Penyeragaman pakaian anak sekolah yang dalam pelaksanaannya dimaknai berbeda telah menghilangkan kesempatan anak untuk belajar menghadapi keberagaman yang menjadi identitas bangsa ini.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Siswa salah satu SD di Kecamatan Lamaknen Kabupaten Belu, perbatasan RI-Timor Leste, Kamis (28/6/2018), kebanyakan mereka tidak mengenakan sepatu sekolah. Sekolah belum mengadakan sepatu kecuali baju dan celana seragam karena daya beli orangtua rendah.
Sejak tahun ajaran 1982/1983 seragam menjadi salah satu identitas anak sekolah. Penyeragaman pakaian anak sekolah secara nasional ini awalnya untuk menghindarkan kesenjangan sosial agar siswa tidak mengenakan pakaian mewah di sekolah, meski kemudian disebut juga untuk memupuk kebanggaan nasional.
Melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 052/C/Kep/D.62 tertanggal 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menentukan seragam untuk siswa SD merah hati dan putih, SMP/sederajat biru tua dan putih, SMA/sederajat abu-abu dan putih (Kompas, 14 Mei 1982). Ini berlaku untuk sekolah negeri maupun swasta.
Ketentuan ini memunculkan polemik karena dinilai akan memberatkan siswa dari keluarga tidak mampu. Penyeragaman ini juga dinilai bertentangan dengan tujuan pendidikan karena akan menghilangkan kesempatan anak untuk belajar menghadapi realitas yang berbeda.
Penyeragaman ini juga dinilai bertentangan dengan tujuan pendidikan karena akan menghilangkan kesempatan anak untuk belajar menghadapi realitas yang berbeda.
Peraturan yang berlaku mutlak tersebut juga memunculkan masalah ketika siswi Muslim di sekolah negeri mengenakan jilbab mendapat sanksi karena dinilai melanggar peraturan. Masalah ini diselesaikan dengan SK Dirjen Dikdasmen Nomor 100/C/Kep/D/1991 yang mengatur penggunaan seragam khas untuk SMP dan SMA, siswi Muslim boleh berjilbab di sekolah negeri (Kompas, 17/2/1991).
Kasus serupa terus bermunculan, pada 2014 sejumlah sekolah negeri di Bali melarang siswi berjilbab di sekolah. Melalui Peraturan Mendikbud 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pemerintah memperbolehkan penggunaan seragam khas di sekolah negeri, terdapat pula penjelasan mengenai pakaian seragam khas Muslimah.
Mendikbud Muhammad Nuh waktu itu mengatakan, sekolah tidak boleh memaksa atau pun melarang siswa menggunakan identitas keagamaan, seperti jilbab (Kompas, 10/6/2014). Namun tetap saja hal itu terjadi, seperti baru-baru ini di Padang, Sumatera Barat.
Meski memiliki latar belakang berbeda, peraturan-peraturan tentang seragam sekolah tersebut dimaksudkan untuk menciptakan suasana dan tata kehidupan sekolah yang baik. Selain itu juga untuk menanamkan rasa nasionalisme, kebersamaan; meningkatkan kesetaraan; serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab siswa.
Namun yang terjadi, terutama pada sejumlah kasus yang muncul, justru bertolak belakang dengan tujuan-tujuan tersebut. Kewajiban atau pun pelarangan penggunaan identitas keagamaan di sekolah milik negara tersebut justru menjauhkan siswa dari nilai-nilai keberagaman.
Kompas
Siswa SMP Negeri 1 Pangkalpinang, Bangka Belitung mengenakan seragam sekolah dengan motif tenun cual bangka, Kamis (20/3/2014).
Tidak otentik
Sekolah-sekolah yang demikian, menurut St Kartono, guru SMA Kolose de Britto, Yogyakarta, telah mengajarkan siswa menjadi pribadi yang tidak otentik atau tidak menjadi diri mereka sendiri. Selain itu juga mengajarkan siswa untuk ikut arus, mengikuti aturan asal dipandang baik oleh orang lain, meski bertentangan dengan dirinya sendiri.
Penyeragaman pakaian sekolah memang menghindarkan kesenjangan sosial karena faktor ekonomi, tetapi menimbulkan kesenjangan horizontal ketika tidak ada pemahaman maupun pendidikan tentang nilai-nilai keberagaman. “Ketika sekolah tidak melakukan apa-apa, justru menciptakan kesenjangan (horizontal),” kata St Kartono, Sabtu (30/1/2021).
Ketidaksetaraan juga terjadi ketika aturan yang mewajibkan siswi sekolah negeri berjilbab tersebut disebut untuk melindungi siswi dari perundungan maupun dari pelecehan seksual. Alasan-alasan tersebut, menurut Amalia Suri, peneliti Imparsial, mengada-ada dan bias jender.
Kasus-kasus yang terjadi, menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Pendidikan Retno Listyarti, juga merupakan bentuk kekerasan sekolah terhadap siswa. Dan, ini melanggar Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Dalam kasus SMK Negeri 2 Padang, misalnya, terjadi intimidasi pada siswa yang tidak mau mengenakan jilbab ketika orangtuanya dipanggil ke sekolah. Keputusan siswi non-Muslim melepaskan jilbab setelah kasus tersebut mendapat respon Kemendikbud juga menunjukkan selama ini mereka “terpaksa” mengikuti aturan itu. Ini bentuk-bentuk kekerasan psikis.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Dua siswi Kristen (tidak berjilbab) berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam di salah satu kelas SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai Selasa, siswi non-Muslim di sekolah ini mulai tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah.
Meski peraturan yang mewajibkan siswi di sekolah negeri di Padang berjilbab sudah sejak 2005 karena ada Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005 dan selama ini tidak ada protes, kata Retno, bukan berarti peraturan itu benar. Justru ini merupakan bentuk pembiaran negara atas peraturan yang intoleran.
“Ini juga bukan sekadar intoleransi, ini pelanggaran undang-undang,” kata Retno. Paling tidak ada tiga undang-undang yang terkait hal ini, yaitu UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, UU 39/1999 tentang hak Asasi Manusia, serta UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kekhawatiran kalangan pengamat pendidikan ketika penyeragaman pakaian anak sekolah mulai diberlakukan pada 1982, semakin nyata. Penyeragaman menghilangkan kesempatan anak untuk belajar menghadapi keberagaman, bahkan bahkan membelenggu keberagaman yang menjadi identitas bangsa ini
Menurut St Kartono, penanaman nilai-nilai keberagaman juga harus dilakukan secara terus menerus dan sistematis. Seragam hanyalah asesoris, bukan hal esensial dalam pendidikan. Untuk ini dibutuhkan guru yang mencintai keberagaman untuk dapat menanamkan nilai-nilai keberagaman pada siswa serta menghadirkan nilai-nilai keberagaman di lingkungan sekolah.
Membentuk guru mencintai keberagaman ini dimulai sejak pendidikan calon guru/sarjana guru. Ketika guru mulai mengajar di sekolah, dinas pendidikan atau yayasan yang menaunginya mempunyai tanggung jawab untuk mengasah kemampuan guru dan membekali guru dengan aspek pedagogi.
Pada akhirnya, menurut St Kartono, perlu mengembalikan hakikat pendidikan bahwa guru mengajar demi murid-muridnya, bukan demi dinas pendidikan atau pun yayasan. Jika tidak, masalah-masalah seragam akan terus terjadi.
Peraturan dari pemerintah terkait seragam juga harus eksplisit agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Pendidikan tidak hanya untuk menjadikan anak pintar tetapi juga baik melalui pendidikan karakter termasuk hargai keberagaman.