Poedianto dan Kelahiran 207 Tembang Jawa Saat Pandemi
Pandemi Covid-19 yang merenggut jiwa-jiwa dan membatasi aktivitas manusia bagi sebagian orang tidak membunuh kreativitas dan produktivitas, terutama dalam berkebudayaan untuk kelestarian nilai-nilai tradisi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
”Suarane ati tansah ngawe-awe, katon seliramu wong ayu… (Sabda nurani selalu terkagum ketika melihatmu sang jelita…)”
Demikian penggalan awal lirik ”Kowe Kurang Narimo” yang dipublikasikan oleh Poedianto, guru SMK Pariwisata Satya Widya, Surabaya, Jawa Timur, di saluran akun Youtube, Selasa (8/6/2021).
Sampai dengan hampir tiga pekan kemudian, video musik yang sederhana itu baru sembilan kali ditonton. Namun, bukan jumlah penonton yang minim yang menarik perhatian, melainkan ”kenekatan” Poedianto melahirkan karya berupa tembang-tembang Jawa.
Sejak 24 Mei 2020, Poedianto SH telah mengunggah 219 video musik. Selama pandemi Covid-19 menyerang, Poedianto, arek Suroboyo kelahiran 18 Oktober 1959, mengklaim telah melahirkan 207 tembang Jawa untuk menghibur publik, terutama siswa-siswi. Semua video telah 2.758 kali ditonton.
Video pertama yang diunggahnya berjudul ”Ora Mulih” atau tidak pulang yang menceritakan dilema seseorang harus menunda kepulangan ke kampung atau keluarga karena pandemi Covid-19 memburuk. Memang ketika video itu diunggah pada 24 Mei 2020, di Surabaya sedang berlaku pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk meredakan wabah yang sedang menggila.
Di Jatim, pandemi menyerang sejak 17 Maret 2020, yang diketahui dari terinfeksinya 6 warga Surabaya dan 2 warga Malang. Sampai dengan Minggu (27/6/2021), Covid-19 telah menjangkiti 169.684 orang. Yang sembuh 150.137 orang sehingga tingkat kesembuhan 88,5 persen. Yang meninggal 12.534 orang sehingga fatalitas 7,4 persen. Yang masih dirawat 7.013 orang.
Sudah teramat banyak warga terjangkit. Kematian juga membawa keprihatinan mendalam. Di sisi lain, belum ada tanda pandemi mereda atau kemenangan berada di pihak umat manusia. Perlawanan kita yang sudah 16 bulan berlangsung belum terlihat tanda akan berakhir. Namun, yang terang, ”stamina” jiwa perlu dipelihara agar jangan dulu menyerah melainkan terus berjuang dan berjuang.
Poedianto, tamatan Universitas PGRI Adi Buana dan Universitas Mahardika, Surabaya, sedikit mengambil sisi mencoba melawan dengan menciptakan tembang Jawa. Produktivitas malah menjadi-jadi karena kegiatan belajar dan mengajar selama ini amat dibatasi. Poedianto hanya bisa menemui siswa-siswi melalui dunia maya atau secara virtual. Pembelajaran tatap muka amat dibatasi untuk menekan risiko penularan Covid-19.
Berawal dari keinginan untuk terus berkarya, terutama bagi murid-muridnya di masa pandemi, Poedianto menciptakan lagu Jawa. Di antara 207 tembang yang telah diciptakannya, ada yang berjudul ”Guru”, ”Wartawan”, ”Sepi”, ”Tresnaku Tresnamu”, ”Bali Ning Desa”, ”Pramuka”, ”Sregep Sinau”, dan ”Ngungsi”. Tiada proses yang khusus dalam mencipta lagu, seperti berlangsung alami.
”Saya tidak ingin jadi penyanyi karena suara jelek dan sudah tua. Saya mencipta lagu-lagu Jawa untuk menghibur,” kata Pak Poedi atau Mbah Poedi, panggilan akrabnya.
Saat mencipta lagu, Poedianto seolah tak muluk-muluk karena memang sederhana. Yang digunakannya gitar akustik yang biasa saja. Kunci-kuncinya juga sederhana, bahkan rerata mayor. Tidak pakai yang miring-miring atau bikin jari kaku dan hati jengkel. Biasa, sederhana.
Ketika lagu sudah jadi segera direkam dengan telepon seluler. Busana yang dipakai juga adanya apa. Ada lurik, ya, pakai itu dengan belangkon. Terkadang pakai kaus oblong dan kopiah atau kemeja dengan kacamata dan topi. Biasa. Sederhana.
”Lagu-lagu ciptaan ini sekadar karya dasar. Jika ada penyanyi yang ingin membawakannya, silakan. Semua sudah saya taruh di Youtube,” kata Poedianto yang mengangkat tema keseharian, yakni pendidikan, persahabatan, rumah tangga, dan asrama.
Sebelum tercebur mencipta lagu, Poedianto lebih akrab menulis. Dalam nadi mengalir darah kecintaan terhadap seni dan sastra tradisional. ”Saya keturunan Jawa, sudah sepatutnya melestarikan kebudayaan Jawa,” ujar pegandrung wayang kulit, ludruk, janger, ketoprak, keroncong, dan susastra klasik Jawa itu.
Kecintaan terhadap produk budaya Jawa mendorongnya menulis berbagai cerita rakyat, legenda, epos, dan cerita pendek. Karyanya tersebar, antara lain, di majalah Info, Media, dan Bende di Dinas Pendidikan Jawa Timur. Beberapa karya pernah dipentaskan untuk lakon ludruk di RRI Surabaya. Kumpulan cerita pendek dan novel telah diterbitkan secara terbatas, misalnya Cinta Suci di Kaki Gunung Wilis, Lencir Kuning yang Dimadu, Perawan Sendang Madu, Sang Guru, dan Sengketa Kekuasaan.
Kecintaan terhadap produk budaya Jawa mendorongnya menulis berbagai cerita rakyat, legenda, epos, dan cerita pendek.
Dunia tulis-menulis dan kini mencipta lagu, menurut Poedianto, bertujuan mendorong siswa-siswi mencintai dan melestarikan kebudayaan Nusantara. Di sisi lain memberi penghiburan. Sebagai guru, Poedianto sangat meyakini pelestarian kebudayaan salah satunya merupakan peran sekolah. ”Bersama keluarga, sekolah adalah garda depan pelestarian nilai-nilai kebudayaan,” katanya.