Jangan Bayangkan Lagi Pendidikan seperti Tahun 2019
Kondisi pandemi yang belum jelas kapan berakhir dan perkembangan pendidikan modern menjadikan pendidikan digital semakin penting dan krusial.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Pertemuan tatap muka terbatas berulang kali disebutkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim serta pejabat di kementerian tersebut sebagai cara yang krusial untuk mengatasi hilangnya pengalaman belajar atau learning loss anak-anak sekolah di Indonesia. Persiapan menyambut tahun ajaran baru 2021/2022 pun lebih banyak untuk memastikan pembelajaran secara langsung di sekolah dengan protokol kesehatan ketat bisa terlaksana secara masif. Meskipun acuan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat dan zona merah tetap jadi pegangan bisa tidaknya pembelajaran tatap muka terbatas digelar.
”Kami menyarankan sekolah di zona hijau memberikan opsi pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas. Kami bisa memahami kekhawatiran masyarakat, tetapi juga perlu diingat risiko kalau tidak memberikan opsi PTM terbatas, ada dampak jangka panjang (terhadap siswa). Masa depan Indonesia bergantung pada sumber daya manusia dan tidak ada tawar-manawar untuk pendidikan,” kata Nadiem (Kompas, 3/6/2021).
Pada Maret 2020-Juli 2021, secara umum pendidikan secara luring memang lebih banyak terhenti. Sekolah akhirnya menggelar pembelajaran jarak jauh (PJJ) daring meski tetap bergaya konvensional. Materi dan cara pengajaran tetap konvensional, hanya saja disampaikan secara daring.
Namun, ada juga sekolah yang terhenti aktivitas belajar mengajarnya atau tidak optimal menjalankan pembelajaran karena guru dan siswa terkendala belajar daring. Kondisi ini memang mengancam hasil belajar yang bisa mengakibatkan learning loss.
”Terlihat Kemendikbud Ristek lebih memforsir persiapan sekolah tatap muka atau PTM terbatas. Kita bisa mengerti jika di daerah yang tidak ada infrastruktur gawai dan jaringan internet, ya, menyerah untuk belajar daring, PTM 100 persen memang mutlak. (Tapi) Bagi daerah yang punya gawai dan jaringan internet, justru learning loss bisa terselamatkan. Masalahnya, pembelajaran daring seperti apa yang terjadi selama PJJ,” kata Co-Founder dan Chairman PesonaEdu Hary Sudiono Candra, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (20/7/2021).
Hal senada disampaikan praktisi pendidikan digital Indra Charismiadji. Problem utama untuk menjadikan momentum pandemi Covid-19 sebagai lompatan menyiapkan pendidikan digital berkualitas di Indonesia justru dari kekacauan pola pikir Kemendikbud Ristek. Tanpa PTM terbatas, pendidikan dinilai berdampak negatif pada keberlangsungan pendidikan di Indonesia.
”Setiap paparan soal kondisi pembelajaran, termasuk dengan SKB empat menteri, ada pesan negatif tentang PJJ dari Kemendikbud Ristek. Justru PTM yang dikedepankan. Tentu saja mindset ini berdampak pula pada guru, siswa, dan orangtua yang lebih percaya PTM daripada PJJ,” kata Indra.
Menurut Indra, pendidikan Indonesia sekarang jangan dibayangkan seperti sebelum pandemi. Kondisi pandemi yang belum tahu kapan berakhir dan perkembangan pendidikan modern memang menjadikan pendidikan digital bagian dari sistem pendidikan. Ide menggelar pendidikan digital secara penuh ataupun campuran akan semakin diterima dan menjadi bagian peradaban manusia.
”Harus diubah pemikiran birokrat pendidikan yang fixed mindset menjadi growth mindset. Pendidikan digital berkualitas bisa disiapkan dan sangat positif untuk mutu pembelajaran. Asal semua pihak mau beradaptasi dan serius menyiapkannya,” ujar Indra.
Harus diubah pemikiran birokrat pendidikan yang fixed mindset menjadi growth mindset. Pendidikan digital berkualitas bisa disiapkan dan sangat positif untuk mutu pembelajaran. Asal semua pihak mau beradaptasi dan serius menyiapkannya. (Indra Charismiadji)
Motivator Growth Mindset Djohan Yoga mengatakan, dunia pendidikan harus didorong untuk menggerakkan perubahan dengan menggeser fixedmindset (kecerdasan dan kompetensi tidak berubah) ke pola pikir tumbuh/growth yang meyakini kecerdasan dan kompetensi bisa berkembang. Pendidikan Indonesia yang tertinggal dari negara-negara lain, terlihat dari hasil PISA, tak hanya dipengaruhi faktor kognitif, tetapi juga dipengaruhi faktor nonkognitif/non-akademik.
”Pentingnya growth mindset diperkuat lewat dunia pendidikan. Kreativitas dan inovasi lahir untuk menghadapi ketidakpastian hidup dengan pikiran yang terbuka dan berkembang, dimulai dari berani berbuat salah untuk kemajuan,” ujar Djohan.
