Pembatalan SKB Tiga Menteri Tak Kurangi Komitmen Terhadap Kebinekaan dan Toleransi
Pembatalan SKB Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam tidak mengurangi komitmen bersama untuk menjaga toleransi dan kebinekaan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Anak-anak sekolah di Desa Detusoko Barat, Ende, NTT, tidak lagi kesulitan biaya sekolah dan pakaian seragam setelah hasil produk pertanian di desa itu laku masuk pasaran secara daring dan luring.
JAKARTA, KOMPAS — Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri terkait Penggunaan Seragam dan Atribut di Sekolah Negeri yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri pada 3 Februari 2021 dibatalkan Mahkamah Agung tanggal 3 Mei 2021. Namun, semangat untuk tetap menjaga kebinekaan serta memberikan rasa aman dan nyaman warga pendidikan di lingkungan sekolah tetap harus menjadi komitmen dunia pendidikan nasional.
”Saat ini kami belum terima dan masih menunggu putusan MA tersebut. Tentu Kemendikbud Ristek akan menghormati putusan apa pun yang dikeluarkan Mahkamah Agung dan akan berkoordinasi menyesuaikan SKB yang dimaksud,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Jumeri, Kamis (6/5/2021).
Jumeri menegaskan, Kemendikbud Ristek berkomitmen menumbuhkan dan menjaga semangat kebinekaan, toleransi, dan moderasi beragama. Selain itu, Kemendikbud Ristek juga berupaya memberikan rasa aman dan nyaman warga pendidikan dalam mengekspresikan kepercayaan dan keyakinan di dalam lingkungan sekolah negeri yang harus diterapkan secara mutlak.
Semangat menumbuhkan dan menjaga kebinekaan dan toleransi sudah ditegaskan dalam SKB tiga menteri. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan masyarakat. (Jumeri)
”Semangat menumbuhkan dan menjaga kebinekaan dan toleransi sudah ditegaskan dalam SKB tiga menteri. Kami mengucapkan terima kasih atas dukungan masyarakat,” kata Jumeri.
Chatarina Muliana Girsang, Inspektur Jenderal dan Pelaksana Tugas Staf Ahli Regulasi Kemendikbud Ristek, menambahkan, pihaknya masih menunggu putusan lengkap MA untuk dipelajari. ”Tentu nanti akan berkoordinasi dengan Kemendagri dan Kemenag untuk menentukan tindak lanjutnya,” ujar Catharina.
Seperti diketahui, sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 3 Februari 2021 menyepakati SKB tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Intinya tidak boleh ada paksaan kepada warga sekolah untuk menggunakan seragam khas agama tertentu.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Dua siswa Kristen (tidak berjilbab) berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam di salah satu kelas SMKN 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai Selasa, siswa perempuan non-Muslim di sekolah ini mulai tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah. Sebelumnya, orangtua salah seorang siswa non-Muslim di SMKN 2 Padang dipanggil ke sekolah dan diminta untuk menandatangani surat pernyataan karena putrinya tidak bersedia mengenakan jilbab.
Penerbitan SKB tiga menteri terkait seragam salah satunya akibat viral kasus sejumlah siswa non-Muslim di SMK Negeri 2 Kota Padang, yang wajib memakai pakaian khas agama tertentu. Kasus yang memaksa siswa wajib memakai atau melarang pakaian khas agama dilaporkan terjadi di berbagai sekolah dan daerah, baik untuk siswa Muslim maupun non-Muslim. Padahal, Kemendikbud sudah mengeluarkan panduan soal pemakaian seragam sekolah di Permendikbud No 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Saat peluncuran SKB tiga menteri, Nadiem menguraikan tiga hal penting yang menjadi pertimbangan dalam menyusun SKB itu. Nadiem mengatakan sekolah memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta membangun dan memperkuat moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama yang dianut peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Selanjutnya, kata Nadiem, sekolah berfungsi untuk membangun wawasan, sikap, dan karakter peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Sekolah juga membina dan memperkuat kerukunan antarumat beragama.
”Pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama,” kata Nadiem.
TANGKAPAN LAYAR VIDEO REKAMAN SEKRETARIAT PRESIDEN
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim memberikan keterangan pers seusai pelantikan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/4/2021). Berdiri di sebelah kanan dan kiri adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia serta Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko.
Tito Karnavian mengatakan, dunia pendidikan harus menjadi lingkungan menyenangkan. Kunci keberhasilan suatu bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusia yang bersifat komprehensif, yakni menguasai hal teknis, juga moralitas dan integritas, salah satunya toleransi dalam keberagaman.
”Toleransi dan menjunjung sikap menghormati perbedaan latar belakang agama dan budaya suatu keniscayaan dan realitas bagi bangsa kita,” ujar Tito.
