Kesehatan Mental Siswa Tetap Terjaga meski Belajar dari Rumah
Studi Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan, asumsi belajar dari rumah selama pandemi itu buruk karena menimbulkan banyak persoalan mental siswa tak sepenuhnya terbukti.
Belajar dari rumah secara daring merupakan hal baru bagi siswa. Hambatan dan tantangan tentu ada hingga dikhawatirkan memengaruhi kesejahteraan siswa. Nyatanya, studi Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan kondisi siswa yang belajar dari rumah selama pandemi tidak lebih buruk dibandingkan yang tetap mengikuti pembelajaran tatap muka atau campuran.
Rencana pemerintah membuka sekolah dan mengaktifkan pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021 menimbulkan pro dan kontra. Kekhawatiran atas keselamatan dan kesehatan seluruh warga belajar, baik siswa, guru, maupun wali murid jadi alasan penolakan sebagian kalangan. Namun, mereka yang takut atas hilangnya pembelajaran (learning loss) dan dampak psikologis yang dialami warga belajar menyambut positif usulan tersebut.
Selama pandemi, sebagian besar sekolah di Indonesia memang menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh. Namun, tetap ada sekolah yang mengadakan pembelajaran tatap muka, khususnya sekolah di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal. Sebagian sekolah di daerah dengan akses internet terbatas, termasuk di Jawa, membuat sistem belajar campuran yang memadukan belajar daring dan tatap muka secara terbatas.
Sejak awal dilakukan, pembelajaran daring menimbulkan persoalan pelik, mulai dari beban pulsa, terbatasnya akses internet, kelelahan siswa akibat tugas menumpuk dan sulitnya mempelajari materi secara daring, hingga stresnya orangtua mendampingi anak belajar jadi keluhan umum. Segala masalah itu meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga dengan anak dan perempuan yang paling banyak jadi korban.
Guru pun dinilai tak siap dengan metode pembelajaran baru hingga kerap jadi sasaran kritik pedas pendamping belajar siswa. Ketidaktegasan pemerintah terkait pengaturan pembelajaran daring dan target kurikulum menambah tekanan pada pendidik. Semua pihak menuntut dan dituntut bisa cepat beradaptasi dengan pola pembelajaran baru itu meski nyatanya semuanya masih gagap.
Berbagai persoalan itu membuat sebagian pihak mendorong segera dibukanya sekolah. Terlebih, siswa di negara lain pun sudah masuk sekolah, bahkan sejak beberapa bulan lalu. Desakan ini sudah muncul saat awal tahun ajaran baru 2020-2021 pada Juni dan Juli 2020 dan terulang kembali saat ini menjelang dimulainya semester genap 2020-2021 pada Januari nanti.
Namun, studi dampak belajar dari rumah yang dilakukan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia terhadap 15.304 siswa kelas IV hingga kelas XII dari 32 provinsi pada November 2020 menunjukkan tingkat stres siswa yang belajar dari rumah sama dengan siswa yang belajar tatap muka atau campuran. Bahkan, kondisi psikologis siswa yang belajar dari rumah relatif lebih baik dibandingkan siswa yang memakai metode pembelajaran lain.
Dari seluruh responden, 75 persen di antaranya belajar dari rumah, 3 persen menggunakan pembelajaran tatap muka dan sisanya belajar campuran. Namun, sebaran siswa dalam studi memang tidak merata karena hampir dua pertiganya berasal dari lima provinsi saja, yaitu Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. Selain itu, dua pertiga responden adalah siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK).
”Kondisi psikologis siswa saat ini tidak berbeda dengan kondisi mereka sebelum pandemi,” kata Ketua Satuan Tugas Covid-19 IPK Indonesia Annelia Sari Sani, Jumat (18/12/2020). Berbagai persoalan psikologis yang dialami warga belajar selama pandemi, seperti stres, kelelahan, hingga trauma, sejatinya juga sudah terjadi jauh sebelum pandemi berlangsung.