Jadi momentum
Kondisi pendidikan yang belum pulih akibat pandemi memang kembali mengandalkan PJJ. Tahun ajaran baru ini seharusnya menjadi momentum untuk memantapkan pendidikan digital berkualitas di semua sekolah. Tak mungkin lagi anak Indonesia tertinggal dari digitalisasi pendidikan.
Hary mengatakan, Kemendikbud Ristek harus mau memanfaatkan sumber daya dan potensi yang ada di Indonesia untuk bisa memantapkan pendidikan digital. Belajar dari Singapura, Kementerian Pendidikan selama dua tahun menyiapkan pendidikan digital dengan nama Student Learning Space (SLS) sehingga dapat digunakan sekolah, guru, siswa, dan orangtua sejak 2018.
Di laman resmi disebutkan, SLS merupakan platform pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk menambah pengajaran dan pembelajaran yang sudah ada di sekolah. Kementerian Pendidikan Singapura mengurasi beragam sumber daya pendidikan sehingga SLS memberdayakan siswa untuk belajar fleksibel sesuai kecepatan, kebutuhan, dan minat mereka. Siswa didorong untuk merasakan kepemilikan yang besar pada tugas-tugas, bekerja erat dengan rekan, belajar mandiri, dan menjadi pelajar yang bertanggung jawab.
Menurut Hary, PesonaEdu memiliki buku teks digital interaktif yang dilengkapi dengan animasi dan simulasi pendidikan yang membuat siswa mampu belajar mandiri sesuai dengan kurikulum yang digunakan di Singapura, negara yang pernah meraih capaian PISA nomor satu di dunia. Sejak 2008, PesonaEdu yang menghasilkan perangkat lunak pendidikan sains dan matematika karya asli Indonesia, dipakai di 23 negara, termasuk Singapura.
Pada 2020, PesonaEdu mengembangkan Pesona Academy untuk mendukung pendidikan digital Indonesia. Selain tersedia buku teks interaktif untuk sains, matematika, bahasa inggris, bahasa Indonesia, serta buku bacaan anak, inovasi dilakukan dengan menghadirkan Learning Content Management System (LCMS). Dukungan pendidikan digital PesonaEdu Academy, antara lain, dilakukan di Bireuen, Aceh, dan Nabire, Papua, untuk membuktikan teknologi pendidikan dapat mengatasi kesenjangan mutu pendidikan.
”Konten pembelajaran interaktif dan LMS yang bisa memadukan audio dan video sangat dibutuhkan. Kemendikbud Ristek harus bergerak ke sana untuk memantapkan pendidikan digital yang saat ini masih dianggap ’neraka pendidikan’ akibat guru dan konten yang masih belum siap,” kata Hary.
Indra mengatakan, untuk memantapkan pendidikan digital di Indonesia secara kelembagaan, socio technical knowledge management mesti diterapkan, baik di tingkat birokrasi pendidikan maupun sekolah. Kerangka 3i, yakni infrastruktur, infostruktur, dan infokultur harus dilaksanakan secara utuh.
Pendidikan digital membutuhkan kesiapan infrastruktur seperti gawai dan jaringan internet. ”Harus dibuat rencana, dari yang tidak ada, ya, diadakan untuk pendukung infrastruktur digital ini. Satu gawai pun bisa dipakai bersama-sama,” ujar Indra.
Terkait infostruktur, jelas Indra, harus disiapkan informasi yang terstuktur. Dulu, informasi belajar terbatas dari guru, kini berlimpah di internet, tetapi harus dibuat terstruktur agar siswa tidak terjebak dalam informasi hoaks, tendensius, dan lain-lain. Karena itulah, sekolah mulai mengembangkan dengan memiliki domain sekolah, penggunaan aplikasi, hingga learning management system (LMS).
”Dengan LMS, baik gratis maupun berbayar, layanan pendidikan terstruktur, bahkan bisa sudah on demand atau sesuai kebutuhan siswa. Ada data tentang berapa lama siswa belajar, apa yang dipelajari, dan hasil belajarnya. Guru bisa memantau kualitas siswa dengan informasi yang terstruktur dalam LMS,” kata Indra.
Tak kalah penting penyiapan infokultur. Kultur pembelajaran digital dengan tatap muka berbeda. Pendidikan digital membangun budaya baru belajar bisa di mana saja dan kapan saja, bahkan sistem pembelajaran on demand atau sesuai dengan kebutuhan siswa harus disiapkan.
Budaya bersekolah yang one size for all, harus belajar bersama dalam waktu yang sama serta di tempat yang sama, harus mulai bergeser. Pembelajaran yang fleksibel semakin berkembang atau terpersonalisasi, di mana guru tetap punya peran sebagai fasilitator.
Guru dapat memantau kondisi siswa dengan membaca data di LMS, lalu memberikan dukungan atau intervensi sesuai kebutuhan siswa agar siswa berkembang sesuai potensi dan minatnya. Kemampuan belajar mandiri siswa penting untuk menciptakan karakter pembelajar sepanjang hayat.
”Jangan bayangkan pendidikan akan kembali seperti tahun 2019 yang masih mengandalkan tatap muka. Kampanyekan PJJ atau pendidikan digital mampu mengatasi learning loss dan jadi lompatan kemajuan pendidikan anak-anak Indonesia,” ujar Indra.