Kekerasan Seksual Terus Mendera Perempuan Disabilitas
Selama pandemi, kasus kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan pelecehan seksual merupakan kasus tertinggi yang dialami perempuan disabilitas.

Penyandang disabilitas membuat karya kerajinan pada Ekshibisi Karya Perempuan Se-Indonesia, bagian dari rangkaian Peringatan Hari Ibu Ke-91, yang digelar di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (21/12/2019). Adapun puncak Peringatan Hari Ibu Ke-91 dilaksanakan di Kota Lama Semarang, Minggu (22/12/2019).
Sebelum pandemi berlangsung, penyandang disabilitas, terutama perempuan dan anak disabilitas, sudah berada dalam situasi rentan terhadap berbagai kekerasan. Di masa pandemi, lingkaran kekerasan terus membayangi perempuan disabilitas. Bahkan, selama pandemi, kasus kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan pelecehan seksual merupakan kasus tertinggi yang dialami perempuan disabilitas.
Tingginya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami perempuan disabilitas selama pandemi sudah diungkap dalam Risalah Kebijakan ”Dampak Covid 19 pada Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas” Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia yang diluncurkan akhir 2020.
Dari risalah tersebut disebutkan, pandemi Covid-19 berdampak langsung pada seluruh penyandang disabilitas, mulai dari penyandang disabilitas fisik, intelektual, mental, sensorik, hingga disabilitas ganda. Dampak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas berbeda dengan dampak yang dirasakan oleh non-disabilitas. Itu karena ketimpangan akses dan kesempatan bagi penyandang disabilitas, seperti belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak.
Namun, bagi perempuan dengan disabilitas, dampak pandemi menjadi berlipat ganda. Hal ini karena faktor ketidaksetaraan jender yang juga sudah mengakar dan cenderung membatasi ruang gerak perempuan pada ranah domestik. Kondisi tersebut setidaknya tergambar dalam survei daring oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas pada April 2020 dengan 738 responden.
Masih banyak korban yang memilih tidak melaporkan kasus yang menimpanya atau keluarga korban memilih untuk melakukan penyelesaian secara kekeluargaan. (Maulani A Rotinsulu)
Dari survei singkat dan diskusi kelompok terfokus dengan perwakilan responden dari Lampung, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, DKI Jakarta, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Ambon, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menemukan berbagai kekerasan seksual yang dialami perempuan disabilitas.
Sebanyak 70 persen responden (perempuan disabilitas) mengalami kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual, 15 persen pemerkosaan, dan 10 persen eksploitasi seksual. Sekitar 36 persen kekerasan dialami perempuan disabilitas secara langsung, 36 persen melalui media daring, dan 2 persen berupa peretasan (hacking).
Untuk pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dialami perempuan disabilitas, kebanyakan pelakunya yaitu orang dekat korban, seperti ayah, saudara kandung, paman, tetangga, dan pacar korban. Lokasi kejadian lebih banyak di dalam rumah tangga. Para korban yang didampingi rata-rata masih di bawah umur dengan rentang usia 11 hingga 18 tahun.

Penyandang disabilitas rungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat saat menyiapkan menu makanan di Dapur Dif_able, kedai makanan di Kota Bandar Lampung, Lampung, yang dikelola oleh penyandang disabilitas, Jumat (5/3/2021).
”Tidak semua kasus yang didampingi dapat diselesaikan secara hukum. Sebab, masih banyak korban yang memilih tidak melaporkan kasus yang menimpanya atau keluarga korban memilih untuk melakukan penyelesaian secara kekeluargaan, baik karena intimidasi pelaku maupun karena pilihan sendiri,” ujar Ketua Umum HWDI Maulani A Rotinsulu, Selasa (4/5/2021).
Selain keterbatasan korban dalam melaporkan kasus yang dialami semasa pandemi, minimnya laporan kasus juga karena pengaruh pembatasan sosial berskala besar dan terbatasnya akses ke layanan. Hampir semua lembaga layanan dan pendampingan mengurangi separuh dari kapasitas layanan tatap mukanya dengan menerapkan sistem pemantauan jarak jauh.
Baca juga: Didiamkan, Kekerasan Seksual Perempuan Disabilitas Tak Banyak Terungkap
Di awal 2021, potret kekerasan seksual yang dialami perempuan dengan disabilitas juga masuk dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020 yang dilaporkan pada awal Maret 2021. Seperti 2019, sepanjang tahun 2020 Komnas Perempuan juga mencatat ada 87 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, tidak jauh dari tahun sebelumnya.

Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu (paling kanan depan) memberikan masukan kepada Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (27/3), di salah satu ruang komisi di DPR. Hari itu, Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan yang memiliki jaringan lembaga di 32 provinsi memberikan masukan kepada DPR terkait proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR.
Sementara kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan disabilitas didominasi pemerkosaan dan sebagian besar pelakunya tidak teridentifikasi oleh korban. Dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, tergambar bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rentan (47 persen).
Karena itulah selain layanan dan pendampingan korban, selama pandemi perhatian khusus perlu diberikan pada koordinasi antarlembaga, aksesibilitas terhadap layanan, serta sistem peradilan dan penegakan hukum. Sistem rujukan atau program layanan yang inklusif dapat diakses dan terintegrasi antarlembaga terkait, mekanisme pengaduan di masa pandemi, pemberdayaan perempuan disabilitas terkait hak reproduksi dan kemampuan melindungi diri sendiri, serta penguatan sistem pendataan kasus-kasus kekerasan berbasis jender, pun harus menjadi perhatian serius oleh semua pihak.
Indikator pemantauan
Perhatian khusus atas situasi dan kondisi perempuan disabilitas sebenarnya sudah masuk dalam ”Indikator dan Alat Pemantauan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas” yang diluncurkan Jaringan Organisasi Disabilitas bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kantor Staf Presiden (KSP), Rabu (28/4/2021).
Buku indikator tersebut memberikan perhatian secara umum pada penyandang disabilitas dan menempatkan perempuan disabilitas pada posisi pertama yang harus mendapat perlindungan dan pemberdayaan. Ini karena perempuan memiliki multikerentanan dan keberadaannya menjadi pertimbangan pemerintah dan arus utama dalam penyusunan kebijakan publik.

