Teknologi Pendidikan Digital Membawa Peluang Perubahan Metode Belajar
Belajar itu seperti menanak nasi pakai ”rice cooker”. Namun, cara masak tidak disambungkan ke listrik, tetapi ”rice cooker” tetap ditaruh di atas kayu bakar. Karena itu, tak didapat manfaat dari pembelajaran jarak jauh.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Sampai saat ini, pilihan pembelajaran jarak jauh masih jadi andalan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih membahayakan keselamatan masyarakat. Namun, di daerah dengan status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM pada level 1-3, pemerintah menyerukan agar daerah tersebut segera melaksanakan pertemuan tatap muka terbatas. Alasannya, agar dampak kehilangan hasil belajar atau learning loss akibat lamanya tak belajar tatap muka di sekolah bisa mulai dipulihkan.
Dampak negatif pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berlangsung lama hampir 1,5 tahun pada hasil belajar, kompetensi, hingga pembentukan karakter siswa berulang kali diutarakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dan pejabat Kemendikbudristek lainnya. Suara masyarakat pun cenderung negatif karena PJJ dilakukan secara umum. Guru mengajar secara langsung di layar sesuai jam mata pelajaran kelas tatap muka yang terkadang terkendala sinyal atau gagap teknologi, lalu diakhiri dengan memberikan tugas yang bertujuan siswa lebih memahami materi yang disampaikan.
Metode belajar ceramah tetap saja jadi andalan para guru dalam sistem PJJ. Tak banyak variasi belajar yang dikembangkan guru, padahal dengan teknologi digital, peluang untuk membuat pembelajaran individual sesuai kebutuhan siswa ataupun membantu siswa mampu belajar mandiri terbuka lebar.
Ketua Smart Learning and Character Center Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Richardus Eko Indrajit dalam webinar bertajuk ”Meningkatkan Mutu Pembelajaran di Masa Pandemi” yang digelar Vikep Pendidikan Keuskupan Bogor, Selasa (17/8/2021), mengatakan, keberhasilan pendidikan itu fokus pada peserta didik, bukan guru. ”Para siswa yang paling tahu apakah mereka paham setelah belajar bersama guru, mendapat sesuatu atau tidak. Jadi, guru memang tidak boleh berhenti mencari strategi belajar yang tepat utuk semua siswa,” kata Indrajit.
Belajar itu seperti menanak nasi pakai rice cooker. Tapi, cara masak bukan disambungkan ke listrik, namun menaruh rice cooker tetap di atas kayu bakar. Karena itulah, PJJ tidak didapatkan manfaatnya.
Dari berbagai survei sederhana selama PJJ, siswa menyuarakan rasa bosan karena proses pembelajaran monoton, mudah ditebak, diulang-ulang, tidak melibatkan siswa, jauh dari menarik dan menyenangkan, hingga tugas yang terlalu mengada-ngada (miskin konteks). Sementara guru merasa sudah optimal mengajar siswa, menggelar kelas dengan Zoom dan G-meet, serta menjelaskan, tetapi dengan model ceramah atau berpusat pada guru.
Menurut Indrajit, tidak sinkronnya kepuasan siswa dan guru dalam pembelajaran secara daring atau PJJ terjadi akibat perbedaan cara pandang tentang pembelajaran daring. Guru senang verbal, anak suka visual. Guru ingin siswa duduk dan mendengarkan, siswa mau mencoba dan melihat. Guru masih suka gaya memerintah, siswa suka berkolaborasi. Guru lebih fokus pada kurikulum, siswa ingin guru berfokus pada pemelajar.
”Dalam ujian, guru maunya ujian tanpa melihat buku. Siswa ingin membuka buku yang luas. Guru suka pakai buku dan kertas, siswa sukanya layar dan devices,” paparnya.
Alhasil, guru yang masih mengedepankan metode pembelajaran ceramah kelas tradisional yang dipindahkan ke layar menimbulkan rasa frustrasi siswa dalam belajar. Padahal, metode pembelajaran ada ratusan, tetapi secara umum guru-guru masih mengggunakan 1-2 metode pembelajaran.
Indrajit menjelaskan, guru masih terjebak dalam metode ceramah karena membiarkan asumsi dan persepsi yang keliru tentang siswa generasi Z. Mereka merasa anak-anak tidak bisa belajar optimal jika tidak ditemani atau jika disuruh mencari bahan sendiri. Siswa dianggap malas. Padahal, saat didorong mengembangkan kreativitas, terbukti banyak siswa yang mampu membuat produk hasil belajar menarik, seperti grafik, animasi, video, atau podcast.
”Jadi, sekolah daring bukan lagi fokus mengajarkan materi, tapi membantu siswa belajar. Kalau guru berempati ke siswa, ya, buat strategi yang tepat, membuat pembelajaran yang masuk dengan kebutuhan siswa. Belajar caranya belajar, itulah yang harusnya terjadi di kelas. Jika siswa bisa belajar atau ketagihan belajar, dalam kondisi apa pun mereka akan bertahan dan beradaptasi,” tuturnya.
