100 Juta Anak Gagal Menguasai Keterampilan Dasar Membaca
Penutupan sekolah selama pandemi Covid-19 berdampak sangat besar pada pembelajaran anak. Studi terbaru UNESCO menunjukkan, sekitar 100 juta anak gagal menguasai kecakapan minimum membaca akibat pandemi ini.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Penutupan sekolah akibat pandemi Covid-19 berdampak pada hasil belajar siswa, terutama pada siswa yang terkendala mengikuti pembelajaran jarak jauh. Pada kelas bawah, berdasar studi terbaru Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), sekitar 100 juta anak di dunia gagal menguasai kecakapan minimum membaca.
Jika sebelum pandemi jumlah anak yang kesulitan membaca sekitar 483 juta anak, akibat pandemi jumlah ini meningkat sekitar 20 persen menjadi 584 juta. Jumlah ini tidak termasuk anak-anak yang mengalami gangguan di tingkat pra sekolah.
Untuk anak usia kelas tiga sekolah dasar misalnya, pada 2019 sekitar 54 juta dari total dari 132 juta anak usia kelas tiga sekolah dasar, tidak bisa membaca sebagaima mestinya. Jumlah ini termasuk 12 juta anak yang tidak bersekolah. Kehilangan belajar akibat pandemi diperkirakan akan menambah 14 juta anak usia kelas tiga yang tidak cakap membaca, menjadi 68 juta.
Hal tersebut merupakan akibat kerugian belajar karena sekolah ditutup. Kerugian belajar ini diproyeksikan tertinggi di kawasan Amerika Latin dan Karibia, serta di Asia Tengah dan Selatan. Meski belum ada penelitian atau pun survei khusus soal ini di Indonesia, apa yang terjadi di Kota Cimahi Jawa Barat menunjukkan bahwa kondisi serupa juga terjadi di Indonesia.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi Harjono kepada Kompas beberapa waktu mengatakan, sekitar 15 persen siswa kelas dua sekolah dasar di Kota Cimahi belum bisa membaca dan menulis. Mereka umumnya siswa yang terkendala akses ke pembelajaran daring dan yang di bawah pengasuhan kakek/nenek atau kakak karena orangtua harus bekerja keluar rumah.
Studi lain yang dilakukan Northwest Evaluation Association (NWEA), organisasi nirlaba berbasis penelitian untuk mendukung pendidikan, menunjukkan, kehilangan kemampuan dasar dalam matematika lebih buruk daripada kehilangan kemampuan mendasar dalam membaca. Mengutip laman education week pada 2 Desember 2020, hilang pembelajaran matematika selama dua setengah hingga empat setengah bulan dibandingkan dengan hilang pembelajaran membaca selama 1-2 bulan.
Tidak seperti membaca, matematika hampir selalu dipelajari secara formal di sekolah. Orangtua seringkali kurang siap membantu anak-anak mereka belajar matematika. Kecemasan atau trauma akibat bencana juga bisa memengaruhi kemampuan memahami matematika. Setelah Badai Katrina di Amerika Serikat misalnya, para peneliti menemukan bahwa siswa kehilangan kemampuan membaca paling banyak dibandingkan mata pelajaran lainnya.
Bencana generasi
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guteres menyebut dampak pandemi pada anak-anak akibat penutupan sekolah ini sebagai bencana generasi. Dalam laporan UNESCO pada 25 Maret 2021, Guterres mengatakan pembelajaran anak-anak yang tertinggal akan berdampak selama beberapa dekade, terutama jika efek jangka panjang pada pembangunan ekonomi dan pendapatan masa depan diperhitungkan.
Meskipun para pemangku kepentingan pendidikan telah berupaya merespons pandemi dengan berbagai inovasi kebijakan, pendekatan optimal untuk mengurangi dampak jangka panjang masih belum jelas. Dibutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang kekhususan pembelajaran di masa pandemi. Laporan ini bertujuan memberikan proyeksi global, dan untuk mengidentifikasi dinamika pendidikan di masa pandemi yang harus menjadi fokus para pengambil kebijakan pendidikan.
Hingga 11 November 2020 rata-rata anak kehilangan 54 persen waktu sekolah dalam satu tahun ajaran. Kerugian belajar lebih besar lagi. Untuk setiap bulan kehilangan waktu sekolah, berdasar pemodelan yang dilakukan UNESCO Institute for Statistic (UIS), siswa kehilangan dua bulan pembelajaran. Ini karena siswa cenderung melupakan keterampilan yang diperoleh sebelum sekolah ditutup.
Jadi jika rata-rata 54 persen tahun ajaran hilang, rata-rata pembelajaran satu tahun akan hilang. Model ini mengasumsikan bahwa kerugian belajar di setiap negara dibarengi dengan ketidaksetaraan yang memburuk. Siswa yang sebelumnya berprestasi baik, dan seringkali diuntungkan secara sosial ekonomi, mengalami kerugian belajar yang lebih kecil daripada siswa yang sebelumnya tidak berprestasi baik.
Percepatan
Kembali ke jalur sebelum pandemi membutuhkan waktu satu dekade, atau pemulihan dapat terjadi pada 2024. Dengan catatan, ada upaya luar biasa untuk memberikan kelas perbaikan dan strategi mengejar ketertinggalan.
Tanpa akselerasi perbaikan, atau upaya untuk mengejar ketertinggalan, anak-anak yang saat ini tertinggal, di masa depan akan tetap tertinggal. Anak-anak yang pada 2020 berada di kelas satu sekolah dasar, pada 2025 ketika mereka duduk di kelas 6 akan menunjukkan efek gangguan yang terjadi pada 2020 karena pandemi.
Karena itu studi ini menyarankan program remediasi untuk mengatasi kerugian pembelajaran. Siswa perlu belajar 10 persen lebih banyak dari nilai pembelajaran di masa sebelum pandemi untuk mengejar ketertinggalan mereka akibat pandemi. Untuk ini, kualitas guru dan dukungan untuk guru harus mendapat perhatian.
Untuk mencegah bencana generasi, UNESCO menyerukan sekolah priotitas dibuka kembali dengan dukungan yang lebih besar bagi para guru. Saat ini, sebanyak 107 negara telah membuka sekolah secara nasional, sebagian besar di Afrika, Asia, dan Eropa. Sebanyak 70 negara membuka sekolah sebagian, termasuk di Indonesia, dengan kelas-kelas yang tidak penuh dan penerapan protokol kesehatan. Sedangkan 30 negara masih menutup sekolah secara penuh.
Selain membuka sekolah, juga perlu ada inisiatif untuk mencegah siswa putus sekolah dan kerugian belajar, serta percepatan ketersediaan perangkat pembelajaran digital. Untuk mengurangi putus sekolah dan kehilangan belajar, pendidikan harus diutamakan dalam pemulihan di masa pandemi ini. Namun 65 persen pemerintah di negara-negara berpenghasilan rendah dan 35 pemerintah di negara-negara berpenghasilan tinggi mengurangi anggaran pendidikan selama pandemi.
Ketersediaan perangkat pembelajaran digital tidak hanya penting untuk pembelajaran di masa pandemi ini, tetapi juga diperlukan agar siswa dapat mempelajari keterampilan penting yang diperlukan untuk bersaing dalam ekonomi modern. Secara global, berdasar data PBB, dua pertiga anak usia sekolah atau sekitar 1,3 miliar anak usia 3-17 tahun tidak memiliki koneksi internet di rumah mereka, beberapa bahkan tidak memiliki perangkat digital.