Berdasarkan studi tersebut, IPK Indonesia meminta pemerintah dan seluruh pemangku pendidikan untuk menunda pembelajaran tatap muka dan meneruskan metode belajar dari rumah. Dampak buruk belajar dari rumah yang muncul tidak bisa serta-merta dijadikan alasan membuka kembali sekolah karena studi IPK menunjukkan asumsi dampak buruk belajar dari rumah itu tidak selamanya valid.
Keamanan dan kesehatan tetap harus jadi prioritas utama dalam pengambilan kebijakan demi menghindari hilangnya kesehatan (health loss) dan hilangnya kehidupan (life loss). (Indria Laksmi Gamayanti)
”Keamanan dan kesehatan tetap harus jadi prioritas utama dalam pengambilan kebijakan demi menghindari hilangnya kesehatan (health loss) dan hilangnya kehidupan (life loss),” tambah Ketua IPK Indonesia Indria Laksmi Gamayanti.
Pembelajaran tatap muka baru dapat dilakukan kembali jika tingkat infeksi Covid-19 kurang dari 5 persen sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hingga 19 Desember 2020, tingkat infeksi Covid-19 di Indonesia masih mencapai 14,6 persen atau hampir tiga kali lipat dari batas aman yang ditetapkan WHO.
Baca juga : Membuka Sekolah dengan Aman
Tak lebih buruk
Studi IPK Indonesia itu dilakukan dengan mengukur dan membandingkan kondisi psikologisnya responden berdasarkan metode pembelajaran yang diikuti, yaitu belajar dari rumah, tatap muka, dan campuran keduanya. Pengukuran dilakukan menggunakan tiga instrumen psikologi untuk menilai masalah emosi dan perilaku, gejala trauma, dan kesejahteraan psikologis mereka.
Untuk penilaian masalah emosi dan perilaku siswa, lanjut Annelia, responden sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) yang belajar dari rumah menunjukkan tingkat emosi lebih rendah dibandingkan metode belajar lain. Sementara pada siswa SMA-SMK, tidak terdapat perbedaan dalam tingkat emosi mereka, apa pun metode belajarnya.
Sementara untuk pengukuran trauma terlihat gejala trauma yang dialami siswa SD tidak berbeda apa pun metode belajarnya. Namun untuk SMP dan SMA, mereka yang belajar dengan metode campuran menunjukkan gejala trauma paling tinggi, sedangkan bagi siswa SMK trauma tertinggi ada pada mereka yang belajar dari rumah.
Untuk kesejahteraan psikologis siswa, siswa SD dan SMP yang belajar dari rumah justru memiliki kesejahteraan psikologis lebih tinggi. Namun untuk siswa SMA, kesejahteraan lebih tinggi ada pada siswa yang belajar dengan metode campuran, sedangkan untuk siswa SMK tidak terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis yang berarti apa pun metode belajarnya.
Data itu menunjukkan asumsi belajar dari rumah selama pandemi itu buruk karena menimbulkan banyak persoalan mental siswa tak sepenuhnya terbukti. Memang ada persoalan yang muncul akibat belajar dari rumah, namun masalah itu tidak lebih buruk dibandingkan persoalan psikologis yang dialami siswa yang tetap belajar dengan tatap muka atau campuran.
Karena itu, pemerintah perlu berhati-hati memandang dan memilah suatu masalah agar solusi dan kebijakan yang diambil tidak malah menimbulkan persoalan baru yang lebih rumit. Membuka sekolah dengan tingkat infeksi Covid-19 yang masih sangat tinggi di daerah-daerah di Indonesia, justru bisa menjerumuskan siswa, guru, dan keluarga Indonesia dalam paparan Covid-19 yang lebih besar.
”Hasil studi ini bisa dijadikan acuan bagi pemerintah daerah yang selama ini diberi kewenangan pemerintah pusat untuk membuka sekolah atau tetap melanjutkan pembelajaran daring sesuai kondisi seberan Covid-19 di daerahnya,” kata Annelia.