Seorang penyandang disabilitas menjalani perekaman untuk pembuatan KTP elektronik di Palembang, Kamis (25/2/2021). Banyak penyandang disabilitas yang belum melakukan pendataan administrasi kependudukan karena keterbatasan fisik.
Kehadiran indikator tersebut sangat mendesak, mengingat pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sejak lima tahun lalu masih menghadapi tantangan.
Hingga kini belum ada data dan informasi akurat terkait situasi pemenuhan hak-hak disabilitas. Kurangnya data tersebut berdampak pada minimnya upaya untuk memprioritaskan kebijakan dan program, termasuk alokasi sumber daya dan dukungan politik, terhadap penyandang disabilitas. Isu inklusi dan pemenuhan hak-hak disabilitas belum mendapat perhatian serius dalam skala prioritas pembangunan, baik tingkat nasional maupun daerah.
Baca juga: Balada Perempuan Disabilitas di Tengah Pandemi
Ke depan, indikator tersebut akan menjadi panduan yang dapat membantu organisasi penyandang disabilitas, baik nasional maupun daerah, dalam melakukan kerja-kerja pemantauan dan advokasi. Hal itu juga menguatkan inisiatif kolektif untuk dapat bekerja sama membangun upaya pemantauan yang berkelanjutan.

Selain itu, menjadi alat atau instrumen pemantauan serta pengukuran terhadap perkembangan dan kemajuan upaya pemenuhan hak-hak disabilitas, baik di tingkat regulasi, implementasi program, maupun capaian serta dampak perubahannya.
”Jadi, selama ini memang belum ada alat ukur yang jelas dalam memonitor hak penyandang disabilitas. Jika pun ada pemantauan lebih bersifat pemantauan program oleh pemerintah, yang hanya memotret pencapaian dari sisi kegiatan atau program dan bukan substansi pemenuhan haknya. Sejauh ini, kita tidak punya baseline (acuan) akurat soal bagaimana pemenuhan hak penyandang disabilitas,” papar M Joni Yulianto, Koordinator Penyusunan Buku Indikator dan Alat Pemantauan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Tidak boleh ada penyandang disabilitas yang tertinggal dari berbagai program pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).
Di isu pendidikan, misalnya, hingga kini hanya tersedia gambaran atau belum ada data akuran tentang perkembangan dan ketimpangan kesempatan pendidikan antara difabel dan nondifabel. Padahal, hal tersebut sangat diperlukan untuk mengukur implementasi dari pemenuhan hak penyandang disabilitas.
”Tidak adanya pengumpulan data perkembangan yang konsisten, salah satunya disebabkan tidak adanya instrumen baku yang dapat menjadi rujukan. Hal itulah yang coba dijawab dengan lahirnya indikator ini,” ujar Joni.

Meskipun indikator pemantauan penyandang disabilitas yang tersusun sudah cukup lengkap, Maulani melihat masih ada yang terlewatkan dalam indikator tersebut, yakni isu anak dengan disabilitas. ”Buku indikator pemantauan tersebut belum mengupas data dan persoalan anak disabilitas serta bagaimana mengangkat hambatan mereka sejak usia anak. Habilitasi yang adalah salah satu tools untuk meminimalkan dampak besar pada anak disabilitas di masa dewasa tidak tereksplor secara eksplisit,” papar Maulani.
Jangan tertinggal
Bagi pemerintah, hadirnya buku Indikator dan Alat Pemantauan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas bermakna penting untuk menyajikan data obyektif baik kualitatif maupun kuantitatif terkait kemajuan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia.
Hal tersebut sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam pidato peringatan Hari Penyandang Disabilitas Internasional 2020 yang meminta semua pihak agar tidak boleh ada penyandang disabilitas yang tertinggal dari berbagai program pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).

Deputi V Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardhani di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (25/4/2019).
Karena itu, peraturan yang baik, rencana yang baik, tidak ada gunanya tanpa keseriusan dalam pelaksanaannya. ”Kuncinya adalah di implementasi. Semua pihak mulai dari kementerian hingga pemerintah daerah juga harus aktif dalam mendukung hal tersebut,” ujar Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM, Kantor Staf Presiden.
Ke depan, semua pihak hendaknya memastikan semua kebijakan dapat terlaksana dengan baik, dieksekusi dengan tepat, dan dirasakan manfaatnya oleh penyandang disabilitas.
Hal ini seharusnya sejalan dengan pengesahan UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pengganti UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat, yang menandai era baru perubahan paradigma negara terhadap penyandang disabilitas. Jika sebelumnya menggunakan paradigma belas kasihan (charity based), kini beralih ke paradigma hak asasi manusia (human rights based).