Menyalakan Kembali Asa Belajar Anak-anak Indonesia
Anak-anak mendambakan banyak ruang ekspresi, sekolah yang sejuk, dan kekeluargaan. Mereka mengharapkan guru yang kreatif, ramah, hingga mengikuti perkembangan jaman.
Penyebaran pandemi Covid-19 yang masih masif akibat varian Delta membuyarkan harapan siswa dan guru untuk bisa bertatap muka secara terbatas di sekolah. Pembelajaran pun digelar kembali secara daring, juga dengan sistem pembelajaran jarak jauh. Asa yang sempat menyala dalam diri anak-anak untuk bisa belajar bersama di sekolah memudar.
Praktik pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang belum sepenuhnya bertransformasi secara menyenangkan kembali berulang. Anak-anak merasa lelah dengan sistem belajar secara langsung dengan guru via zoom atau google meet sesuai jam pelajaran. Lalu guru menutup pertemuan di layar gadget atau laptop dengan deretan tugas tambahan yang harus dikerjakan sesuai waktu yang ditetapkan guru.
Joshepine (15), siswa kelas X SMA di Jakarta Timur, di malam hari rajin mengecek telepon genggamnya untuk mendapat kabar di grup percakapan yang dibuat guru maupun google classroom. Dari situlah informasi diberikan guru apakah akan bertatap muka secara daring atau hanya diberi materi presentasi power point (PPT).
Rutinitas pagi dimulai Josephine pukul 06.00, lalu dia bersiap membuka telepon genggamnya sesuai jadwal mata pelajaran pada pukul 07.30. Guru hadir di layar gadget sekitar 30 menit, memaparkan materi dalam bentuk PPT atau bersama mengerjakan soal. Kadang gangguan belajar datang karena sinyal yang tidak jelas. Kadang, ketika hendak bertanya lebih lanjut, waktu habis.
“Tiap hari ada empat sampai lima mata pelajaran. Guru ya gitu aja, kasih penjelasan, lalu memberi tugas. Tidak ada hari tanpa tugas. Jadi enggak enak dengan PJJ,”keluh Josephine.
Josephine mengatakan sebenarnya dia merasa tidak suka dengan sistem PJJ sekarang. “Soalnya dengan sistem belajar PJJ aku jadi agak susah mengerti materi, susah untuk berdiskusi. Di rumah, mikirnya menyelesaikan tugas terus. Ada 15 mata pelajaran, semua guru ngasih tugas,” keluh Josephine.
Di rumah yang lain, Frederick (6), yang baru masuk kelas 1 SD, kadang tak semangat saat layar laptopnya terbuka untuk zoom atau google meet. Guru mengajarkan buku teks, menyuruh siswa gantian membaca, atau mengerjakan soal bersama, lalu guru memanggil siswa untuk bergantian membacakan jawaban soal. Pertemuan di layar bisa berlangsung satu jam atau lebih. Sesudah itu, tugas pun menanti siswa, mengerjakan lembar kerja siswa, bisa 5-10 lembar tiap pertemuan. Kadang ditambah membuat video.
Tak hanya siswa, orangtua pun merasakan emosi negatif dengan PJJ yang kadang memberi siswa banyak tugas. Status seorang ayah di media sosial menggambarkan suasana belajar anaknya di rumah.
“Tiap hari ribut ibunya sama anaknya soal sekolah online. Bukan masuk pelajarannya, (tapi) anak jadi bodoh. Nadiem, Jokowi, udah sekolah di kelas aja,” tulis seorang ayah.
Ada orangtua yang menanggapi keluhan anak belajar dari rumah dengan bijak. “Aku mah enggaklah. Mending emosiku yang kukelola, daripada anakku terpapar stres,” ujar seorang ibu di media sosialnya.
Sementara dari pihak guru mengeluhkan siswa yang sulit fokus atau konsentrasi. Berkali-kali guru mengingatkan siswa untuk menghidupkan kamera saat belajar daring supaya untuk memastikan siswa mendengarkan penjelasan guru. Keluhan lainnya, siswa yang hadir belajar daring bersama pun sering tidak sesuai jumlah siswa di kelasnya.
Dominan Emosi Negatif
Kondisi belajar PJJ yang sudah memasuki dua tahun ajaran baru yang masih belum beranjak dari model klasikal di kelas dan berorientasi materi di buku, hanya memindahkannya ke layar gadget atau laptop, membuat siswa merasakan emosi negatif saat belajar. Pengalaman PJJ secara umum ditanggapi dengan nada tak menyenangkan.