Pembukaan sekolah di negara-negara lain tidak bisa dijadikan acuan langsung bahwa hal serupa bisa dilakukan di Indonesia. Negara-negara yang sudah membuka sekolah umumnya memiliki tingkat infeksi Covid-19 yang jauh lebih rendah dari Indonesia akibat gencarnya proses uji dan pelacakan yang dilakukan, seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan.
”Negara-negara yang sudah membuka sekolah juga memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi di antara kedua belah pihak, yaitu pemerintah sebagai regulator dan masyarakat,” tambah Annelia. Masyarakat di sana percaya pemerintah memiliki itikad yang baik untuk tetap menjaga kesehatan dan keselamatan warganya, sedangkan pemerintahnya juga percaya masyarakat akan menaati protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
Selain itu, infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan protokol kesehatan di negara-negara tersebut cukup memadai hingga pengaturan jarak siswa, ventilasi udara, maupun anjuran untuk sering mencuci tangan secara teratur bisa dilaksanakan. Kurikulum pembelajaran pun dimodifikasi hingga bisa menyesuaikan diri dengan protokol kesehatan meski ini butuh investasi besar.
Beberapa negara, seperti Jerman dan Skotlandia, juga memiliki basis penilaian ilmiah untuk menentukan siapa harus masuk sekolah lebih dulu. Siswa yang orangtuanya jadi garda depan penanganan Covid-19, baik anak tenaga kesehatan, polisi, atau militer akan diutamakan masuk sekolah lebih dulu. Gelombang berikutnya adalah anak dari orangtua tunggal. Penilaian itu dalam kerangka untuk menjaga dan melindungi anak, bukan mengejar pembelajaran semata.
Hilangnya pembelajaran adalah konsekuensi belajar dari rumah yang tidak bisa dihindarkan. Berbagai studi di sejumlah negara sebelum pandemi menunjukkan libur panjang selama musim dingin atau musim panas cukup mengurangi kemampuan pembelajaran siswa.
Selama pandemi, meski sekolah tidak diliburkan, proses belajar dari rumah diakui sulit memberikan hasil seoptimal belajar langsung melalui tatap muka. Efektivitas belajar, kemampuan siswa menyerap dan memahami pelajaran, hingga kemampuan guru menerangkan pelajaran secara daring tentu berbeda jika dibandingkan dengan pembelajaran melalui interaksi langsung.
Karena itu, untuk tetap menjaga kesehatan mental warga belajar selama proses belajar dari rumah, IPK Indonesia meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pemerintah daerah untuk melakukan sejumlah perbaikan guna menata pembelajaran daring lebih baik.
Penataan itu, lanjut Gamayanti, bisa dimulai dengan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan guru dalam pengelolaan kelas dan penyampaian materi belajar daring. Pelatihan ini penting sehingga, ”Guru menjadi lebih percaya diri dalam menjalankan metode belajar dari rumah sepanjang metode itu dibutuhkan,” katanya.
Bukan hanya itu, kemampuan guru memberikan dukungan psikososial bagi siwa juga perlu ditambah. Keterampilan dukungan piskologis awal ini tak hanya bermanfaat bagi siswa, tetapi juga bagi kesehatan mental para guru.
Selain itu, pendampingan bagi wali murid yang mendampingi siswa belajar dari rumah juga diperlukan. Upaya ini, tambah Annelia, bisa dilakukan dengan menyediakan modul-modul belajar untuk pengayaan pendamping belajar anak hingga wali murid memahami proses belajar yang sedang dijalani anak-anak sekaligus menjaga kesehatan mental mereka.
Baca juga : Petakan Kesiapan Pembukaan Sekolah
Apa pun pilihan metode belajar, kesehatan dan keselamatan anak tetap harus diutamakan. Hilangnya kemampuan pembelajaran masih berpeluang dikejar di masa depan. Namun kalau kesehatan yang hilang, apalagi kehidupan anak yang hilang, bangsa ini sungguh mengalami kerugian besar. Bukan hanya karena hilangnya modal dasar untuk mencapai kesejahteraan, yaitu penduduk, tapi juga sirnanya keadaban karena kegagalannya menghargai kehidupan.