Penanganan Kekerasan terhadap Jurnalis di Surabaya Tunjukkan Kemajuan
Kasus kekerasan yang dialami Nurhadi, wartawan ”Tempo” di Surabaya, Jawa Timur, menyeret dua polisi sebagai pelaku. Kepolisian terus didesak menuntaskan kasus ini pada semua aktornya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemeriksaan kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya, Jawa Timur, pada 27 Maret 2021 menunjukkan kemajuan. Penyidik Polda Jawa Timur menetapkan dua orang sebagai tersangka. Penyidikan kasus diharapkan tidak berhenti di sini karena diduga masih ada aktor-aktor lain yang terlibat.
Fatkhul Khoir, kuasa hukum korban, mengatakan, informasi penetapan dua tersangka diterima tim kuasa hukum pada 7 Mei 2021. Tersangka tersebut atas nama Purwanto dan Firman yang merupakan anggota kepolisian. Adapun penyidik berencana menggelar rekonstruksi, Selasa (11/5/2021) besok.
”Ini kemajuan setelah lebih dari sebulan kami mengadvokasi, mendampingi Nurhadi melakukan pemeriksaan, dan melakukan tekanan ke kepolisian (untuk melakukan pemeriksaan). Namun, kami tidak serta-merta puas. Berdasarkan fakta-fakta yang kami temukan, pelaku tidak hanya dua orang, tetapi banyak. Mereka melakukan penganiayaan, penyekapan, dan penghalangan kerja jurnalistik,” kata Fatkhul dalam telekonferensi pers, Senin (5/10/2021).
Pada Sabtu, 27 Maret 2021, jurnalis Tempo, Nurhadi, datang ke Gedung Samudra Bumimoro di Surabaya untuk mewawancarai Angin Prayitno Aji, mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Angin merupakan tersangka kasus suap pajak yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kala itu resepsi pernikahan anak Angin dengan anak mantan pejabat Polda Jatim, Komisaris Besar Achmad Yani, sedang berlangsung. Nurhadi memotret Angin untuk mengonfirmasi identitas Angin kepada redaksi. Setelahnya, Nurhadi didatangi beberapa orang dan ditanyai identitasnya.
Nurhadi menjelaskan maksud kedatangannya dan menunjukkan identitas sebagai wartawan. Namun, Nurhadi dibawa ke ruang ganti dan mendapat kekerasan. Dia juga dibawa ke kamar 801 sebuah hotel di Surabaya. Di sana, Nurhadi diminta menelepon redaktur Tempo untuk menghapus foto Angin.
Ponsel milik Nurhadi dirampas dan data di dalamnya dihapus paksa. Nurhadi juga dipukul, dipiting, hingga diancam dibunuh. Ia pun dipaksa menerima uang Rp 600.000 sebagai kompensasi perampasan dan perusakan alat liputan. Nurhadi baru dilepas dan diantar pulang pada Minggu dini hari (Kompas, 29/3/2021).
Aktor utama kejadian ini dinilai belum tersentuh. Fatkhul mengatakan, nama ”Bapak” disebut beberapa kali selama Nurhadi ditahan pelaku. Ia mendesak penyidik memeriksa peran setiap orang yang terlibat dalam kasus ini.
”Ini yang masih kami kawal terus. Kami tidak ingin kasus ini berhenti hanya di penetapan dua tersangka,” ucapnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengapresiasi penyidik yang menggunakan UU Pers sebagai basis kasus ini. Sebab, UU ini jarang digunakan dalam kasus kekerasan pers.
Ibu-ibu
Selain ”Bapak”, penyidik diminta mencari dan menyelidiki peran ibu-ibu di kasus ini. Ibu itu ada saat Nurhadi ditanya-tanya tersangka, kemudian dinilai memprovokasi suasana sehingga kekerasan terjadi.
”Ibu-ibu ini mengatakan bahwa Tempo nulis-nya jelek. Menurut saya, ibu-ibu ini memprovokasi sehingga orang-orang di sana membawa Nurhadi dan memukul dia,” kata Endri Kurniawati, perwakilan Tempo.
Adapun pekerjaan jurnalis dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 mengatur bahwa orang yang menghambat dan menghalangi kerja wartawan dapat dipidana. Artinya, pasal ini tidak hanya berlaku untuk tersangka Purwanto dan Firman, tetapi juga semua pihak yang terlibat walau tidak melakukan kekerasan fisik, termasuk ibu-ibu dalam kasus ini.
”Kami tidak akan pernah berdamai dengan kekerasan, apa pun bentuknya. Perkara ini tidak akan kami hentikan hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap,” ucap Endri.
Yurisprudensi
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengapresiasi penyidik yang menggunakan UU Pers sebagai basis kasus ini. Sebab, UU ini jarang digunakan dalam kasus kekerasan pers.
”Ada usaha dari penyidik polda untuk belajar. Kasus ini adalah momentum dan perlu kita kawal secara lebih serius. Bukan tidak mungkin ada permasalahan yang sama ke depan. Polisi jadi memiliki yurisprudensi bahwa kasus pers perlu ditangani dengan UU Pers,” kata Sekretaris AJI Surabaya Andre Yuris.
Ia menambahkan, pemahaman aparat penegak hukum terhadap UU Pers belum menyeluruh. Pihaknya berencana bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain untuk mengadvokasi UU ini. ”Ada usulan membuat buku saku (untuk aparat penegak hukum). Ada juga usulan UU Pers dijadikan modul belajar ke Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian,” tambahnya.