Pandemi Covid-19 ini memotret sistem pendidikan yang tidak siap dalam mendukung kebutuhan anak-anak di semua jenjang pendidikan. Siswa mengalami masalah kesehatan mental, kebosanan, atau stres saat belajar di rumah.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Siswa SD hingga SMA/SMK sederajat mengalami lebih banyak emosi negatif saat menjalani pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19. Emosi negatif ini utamanya dipicu masalah kesulitan belajar akibat guru tetap saja menjalankan pembelajaran konvensional, memberi banyak tugas, dan minim memberi sentuhan sosial emosional selama pembelajaran.
Kesulitan belajar yang dirasakan siswa selama PJJ seperti kurang konsentrasi, kesulitan menjawab soal, kesulitan memahami materi, hingga materi yang kurang jelas. Siswa juga mengeluhkan guru yang lebih banyak memberi tugas serta tidak membangun cara belajar menyenangkan dan kolaboratif yang mendorong siswa bisa merasakan interaksi bersama.
Hasil survei kondisi sosial emosional siswa ini dilakukan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GMS) dengan responden sebanyak 1.599 siswa SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat. Survei untuk mengangkat suara siswa ini dilakukan pada April 2021 untuk mengevaluasi pendidikan di masa pandemi.
Kita sebenarnya sudah sering mendengar tentang apa yang terjadi pada anak-anak menjalani PJJ. Namun, belum ada yang berbasis riset untuk mengangkat suara siswa yang belajar dalam kondisi pandemi. (Novi Poespita Candra)
”Kita sebenarnya sudah sering mendengar tentang apa yang terjadi pada anak-anak menjalani PJJ. Namun, belum ada yang berbasis riset untuk mengangkat suara siswa yang belajar dalam kondisi pandemi,” kata dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang juga Co-Founder GSM Novi Poespita Candra, Kamis (5/8/2021) di Yogyakarta.
Selama ini untuk pendidikan, ujar Novi, yang diangkat masih sekadar seputar persoalan akademik. Padahal, ada masalah kesehatan mental, kebosanan, atau rasa stres. Pandemi Covid-19 ini memotret sistem pendidikan yang tidak siap dalam mendukung kebutuhan anak-anak di semua jenjang pendidikan.
”Sebelum pandemi pun, kondisi pendidikan selalu berorientasi akademik. Guru hanya fokus menuntaskan materi atau kurikulum karena arah pendidikan Indonesia memang masih fokus di akademik. Padahal, ada kebutuhan siswa di luar akademik yang penting, untuk menjadi sosok yang well being,” kata Novi.
Emosi negatif yang dirasakan siswa tertinggi di jenjang SMA/SMK/MA yang mencapai 70,6 persen, emosi positif 24,6 persen, dan netral 4,8 persen. Siswa SMP mengalami emosi negatif 57 persen, dan siswa SD 57 persen.
Emosi negatif yang dirasakan siswa mulai dari rasa bosan, sedih, stres, bingung, kurang semangat, kurang puas, merasa kurang efektif, maupun kurang nyaman. Ada juga yang merasa terbebani, kurang memahami materi, hingga kesulitan belajar.
Menurut Novi, anak-anak SMA/SMK/MA merasa kesulitan dengan kondisi pandemi ini. Sesuai perkembangan psikologi remaja, mereka lebih banyak butuh bersama teman sebaya. Di survei muncul jika mereka lebih banyak menceritakan permasalahan kepada orang lain, baru keluarga.
Dengan keterbatasan komunikasi dan sosialisasi dengan teman-teman dan model pembelajaran yang tidak kolaboratif, siswa semakin tertekan. ”Padahal, dengan PJJ, guru tetap bisa menciptakan suasana pertemanan secara digital. Mereka merasa punya teman dan kalau dikasih tugas kolaboratif akan saling kenal. Siswa mendambakan ada acara pembelajaran yang menantang, dengan games atau kejutan lain yang membuat mereka semangat belajar daripada ceramah di Zoom atau Google Meet,” kata Novi.
Menurut Novi, GSM lewat komunitas guru dan sekolah menyenangkan mendorong perubahan pola pikir untuk menjalankan pendidikan yang tak lagi fokus menuntaskan materi/buku, tapi memperkuat berpikir nalar anak-anak dengan cara yang menyenangkan. Di masa pandemi, kebutuhan engagement semakin dirasakan penting untuk tetap memotivasi siswa belajar.
Guru diberi pemahaman tentang pentingnya memperhatikan kondisi sosial emosional siswa, baik dengan aktivitas secara daring maupun luring. Ada sukarelawan mahasiswa menyampaikan materi tentang bagaimana cara pembelajaran yang fokus pada sosial emosional supaya anak dapat belajar karakter sederhana dan tetap bahagia.
”Guru selama dua hari belajar praktik sederhana yang bisa diimplementasikan di tempat, apa punya device atau tidak. Bukan semata untuk akademik, tapi agar semua senang dengan proses pembelajaran, baik, guru, siswa, maupun orangtua,” jelas Novi.
Amanda, siswa kelas I SMA swasta di Jakarta, mengaku selama PJJ guru tidak mencoba membantu membangun interaksi karena lebih fokus menyampaikan materi dan memberi tugas. ”Kurang enak dengan model PJJ, guru asal ngasih tugas sama materi. Jadi, enggak terlalu mengerti dengan materi belajar,” kisah Amanda.
Sementara itu, Anik Sudiatini, Kepala SMKPP Negeri 1 Tegalample, Bondowoso, Jawa Timur, mengatakan, sekolah memang sempat kebingungan menghadapi situasi pandemi yang tiba-tiba harus PJJ. Namun, dengan semangat ”Sekolah Menyenangkan”, guru-guru dapat beradaptasi untuk tetap lebih mengutamakan pembelajaran yang tidak hanya mengejar materi, tapi juga memotivasi siswa.
Anik mengatakan, siswa di sekolah ini bersal dari keluarga petani yang minim fasilitas TIK. Namun, pembelajaran tetap bisa berlangsung dalam kelompok kecil. Ketika belajar daring pun, guru dipastikan untuk menciptakan suasana belajar yang membangkitkan semangat siswa. Pembelajaran lebih banyak mendorong siswa memanfaatkan sumber daya di sekeliling rumah, bersama orangtua.
”Dari evaluasi, anak-anak yang sempat turun semangat belajar, jadi termotivasi lagi. Intinya guru harus jadi sosok yang menyenangkan dan paham kondisi siswa,” kata Anik.