Ia pun mendorong para guru untuk menyediakan elemen kejutan, ada yang baru dan tidak didapatkan siswa di internet. Pastikan siswa merasa nyaman untuk belajar tanpa merasa takut berbuat salah. Siswa suka belajar yang meningkatkan adrenalin karena kreativitas membuat siswa terpacu berinovasi.
”Aktivitas belajar tidak perlu terlalu lama karena mereka yang harus banyak belajar mandiri. Guru berperan sebagai arsitek proses pembelajaran dan coach. Bukan siswa saja yang tidak bosan, tapi pendidik juga lepas dari bosan,” kata Indrajit.
Cara baru beradaptasi
Pendidik dan pembuat film Romo Murti Hadi Wijayanto mengatakan, sekarang memasuki era matinya kata-kata bagi anak muda. Mereka suka gambar dan suara. Jika membaca dan menonton, mereka tidak tahan dengan durasi panjang.
Menurut Murti, guru harus mau berdaptasi dengan media pembelajaran baru untuk meningkatkan minat belajar anak didik. ”Menemukan bentuk baru media pembelajaran jadi kode keras bahwa eranya kata-kata sudah hilang. Tidak cocok lagi dengan cermah satu arah. Anak-anak disentuh dengan hati, dengan storytelling,” ujarnya.
Murti mengatakan, model tayangan storytelling bisa membuat anak-anak berakata-kata dan mengungkap perasaan. Cara berhadapan dengan orang muda masa kini adalah masuk melalui ”pintu” mereka, keluar melalui ”pintu” kita atau pendidik.
”Anak muda suka ngobrol yang ringan, enggak penting. Ini tantangan bagi generasi tua, tapi inilah potret anak muda sekarang. Justru kita perlu berteman agar dari obrolan yang dianggap secara bersama-sama bisa menemukan nilai hidup yang dalam. Pendekatannya tidak lagi dengan ceramah atau khotbah, tapi membuka diri dan berdiskusi,” katanya.
Praktisi teknologi digital Indra Charismiadji mengatakan sudah tidak relevan memperdebatkan cara belajar yang efektif, tatap muka atau PJJ. ”Kenyataannya, saat ini pandemi belum berakhir. Jadi, kita harus bekerja sama untuk membuat ancaman learning loss menjadi learning gain atau mendapat manfaat optimal,” kata Indra.
Kunci utama untuk bisa mendapat manfaat dari PJJ, ujarnya, adalah mengubah cara pikir (mindset). Praktik PJJ yang terjadi sampai saat ini masih memindahkan ruang kelas konvensional ke dunia maya.
”Ibaratnya, belajar itu seperti menanak nasi pakai rice cooker. Tapi, cara masak bukan disambungkan ke listrik, namun menaruh rice cooker tetap di atas kayu bakar. Karena itulah, PJJ tidak didapatkan manfaatnya,” kata Indra menganalogikan kondisi PJJ saat ini.
Ia pun menyoroti praktik PJJ di kelas Zoom ataupun G-meet yang kerap terjadi. Guru masih saja ceramah soal materi yang ada di buku atau menggunakan presentasi Powerpoint. Ada guru yang menyajikan video dari Youtube atau dari platform belajar digital yang ditonton bersama-sama.
”Tapi, tetap saja, guru yang jadi pusat belajar. Padahal, saat ini materi belajar sudah dengan mudah diakses siswa. Yang dilakukan guru justru membuat sumber belajar itu terstruktur dalam koridor pembelajaran,” ujarnya.
Menurutdia, sekolah dan guru harus dibantu untuk dapat mengembangkan PJJ tidak hanya model sinkronus atau langsung. Ada model belajar asinkronus dan belajar campuran atau blended learning.
Salah satu contoh, di SMA Pangudi Luhur Santo Yusuf Surakarta, seperti diungkapkan dalam acara Sharing Pendidik yang digelar Vox Populi Institute Indonesia, transformasi pendidikan digital pada masa pandemi bisa dilakukan. Sekolah menerapkan metode pembelajaran integratif hingga kolaboratif . Hasilnya, siswa di sekolah ini melakukan terobosan dengan mengembangkan evaluasi inovatif dan kreatif dengan mendatangkan guru tamu.
Para guru dari mata pelajaran yang berbeda urun rembuk untuk menyatukan kompetensi dasar yang sama. Lalu, didesain pembelajaran kolaboratif utnuk satu tema sekitar empat minggu dan siswa mengerjakan proyek dalam satu tim. Evaluasinya tidak lagi oleh guru sekolah, tetapi secara virtual diadakan sidang dengan guru tamu dari sekolah lain.
”Awalnya merasa takut ketika akan diuji guru tamu. Ini baru pertama kali. Tapi, karena sudah disiapkan guru dan tim kami juga kompak dan geladi bersih, semua berjalan lancar. Saya malah senang dan belajar jadi menyenangkan. Tidak bosan,” kata Renard Christofer, siswa kelas XII IPS.
Renard mengatakan, tak hanya kompetensi memahami materi yang terasah. Dia juga merasa senang bisa berinteraksi dan berkolaborasi dengan teman-teman timnya untuk menyelesaikan proyek meski secara virtual. Selain itu, kemampuan presentasi dan mengomunikasikan pendapat juga mulai terlatih.