Sementara itu, Yaqut menyampaikan, seyogianya agama bukan menjadi justifikasi untuk bersikap tidak adil kepada orang lain yang berbeda keyakinan. ”Lahirnya SKB tiga menteri ini sebagai upaya kita untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Bukan memaksakan supaya sama, tetapi setiap umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik,” jelas Yaqut.
Nadiem menegaskan, hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. ”Individu itu adalah guru, murid, dan tentu orangtua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut,” ujar Nadiem.
Mural bertema toleransi beragama tergambar di dinding sebuah rumah di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/9/2020). Survei kerukunan umat beragama oleh Litbang Kementerian Agama menunjukkan, indeks kerukunan beragama di Indonesia mencapai 72,20 pada tahun 2017, 70,9 pada 2018, dan 73,93 pada 2019. Namun, tingginya indeks kerukunan beragama itu bukan berarti tidak ada persoalan intoleransi di Tanah Air.
Atribut keagamaan
Sementara itu, Ahmad Zainul Hamdi, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus Koordinator Penelitian Survei Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan, mengatakan, dari hasil penelitian, sikap toleransi anak-anak muda tinggi, tetapi baru secara normatif. Ketika dihadapkan pada sejumlah pernyataan (statement) yang mengukur sikap intoleransi (sikap tidak suka, bermusuhan, dan sengaja melakukan gangguan terhadap kelompok yang berbeda), justru sikap intoleransi mereka cukup tinggi.
Survei digelar terhadap 1.200 responden usia 18-30 tahun yang digagas International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) dan Jaringan Gusdurian. Survei yang melihat perkembangan anak muda tahun 2016 hingga 2020 ini dilakukan di enam kota, yakni Bandung, Makassar, Solo, Surabaya, Yogyakarta, dan Pontianak.
Survei memperlihatkan ketaatan beragama anak-anak muda tinggi. Mereka mengakui taat menjalankan keyakinan beragama, terutama taat pergi ke tempat ibadah sesuai waktu, ikut upacara keagamaan, hingga menolong fakir miskin.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Siswa SD Katolik Antonius mengunjungi Wihara Watugong di Kecamatan Pudakpayung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (16/6/2019). Selain wihara, mereka mengunjungi seluruh tempat ibadah, antara lain masjid, kelenteng, dan gereja. Kegiatan tersebut untuk mengenalkan mereka tentang perbedaan dan toleransi.
Anak-anak muda ini meyakini penggunaan simbol agama dalam kehidupan sehari-hari bukan ukuran ketaatan (66,8 persen). Kepada responden Muslim ditanyakan juga tentang penggunaan simbol agama dalam kehidupan sehari-hari (berhijab, memakai baju koko, peci, sarung, tasbih, serban, gamis, dan lain-lain) dan sekitar 38 persen responden saja yang meyakininya sebagai gambaran ketaatan.
Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Islam Negeri Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah mengatakan, masyarakat kita majemuk, tetapi Bhinneka Tunggal Ika. Sayangnya, ungkapan ini sekarang sering kali dianggap retorika atau hanya di atas kertas.
”Sekolah dan masyarakat perlu merenungkan untuk bisa menumbuhkan toleransi. Namun, toleransi yang ditumbuhkan harus sampai tersentuh hatinya, yang bisa saling membuka diri dan bekerja sama,” kata Amin dalam seminar ”Seri 2: Pendidikan yang Menghargai Nilai-nilai Kehidupan bersama dalam Kebinekaan: Toleran Aktif, Kritis, Positif, dan Konstruktif” yang digelar Institut Dialog Antariman di Indonesia (Institut Dian/Interfidei).
Menurut Amin, sekolah harus berani membuka pemikiran yang tertutup. Dengan tujuan pendidikan untuk menghasilkan profil Pelajar Pancasila, terlihat semua masih normatif.
”Di sekolah yang normatif itu harus bisa terus ditingkatkan supaya percaya atau saling percaya, resiprositas atau timbal-balik, baru terwujud ke arah kewarganegaraan yang sehat atau civil engagement. Jadi harus ada perubahan paradigma guru, bagaimana memodifikasi dari norma/etik jadi saling percaya dan seterusnya,” tutur Amin.
Peneliti Cisform UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibitiyah, menambahkan, toleransi jangan berhenti hanya pada tataran menghargai dan menerima perbedaan, tetapi sampai tahap toleransi positif, yakni bisa bekerja sama. Dunia pendidikan harus bisa menguatkan keberagaman, membiasakan berpikir kritis, meningkatkan kesempatan perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya, serta menguatkan pluralitas positif, yakni tidak hanya menghormati, tetapi juga dapat bekerja sama.