Perempuan tuli sering dianggap masyarakat bukan sebagai disabilitas. Padahal, hambatan komunikasi sering membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Interaksi perempuan tuli dengan semua ranah kehidupan menimbulkan kerentanan terhadap berbagai kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Situasi itu terjadi karena mereka menghadapi hambatan komunikasi dan keterbatasan akses informasi.
Bahrul Fuad, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menyampaikan hal itu melalui disertasi berjudul ”Melindungi Perempuan Disabilitas dari Kekerasan (Studi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Tuli di Kabupaten Sleman, Yogyakarta)” dalam sidang promosi doktor sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Selasa (27/7/2021), secara daring.
”Posisi jender dan kondisi disabilitas individu tidak setara dalam bentuk hambatan komunikasi, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan life skill (kecakapan hidup), dan lemahnya dukungan psikososial. Hal ini mengakibatkan ketidakberdayaan dan memicu ketergantungan perempuan tuli terhadap pelaku kekerasan,” ujar Bahrul Fuad. Ia didampingi Dr Rosa Diniari, MS (promotor) dan Prof Irwanto, PhD (co-promotor) pada sidang promosi terbuka yang dipimpin oleh Prof Dr Dody Prayogo, MPSt itu.
Tingginya kerentanan perempuan tuli terhadap kekerasan ditemukan dalam riset yang dilatarbelakangi oleh tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas di Yogyakarta. Selama lima tahun terakhir, Yayasan CIQAL Yogyakarta mencatat 144 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas. Angka tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas tercatat di Kabupaten Sleman dan perempuan tuli merupakan kelompok yang paling banyak mengalami kekerasan.
Kerentanan ditemukan di semua tingkatan, mulai dari mikrosistem hingga makrosistem yang memiliki hubungan timbal balik. Hal itu disebabkan oleh keterbatasan informasi terkait dengan pendidikan seksual, pendidikan kesehatan reproduksi, serta informasi terkait bagaimana harus melapor jika mengalami kekerasan.
Posisi jender dan kondisi disabilitas individu tak setara dalam bentuk hambatan komunikasi, keterbatasan pengetahuan, keterbatasan life skill (kecakapan hidup), dan lemahnya dukungan psikososial.
”Perempuan tuli itu unik karena secara fisik beda dengan disabilitas fisik, netra, dan intelektual. Bolehlah dikata orang melihat teman-teman tuli, dia bukan seperti disabilitas. Di sisi lain, dia mengalami hambatan sehingga dimanfaatkan pelaku kekerasan sebagai celah untuk melakukan kekerasan,” kata Bahrul yang akrab disapa Cak Fu.
Informasi kesehatan reproduksi terbatas
Keterbatasan informasi membuat perempuan tuli sering tidak bisa membedakan mana itu pelecehan seksual atau bukan. ”Ini karena kesalahannya pada masyarakat yang tidak peduli dan mengganggap itu tidak penting, bahkan keluarga mereka menganggap pendidikan seksualitas, kesehatan reproduksi, tidak penting bagi perempuan disabilitas. Akhirnya mereka tidak memiliki literasi dan dasar pengetahuan tentang seksualitas,” ujar Bahrul.
Sebagai contoh, ada perempuan tuli memiliki pandangan bahwa berciuman antara laki-laki dan perempuan bisa menyebabkan mereka hamil, bahkan tidak bisa membedakan apa hubungan asmara dengan cinta dan bercinta. ”Ini salah persepsi dan membuktikan budaya tuli dan budaya dengar di masyarakat ada perbedaannya, dan budaya tuli punya metode komunikasi tersendiri,” katanya.
Bahrul menyimpulkan, kekerasan yang dialami perempuan tuli memiliki pola, yakni pelaku kekerasan merupakan orang dekat atau orang yang dikenal korban, kekerasan dilakukan di ranah domestik (di rumah pelaku atau di rumah korban), dan korban kekerasan tidak melawan saat terjadi kekerasan pada dirinya.
Kekerasan terhadap perempuan tuli juga disebabkan kuatnya budaya patriarki, stereotip, dan stigma terhadap perempuan dengan disabilitas. Hal itu diperparah oleh sistem layanan hukum yang belum berpihak kepada penyandang disabilitas.
Maka dari itu, kapasitas perempuan tuli terkait akses terhadap pendidikan seksual, akses informasi pencegahan kekerasan, dan akses sumber daya ekonomi terhadap perempuan tuli perlu ditingkatkan untuk mendorong kemandirian finansial mereka. Selain itu, pendidikan publik diperlukan untuk menghapus stigma terhadap disabilitas sekaligus mengubah persepsi dan perilaku sosial warga jadi lebih positif terhadap penyandang disabilitas.
Pada disertasinya, Bahrul mengungkapkan, berkembangnya stereotip negatif tentang seksualitas dan disabilitas serta mitos tentang kekuasaan, akses, dan perasaan superioritas menjadi faktor pendorong individu melakukan kekerasan.
”Mengacu pada teori jender, perempuan tuli, sebagaimana perempuan pada umumnya, dituntut untuk berperan secara ideal sebagai istri sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Pada waktu yang sama, perempuan tuli menghadapi tantangan bahwa dirinya mengalami hambatan komunikasi dibandingkan perempuan pada umumnya, membuat mereka hampir tidak mampu memenuhi tuntutan peran ideal tersebut,” katanya.
Perempuan tuli dan perempuan dengan disabilitas secara umum juga dianggap tidak mampu memenuhi peran prokreasi dan menjalankan peran menjadi ibu. Kondisi itu mengakibatkan perempuan tuli mengalami berbagai stigma dan stereotip negatif di masyarakat, seperti dianggap tak punya hasrat seksual, melahirkan keturunan cacat, tidak dapat berperan sebagai istri yang baik, dan tidak mampu merawat anak.
Tidak diajari bahasa isyarat
Menurut Irwanto, disertasi Bahrul mengungkap bahwa perempuan tuli merupakan kelompok paling rentan pada kekerasan karena mereka sulit berkomunikasi dan orang lain sulit memahami situasi mereka. ”Celakanya, orangtua yang memiliki anak tuli tak mengajarkan bahasa isyarat, tapi lebih mengajarkan cara membaca bibir kalau tatap muka, sehingga komunikasi lemah,” ujarnya.
Situasi ini membuat perempuan tuli jadi kelompok rentan dari kekerasan seksual oleh pria yang membutuhkan layanan seksual dan mencari korban-korban dari kelompok disabilitas, seperti disabilitas mental dan tuli, yang dinilai tidak berdaya. Di sisi lain, perempuan disabilitas ketika menikah rentan terhadap kekerasan domestik/kekerasan dalam rumah tangga dari orang-orang terdekat, suami, dan anggota keluarga lain, termasuk mertua.
”Dia hanya bisa menerima apa adanya. Perempuan dengan disabilitas tidak pernah dilatih menjadi dirinya sendiri. Semua keputusan diambil orang lain, dan ketika menikah dipasrahkan pada suami,” ujar Irwanto.