Hampir setahun berjalan, pandemi Covid-19 semakin menunjukkan dampaknya pada pendidikan. Tanpa upaya khusus, pandemi ini akan benar-benar melahirkan generasi yang hilang karena kehilangan kesempatan belajar.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Hampir setahun pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, banyak guru dan siswa yang semakin dapat beradaptasi dengan pembelajaran daring. Namun, risiko yang muncul akibat pembelajaran jarak jauh yang belum efektif, terutama bagi siswa yang terkendala akses pembelajaran daring, juga semakin besar.
Risiko hilang pengalaman belajar (learning loss) telah terjadi, ancaman ketidakmampuan belajar (learning poverty) semakin nyata. Risiko anak putus sekolah juga meningkat, baik karena bekerja maupun menikah, cenderung meningkat. Ini bukan permasalahan baru dalam pendidikan, melainkan pandemi memperparah kondisi ini.
Di Kota Cimahi, Jawa Barat, misalnya, hampir 15 persen siswa kelas dua sekolah dasar belum bisa membaca dan menulis. Mereka umumnya siswa yang terkendala akses ke pembelajaran daring dan yang di bawah pengasuhan kakek/nenek atau kakak karena orangtua harus bekerja keluar rumah.
Tanpa penanganan khusus, mereka yang telah hilang pengalaman belajar ini rawan mengalami ketidakmampuan belajar, yaitu tidak dapat membaca dan memahami teks sederhana pada usia 10 tahun. Capaian belajar hampir 50 persen siswa SD dan SMP di Kota Cimahi selama masa pandemi juga di bawah rata-rata.
Akses internet di Kota Cimahi terhitung memadai untuk memfasilitasi pembelajaran daring meski masih ada wilayah yang blank spot. Pemerintah kota menyediakan fasilitas internet nirkabel (Wi-Fi) gratis di ruang-ruang publik, kantor desa, hingga tingkat rukun warga (RW).
Masalahnya, tidak semua siswa mempunyai gawai. Sebanyak 633 siswa SMP belum memiliki gawai dan 2.508 siswa menggunakan gawai milik orangtua ketika pembelajaran daring. Di tingkat sekolah dasar, sekitar 2.400 siswa tidak memiliki gawai.
Pembelajaran daring, kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi Harjono, Kamis (18/2/2021), tidak hanya terkait kesiapan infrastruktur digital. Kesiapan guru dan teknik pembelajaran yang tepat, serta kesiapan atau kesadaran orangtua juga berperan penting.
Pembelajaran secara luring juga terkendala. Pembatasan sosial berskala besar pada awal pandemi membuat guru kunjung tidak bisa dilakukan dan ini berlanjut hingga akhir tahun karena tingginya tingkat kasus Covid-19. Rencana pembukaan sekolah mulai Januari 2021 juga batal terlaksana karena kasus Covid-19 masih tinggi.
Penanganan khusus
Namun dengan dampak PJJ sejauh ini, siswa yang terkendala pembelajaran tidak bisa menunggu sekolah dibuka kembali untuk bisa belajar. Karena itu, Pemerintah Kota Cimahi menggiatkan guru kunjung. Para guru diminta mendatangi dan memberikan pendampingan kepada para siswa tersebut, terutama siswa SD yang belum bisa membaca dan menulis.
Program belajar dari rumah melalui televisi dan radio pun dioptimalkan bagi siswa yang terkendala pembelajaran daring. Penugasan dari guru mengacu pada materi yang disampaikan dalam program-program tersebut.
”Anak-anak yang bermasalah (dalam pembelajaran) jumlahnya tidak sedikit, perlu penanganan extraordinary. Anak-anak yang tidak beruntung ini harus dipikirkan, 20 tahun mendatang mereka menjadi pelaku ekonomi. Jangan sampai mereka menjadi beban nanti,” kata Harjono.
Anak-anak yang bermasalah (dalam pembelajaran) jumlahnya tidak sedikit, perlu penanganan extraordinary. Anak-anak yang tidak beruntung ini harus dipikirkan, 20 tahun mendatang mereka menjadi pelaku ekonomi. Jangan sampai mereka menjadi beban nanti.
Warga pun digerakkan untuk terlibat dalam pendidikan. Data anak-anak yang terkendala dalam pembelajaran dibagikan hingga ke tingkat RW. Diharapkan, di wilayah yang sama, guru bisa mengajar siswa meski bukan muridnya. Selain memperbesar aksesibilitas siswa pada pembelajaran, ini juga untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19.
Dengan menjaga anak tetap belajar selama PJJ, diharapkan juga bisa mencegah anak putus sekolah. Dinas Pendidikan Kota Cimahi tengah memetakan masalah ini setelah sejumlah kepala sekolah melaporkan ada beberapa siswa yang keluar (putus sekolah). Jumlah siswa baru SMP pada Tahun Ajaran 2020/2021 ini pun menurun 90 orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Indikasi peningkatan anak putus sekolah juga terjadi di sejumlah daerah lainnya. Saat melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi di delapan provinsi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapat informasi bahwa sejumlah siswa berhenti sekolah karena bekerja untuk membantu perekonomian keluarga ataupun karena menikah.
”Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah. Usia mereka 15-18 tahun,” kata komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti.
Di SMA Negeri 1 Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, misalnya, sembilan siswanya (laki-laki dan perempuan) putus sekolah karena menikah. Kepala SMAN 1 Gunungsari, Mansur, merasa ”kecolongan” meski setiap tahun selalu ada 1-2 siswanya yang keluar karena menikah.
Semula, kata Mansur, ada informasi 13 siswanya berencana menikah. Dengan pendekatan ke siswa dan orangtua, pihaknya bisa mengembalikan empat siswa ke sekolah meski dua di antaranya ke SMA terbuka karena rencana pernikahannya sudah matang dan tidak bisa dibatalkan.
Sementara sembilan siswa lainnya ketika didatangi sudah menikah dan tidak berminat melanjutkan pendidikan di SMA terbuka yang diselenggarakan di SMAN 1 Gunungsari pada sore hari. Ketidakhadiran di sekolah karena PJJ dalam waktu lama telah memadamkan semangat belajar mereka.
Kasus tersebut menjadi pembelajaran bagi sekolah untuk melakukan langkah-langkah pencegahan secara khusus. Selain mengoptimalkan peran guru Bimbingan dan Konseling (BK), upaya mitigasi pun lebih diintensifkan.
”Jika ada anak tidak masuk dua hari tanpa pemberitahuan, segera kami datangi (ke rumah siswa). Di masa PJJ Ini semakin sulit mendeteksi anak yang mau menikah. Ada yang sudah menikah tetap mengikuti PJJ dan kami baru tahu belakangan,” kata Mansur.
Kasus di Kota Cimahi dan Lombok Barat tersebut menunjukkan bahwa pandemi telah menyebabkan dampak yang tidak biasa pada pendidikan. Karena itu, dibutuhkan pula kebijakan yang tidak biasa untuk menjaga nyala semangat belajar siswa. Pemetaan masalah mutlak dilakukan, keberpihakan pada mereka yang rentan harus menjadi prioritas karena mereka juga masa depan bangsa ini.