Wartawan yang menunjukkan identitasnya, dan/atau tanda kewartawanan, tak boleh dianiaya, serta peralatannya tak boleh dirampas. Yang disayangkan, peristiwa semacam itu masih kerap terjadi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Jaminan terhadap keselamatan wartawan saat bertugas itu tegas disebutkan dalam Pasal 10 Kode Perilaku Wartawan Indonesia. Walaupun ketentuan itu terkait dalam situasi konflik, dengan tambahan tidak memakai salah satu atribut atau aksesori penanda satu pihak yang terlibat dalam pertikaian, wartawan wajib mendapatkan pelindungan. Jaminan ini seharusnya dipahami aparat, terutama saat melihat kasus yang menimpa jurnalis Tempo, Nurhadi, Sabtu (27/3/2021).
Nurhadi dianiaya sejumlah orang, sebagian diduga polisi, saat akan meminta konfirmasi pada bekas Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji di Gedung Samudra Bumimoro, Surabaya, Jawa Timur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Angin sebagai tersangka kasus suap pajak. Angin tengah menggelar resepsi pernikahan anaknya. Kekerasan itu diprotes sejumlah kalangan (Kompas, 29-30/3/2021).
Mereka yang menghalang-halangi profesi wartawan dalam menjalankan tugasnya bisa dipidana.
Dewan Pers tahun 2008 sudah mengeluarkan Standar Perlindungan Profesi Wartawan. Dalam aturan itu ditegaskan, dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan/atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi pihak mana pun.
Perlindungan terhadap wartawan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahkan, mereka yang menghalang-halangi profesi wartawan dalam menjalankan tugasnya bisa dipidana. Dewan Pers pun sudah menjalin kerja sama dengan Polri.
Memang ada yang mempertanyakan keberadaan Nurhadi di dalam ruangan resepsi yang hanya untuk kalangan terbatas itu. Apalagi, ia tidak diundang dalam acara itu. Namun, harus diingat, jurnalisme itu hadir karena ada kepentingan publik yang akan diperjuangkan. Wartawan boleh saja dituduh melanggar privasi seseorang, tetapi selain hal itu harus dibuktikan, tidak juga bisa menjadi pembenar untuk terjadi tindak kekerasan terhadap wartawan, atau seseorang, apa pun profesinya.
Bahkan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 28 dan turunannya, memastikan setiap warga negara berhak atas rasa aman, tidak diintimidasi, tidak disiksa, dan bebas dari rasa takut. Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menjanjikan wajah Polri yang lebih profesional dan amanah serta melanjutkan reformasi Polri.
Polisi membuka diri, menampung aspirasi dan pandangan masyarakat untuk mendudukkan Polri menjadi pelindung dan pengayom warga bangsa. Polri juga akan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun kepada masyarakat sesuai dengan moto kepolisian, yaitu Rastra Sewakottama (Pelayan Utama Bangsa).
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), tahun 2020 terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pelaku kekerasan itu sebagian adalah aparat. Kita perlu terus mendorong aparat untuk meredam kecenderungan memakai kekerasan dalam tugasnya. Di sisi lain, kompetensi dan profesionalisme wartawan perlu terus ditingkatkan pula sehingga bisa amanah melayani publik