tidak beruntung dan imigran untuk bisa berhasil dengan baik.
Dukungan guru dan sekolah penting agar siswa punya growth mindset merata di sekolah. Guru menolong siswa dengan pelajaran, memberi bantuan tambahan saat siswa membutuhkan, melanjutkan pengajaran sampai siswa paham, dan guru tertarik pada tiap pembelajaran siswa.
Baca juga: Inovasi Pendidikan di Era Pandemi
Guru juga dalam instruksinya mengadaptasi pelajaran dengan kebutuhan dan pengetahuan kelas, guru menyediakan bantuan individu saat siswa menghadapi kesulitan pemahaman pada topik atau tugas, hingga guru mengubah struktur pembelajaran dengan topik yang paling sulit dimengerti siswa.
Siswa yang memiliki mindset bertumbuh akan memiliki motivasi untuk menguasai tugas atau tantangan, memiliki keyakinan diri untuk mencapai sesuatu, punya tujuan belajar, dan menghargai nilai-nilai sekolah. Adapun ketakutan pada kegagalan berkurang.
Sementara itu, Carol Dweck dari Stanford University mengatakan growth mindset meyakini bahwa kepintaran dan kemampuan dapat dikembangkan secara tidak terbatas lewat proses belajar dan usaha. Sebaliknya yang fixed mindset meyakini bahwa seseorang lahir dengan kecerdasan dan kemampuan bersifat tetap dan tidak bisa diubah lagi.
Menurut Carol, growth mindset bukan berarti membuat semua orang mencapai level super tinggi. Namun, growth mindset ini kuat memprediksi well being. Seseorang akan merasa positif, memiliki makna hidup, hingga bisa mengatasi takut pada kegagalan.
"Bukan sekedar untuk berprestasi tinggi atau dapat nilai baik, namun bisa menjadi sesorang dengan well being," ujar Carol.
Menggerakkan guru
Mengacu pada studi global dampak growth mindset untuk mempersiapkan keberhasilan siswa Indonesia di masa depan, membuat pelatih internasional mindset Djohan Yoga yang selama ini mengajarkan growth mindset di perusahaan mulai berpaling pada dunia pendidikan. Djohan pun bersama Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Suyanto mulai memasifkan “virus” growth mindset di dunia pendidikan.
“Dunia pendidikan penting untuk menumbuhkan karakter dan mindset. Sudah tidak cukup pendidikan di sekolah hanya mengutamakan akademik yang kini mudah diakses di internet. Penguatan karakter dan mindset ini jadi kesempatan untuk membantu siswa Indonesia mumpuni,” kata Djohan.
Faktor non-akademik seperti karakter sudah lama dijalankan dalam pendidikan Indonesia, yang silih-berganti nama program saat Menteri Pendidikan berganti. Sayangnya, yang diperkuat hanya karakter moral.
“Anak-anak kita butuh karakter moral dan karakter perfomance. Jadi penguasaan pengetahuan lewat pembelajaran harus mendukung terbentuknya karakter moral dan karakter kinerja/performance,” ujar Djohan di acara webinar bertajuk Pendidikan dan Pembelajaran Berbasis Karakter di Era Revolusi Industri 4.0, Sabtu (24/7/2021).
Djohan mengatakan penguatan growth mindset, bisa mendorong motivasi untuk pencapaian terbaik. “Dengan mindset bertumbuh, anak-anak akan punya prinsip saya bisa lebih cerdas dari saat ini. Saya menjadikan belajar tujuan dan saya mau berusaha keras, saya akan lebih kuat. Jadi, anak-anak mau menyediakan waktu dan berusaha lebih keras. Pencapaian luar biasa bisa muncul,” kata Djohan.
Menurut Djohan, faktor non-akdemik seperti growth mindset yang dikaji PISA ini semakin penting. “Dari guru yang punya growth mindset, siswa kita di kelas bisa menjadi anak dengan mindset bertumbuh. Tidak takut gagal dan terus berusaha sampai bisa. Dari sinilah, inovasi dan kreativitas bermunculan,” ujarnya.
Djohan pun memanfaatkan masa pandemi Covid-19 yang membuat para guru terbiasa belajar daring berbagi strategi untuk pengajaran growth mindset di kelas. Program untuk menyiapkan growth mindset coach pun ditawarkan kepada para praktisi pendidikan dan guru yang punya komitmen untuk membantu pendidikan Indonesia maju.
Suyanto yang juga Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan mengatakan PISA ini jadi indikasi kesehatan pendidikan. Diketahui, bahwa faktor tentang keyakinan akan menentukan atau memengaruhi perilaku kita pada orang lain. “Kalau kita meyakini siswa pintar, kreatif, dan inovatif akan memengaruhi tindakan guru sehingga akan lebih baik mengajar siswa,” ujar Suyanto.
Menurut Suyanto, dari paparan tentang Top 10 Skill di dunia kerja yang secara rutin dirilis World Economic Forum, karakter menjadi tuntutan utama. “Karakter moral maupun karakter performance yang disebut-sebut. Tidak disebutkan yang pintar Matematika atau jago Fisika. Bukan tidak penting penguasaan pengetahuan, namun iti dilakukan dalam upaya membangun sehingga generasi muda kita daya komptetitif yang baik,” papar Suyanto.
Karakter dan sikap yang mendorong kreativitas dan berpikir kritis semakin penting di abad 21. Lalu bertambah lagi menjadi berpikir analitis untuk mampu menawarkan pemecahan masalah yang makin kompleks.
Baca juga: Ketertinggalan Akademik Siswa Indonesia di Kancah Dunia
Menurut Suyanto, OECD merefleksikan hasil PISA Indonesia yang tidak berubah, salah satunya karena persoalan mindset. “Jadi ini kesempatan baik untuk membuat training growth mindset dengan bagi para guru. Tujuannya untuk menyebarkan pandemi growth mindset ke banyak orang. Dari guru, orangtua, bisa membangun anak-cucu punya mindset bertumbuh. Kita mau geser 60 persen siswa yang punya fixed mindset ke growth mindset,” jelas Suyanto.