Butuh Strategi Khusus untuk Atasi Ketertinggalan Pembelajaran Siswa
Pembukaan sekolah kembali tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan strategi pemulihan pembelajaran yang menurun selama pandemi. Strategi pemulihan pun harus berbasis data dan mitigasi risiko.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahun kedua pandemi memberikan tantangan besar bagi pemerintah daerah untuk memulihkan pembelajaran yang menurun signifikan akibat penutupan sekolah. Berbasis data dan mitigasi risiko, sejumlah pemerintah daerah menyusun strategi pemulihan pembelajaran.
Kajian Bank Dunia menunjukkan, efektivitas pembelajaran selama penutupan sekolah pada Maret 2020-April 2021 di Indonesia hanya mencapai 37 persen. Ini dipengaruhi banyak hal, mulai dari cakupan penyediaan fasilitas belajar oleh pemerintah, akses pembelajaran daring, hingga efektivitas modalitas alternatif pembelajaran, baik daring maupun luring.
Kondisi tersebut berdampak pada penurunan pembelajaran yang sangat signifikan. Dalam skenario optimistis, tahun sekolah yang disesuaikan dengan pembelajaran (learning adjusted years of schooling/LAYS) menurun 0,6 tahun, dari 7,8 tahun menjadi 7,2 tahun akibat pandemi. Lama waktu sekolah anak-anak Indonesia memang sekitar 12 tahun, tetapi mereka hanya belajar sekitar 7,2 tahun.
Pembukaan sekolah merupakan salah satu alternatif untuk memulihkan pembelajaran tersebut. Namun, pembukaan sekolah saja tidak akan efektif jika tidak dibarengi strategi pemulihan pembelajaran, terutama pada siswa dari keluarga miskin yang paling terdampak pembelajarannya.
Pemerintah Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara, misalnya, memetakan moda belajar dan kemampuan membaca pada siswa untuk menentukan strategi pemulihan pembelajaran. Pada awal pandemi hanya 88 persen siswa yang bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh baik daring maupun luring, 12 persen lainnya tidak bisa mengikuti pembelajaran sama sekali.
Bupati Tana Tidung Ibrahim Ali mengatakan, berdasarkan data tersebut, pihaknya menetapkan sejumlah strategi, antara lain penggunaan bahan ajar bermakna dan kontekstual dan mengoptimalkan guru kunjung untuk mendampingi siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran karena kendala teknologi dan geografis. Tak sedikit siswa tinggal di daerah yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu motor.
”Hasilnya, Tana Tidung telah berhasil meningkatkan partisipasi belajar di akhir tahun 2020 sebesar 10 persen. Kemampuan membaca pada siswa juga meningkat. Data dari SD Negeri Terpadu Unggulan 2 Tana Tidung, pada Juli 2020, dari 21 siswa kelas I, 86 persen hanya bisa membaca huruf, kini tinggal tersisa 29 persen. Awalnya hanya dua siswa yang bisa memahami isi bacaan, kini meningkat menjadi lima siswa,” kata Ibrahim, Selasa (4/5/2021).
Langkah-langkah yang diambil selama ini dimonitor dan dievaluasi secara berkala dan akan dilanjutkan untuk pemulihan pembelajaran pada tahun kedua pandemi ini. Hal itu dilakukan seiring rencana pembelajaran tatap muka secara terbatas di daerah-daerah dengan tingkat penularan Covid-19 rendah.
”Pembukaan sekolah tidak selalu dapat mengatasi learning loss (hilang pembelajaran), justru bisa memperburuk kalau tidak mengikuti strategi pemulihan belajar. Oleh karena itu, kami akan melatih guru untuk melakukan asesmen diagnosis (untuk mengetahui kemampuan siswa selama belajar di rumah),” katanya.
Literasi dan numerasi
Hal serupa dilakukan Pemerintah Kabupaten Nageko, Nusa Tenggara Timur. Bekerja sama dengan Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), pada Desember 2020 dinas pendidikan memetakan pembelajaran siswa selama pandemi. Hasilnya, dalam hal membaca, tingkat kelulusan siswa kelas II SD mencapai 80 persen dan siswa kelas IV SD mencapai 95 persen. Namun, kemampuan literasi komprehensif mereka masih rendah, untuk siswa kelas II rata-rata 57,7 persen dan siswa kelas IV sebesar 58,4 persen.
Kemampuan numerasi (berhitung) dasar pun demikian, untuk siswa kelas II mencapai 85 persen dan siswa kelas IV mencapai 97 persen. Namun, kemampuan numerasi komprehensif atau pemahaman hanya 38,2 persen untuk siswa kelas II dan 36,8 persen untuk siswa kelas IV.
”Data tersebut kemudian dianalisis dan hasilnya sebagai dasar untuk mengambil kebijakan,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nagekeo Tiba Aloysius dalam acara Temu INOVASI, beberapa waktu lalu.
Selain menyelenggarakan pembelajaran tatap muka terbatas, Dinas Pendidikan Kabupaten Nagekeo juga menyusun manajemen pembelajaran di masa pandemi yang mencakup pengembangan pembelajaran sesuai kemampuan siswa hingga pembelajaran yang berbasis bahasa ibu untuk memudahkan siswa yang belum lancar berbahasa Indonesia untuk memahami materi pembelajaran.
Direktur Program INOVASI Mark Heyward mengatakan, literasi dan numerasi merupakan keterampilan dasar yang menjadi fondasi untuk tahapan pendidikan selanjutnya. Karena itu, upaya pemulihan dan peningkatan kualitas pembelajaran perlu fokus pada pendidikan dasar ini.
Layanan konsultasi bagi siswa
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, guru melayani konsultasi terbatas bagi para siswanya. Konsultasi dijadwalkan khusus agar dapat dilakukan dengan penerapan jaga jarak.
”Ini untuk mengatasi ketertinggalan siswa selama melakukan pembelajaran jarak jauh. Sebab, siswa pasti ada yang bisa langsung memahami, ada pula yang membutuhkan pendalaman,” kata Kepala SMA Negeri 9 Yogyakarta Jumadi.
Di SD Negeri Serayu, Kota Yogyakarta, layanan konsultasi terbatas diberikan kepada siswa kelas VI yang akan mengikuti Asesmen Standar Pendidikan Daerah (ASPD) atau ujian untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama pembelajaran daring.
”Hasil pemetaan melalui ASPD itu akan menjadi bahan evaluasi dan masukan terkait proses pendidikan di DIY,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Didik Wardaya.
Hal serupa dilakukan Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Bekerja sama dengan Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), pada Desember 2020 dinas pendidikan memetakan pembelajaran siswa selama pandemi.
Sementara itu di Kota Cimahi, Jawa Barat, guru memberikan tambahan jam pelajaran untuk siswa yang tertinggal pelajarannya dengan penerapan protokol kesehatan. ”Saya percaya tidak ada anak yang bodoh. Kemampuan setiap siswa tidak sama. Pendekatannya pun mesti berbeda,” kata Voni Susilastuti, guru kelas II SD Negeri Harapan 1 Kota Cimahi. (IKA/HRS/NCA/TAM)