Keluhan siswa Indonesia yang merasakan lebih banyak emosi negatif saat PJJ terpotret jelas dari hasil survei kondisi sosial emosional siswa yang dilakukan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GMS) dengan responden sebanyak 1.599 siswa SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat. Emosi negatif ini utamanya dipicu masalah kesulitan belajar akibat guru tetap saja menjalankan pembelajaran konvensional dan memberi banyak tugas, dan minim sentuhan sosial emosional selama pembelajaran.
Kesulitan belajar yang dirasakan siswa selama PJJ seperti kurang konsentrasi, kesulitan menjawab soal, kesulitan memahami materi, hingga materi yang kurang jelas. Siswa juga mengeluhkan guru yang lebih banyak memberi tugas serta tidak membangun cara belajar menyenangkan dan kolaboratif yang mendorong siswa bisa merasakan interaksi bersama.
Emosi negatif yang dirasakan siswa tertinggi di jenjang SMA/SMK/MA yang mencapai 70,6 persen, emosi positif 24,6 persen, dan netral 4,8 persen. Siswa SMP dan SMA mengalami emosi negatif sekitar 57 persen.
Emosi negatif yang dirasakan siswa mulai dari rasa bosan, sedih, stres, bingung, kurang semangat, kurang puas, merasa kurang efektif, maupun kurang nyaman. Ada juga yang merasa terbebani, kurang memahami materi, hingga kesulitan belajar.
Baca juga: Sekolah Siapkan Pola Pembelajaran yang Lebih Menyenangkan
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang juga Co-Founder GSM Novi Poespita Candra mengatakan, sebelum pandemi Covid-19 pun sebenarnya persepsi siswa saat menyebut sekolah sudah cenderung negatif, seperti merasa bosan, tertekan karena tugas dan tes sehingga ada yang sering membolos, hingga sering dihukum.
Dari hasil riset GSM kepada siswa dan guru SMA Tahun 2019 menunjukkan perbedaan harapan dan kebutuhan siswa dan guru tentang belajar di sekolah. Dari riset kepada anak-anak SMA di masa sebelum pandemi, tanggapan negatif juga sudah tinggi. Hal yang positif dari sekolah umumnya tentang teman dan jam istirahat.
Sayangnya, guru tak memahami pemikiran anak-anak tentang sekolah. Para pendidik menganggap siswa akan menjawab persepsi siswa tentang sekolah itu penting karena syarat untuk bekerja, mendapat ilmu, dan malas.
Anak-anak mendambakan banyak ruang ekspresi, sekolah yang sejuk, dan kekeluargaan. Mereka mengharapkan guru yang kreatif, ramah, hingga mengikuti perkembangan jaman.(Novi Poespita Candra)
Anak-anak mendambakan banyak ruang ekspresi, sekolah yang sejuk, dan kekeluargaan. Mereka mengharapkan guru yang kreatif, ramah, hingga mengikuti perkembangan jaman.
Founder GSM Muhammad Nur Rizal mengatakan, perlu ada perubahan revolusioner dalam sistem pendidikan Indonesia yang tidak lagu mengagung-agungkan akademik atau nilai. Para guru perlu diajak berubah untuk tidak semata menyandarkan pada buku, lembar kerja siswa, atau kurikulum. Pola pikir ini masih jadi tantangan berat di lapangan, baik dari guru maupun birokrasi pendidikan.
“Semangat Merdeka Belajar seharusnya memerdekakan pendidikan. Ketika ada tantangan, guru merdeka menemukan metodologi yang tepat, yang dibutuhkan anak. Guru menghamba pada anak-anak, bukan fokus menuntaskan pada kurikulum di PJJ. Karena kondisi saat ini ada keterbatasan jarak, keterbatasan kuota internet untuk berinteraksi, maka perubahan bisa dipercepat jika narasi bersama perubahan dipahami,” papar Rizal.
Rizal menambahkan, pendidikan Indonesia yang tetap mengutamakan akademik tanpa peduli dengan proses menumbuhkan potensi dan passion anak sesuai kodratnya sudah tidak relevan lagi dengan masa depan dan kebutuhan anak-anak. Kekhawatiran terjadinya learning loss bukan karena pandemi, tapi sistem pendidikan yang dijalankan belum menyiapkan siswa menghadapi perubahan.
“Pandemi memunculkan kelemahan yang terjadi selama ini. Momentum ini seharusnya dijadikan untuk perubahan mendasar dalam sistem pendidikan yang selama ini menyeragamkan potensi dan passion anak didik, memaksa anak didik hal, cara, dan waktu yang sama. Kurang ada ruang otonomi bagi anak untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki,” ujar Rizal.
Kebahagiaan Belajar
Belajar dalam kondisi yang didominasi emosi negatif, kata Novi, membuat motivasi belajar anak menurun. Dalam ilmu psikologi, untuk menumbuhkan motivasi dalam diri seseorang jika bisa menghadirkan hormon kebahagiaan (dofamine). Motivasi itu akan memunculkan dan mendorong aksi-aksi. Ketika anak-anak melakukan aksi, guru memberikan penghargaan berupa kata-kata positif hingga umpan balik terhadap pekerjaan siswa.
“Anak-anak Indonesia itu enggak senang belajar karena tidak punya motivasi belajar. Hal ini karena sekolah tidak mampu mengahadirkan hormon kebahagiaan. Apalagi dengan pandemi yang memicu lebih banyak emosi negatif. Sekolah malah berkontribusi menurunkan hormon kebahagiaan,” ujar Novi.
Baca juga: Kesehatan Mental Siswa Tetap Terjaga meski Belajar dari Rumah
Di masa pandemi Covid-19, kondisi emosi negatif dapat menurunkan imunitas. Banyak anak yang di masa pandemi yang mengalami stres karena terpapar Covid-19, orngtua terpapar atau meninggal dunia, tapi anak-anak tetap dibebani dengan tugas pendidikan yang tidak menyenangkan. Sementara masih banyak guru yang tidak paham dan tidak punya keterampilan membangun interaksi dengan anak-anak supaya tumbuh motivasi, kesenangan, dan kebahagiaannya dalam belajar.
Pendidikan tidak boleh mematikan rasa ingin tahu, kreativitas, dan menghilangkan keberagaman. Di PJJ yang hanya mengisi materi dan tugas membuat kodrat dan antusiasme belajar anak akan mati.
Dukungan untuk menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan di masa pandemi dilakukan GSM dengan memperkuat guru dan sekolah mempraktikkan pembelajaran yang berpusat di rumah/lingkungan sekitar atau home based learning. Rizal menjelaskan sumber belajar harus dari keluarga karena itulah relevansi yg terdekat dengan persoalan anak.
“Kalau diangkat dan diselesaikan dengan pendekatan ilmiah, jejaring informasi dan pengetahuan yang ada di internet, anak-anak jadi termotivasi dan antusias dalam proses belajar dan akan mengurangi masalah koneksi internet. Anak pun tidak bosan saat belajar di rumah dan ada variasi,” kata Rizal.
Dengan cara-cara yang sederhana, guru/sekolah GSM diajak untuk menghadirkan lingkungan belajar yang positif. Saat harus belajar di rumah maupun tatap muka terbatas di sekolah, energi positif yang meningkatkan kebahagiaan anak dapat membuat siswa bahagia belajar.
Contoh-contoh sederhana untuk menghadirkan energi positif dan engagement dalam pembelajaran diberikan untuk menginspirasi para guru. Energi positif bisa dilakukan dengan meminta anak menemukan satu hal positif baik diri sendiri, teman, keluarga, lingkungan, sosial media, yang membuat anak senang dan bahagia.
Mencoba membuat rutin bernama “harinya bintang”. Setiap anak digilir punya hari, dan anak lain diminta untuk menuliskan hal positif dari anak yang menjadi bintang. Si anak bintang akan merasa percaya diri dan menumbuhkan kesadaran diri. Teman-temannya punya ketrampilan melihat sisi baik dari teman lain.
Baca juga: Banyak Siswa Merasakan Emosi Negatif Saat PJJ
Secara berkala minta anak-anak punya satu keterampilan yang ingin ditingkatkan satu semester. Lalu, minta anak-anak mengevaluasi dirinya, usaha yang dilakukan, bagaimana rasanya, bagaimana hasilnya, dan pelajaran apa yang bisa diambil.
“Banyak kegiatan yang bisa diciptakan guru bagi siswa asal arah berubah dari standardisasi ke pengembangan diri,” ujar Rizal.