Sekolah untuk lebih dari 168 juta anak di dunia tutup sepenuhnya hampir satu tahun karena pandemi Covid-19. Anak-anak yang tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh berisiko lebih tinggi tidak kembali ke sekolah.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Sebuah kelas berisi 168 kursi siswa sekolah hadir di halaman Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York sejak 1 Maret 2021. Di sandaran setiap kursi kosong yang menghadap ke sebuah papan tulis besar tersebut tergantung sebuah ransel kosong.
Di papan tulis terpampang pengumuman bahwa sebanyak 168 juta siswa tidak hadir selama setahun. Seni instalasi berjudul “Kelas Pandemi” tersebut merupakan potret kondisi pendidikan saat ini di mana sekolah untuk lebih dari 168 juta anak di seluruh dunia tutup sepenuhnya selama hampir satu tahun karena pandemi Covid-19.
Data Unicef menunjukkan, dari 168 juta siswa tersebut, sebanyak 25 juta di antaranya di Asia Timur dan Pasifik. Selain itu, sekitar 214 juta anak, atau satu dari tujuh anak, kehilangan lebih dari tiga perempat waktu pembelajaran tatap muka. Total lebih dari 888 juta anak di dunia menghadapi gangguan pendidikan karena penutupan sekolah secara penuh maupun sebagian.
“Saat kita mendekati satu tahun pandemi Covid-19, kita sekali lagi diingatkan tentang bencana pendidikan darurat akibat penguncian di seluruh dunia. Dengan berlalunya hari, anak-anak yang tidak dapat mengakses sekolah secara langsung semakin tertinggal, mereka semakin terpinggirkan,” kata Henrietta Fore Direktur Eksekutif Unicef di laman Unicef, Selasa (2/3).
Penutupan sekolah berdampak pada pembelajaran dan kesejahteraan anak-anak. Anak-anak yang paling rentan, seperti anak-anak dari keluarga miskin, anak berkebutuhan khusus, yang tidak dapat mengakses pembelajaran jarak jauh berisiko lebih tinggi tidak kembali lagi ke sekolah (putus sekolah). Lebih dari itu, tak sedikit yang menjadi pekerja anak atau bahkan menikah di usia anak.
Mayoritas anak sekolah di seluruh dunia juga bergantung pada sekolah sebagai tempat mereka dapat berinteraksi dengan teman sebaya, mencari dukungan, mengakses layanan kesehatan dan imunisasi serta makanan bergizi. Semakin lama sekolah ditutup, semakin lama anak-anak terputus dari elemen kritis masa kanak-kanak ini.
Melalui seni instalasi Kelas Pandemi tersebut, Unicef ingin menarik perhatian pemerintah di seluruh dunia akan kondisi darurat pendidikan akibat pandemi. Kelas Pandemi ini merupakan pesan kepada pemerintah di seluruh dunia bahwa harus memprioritaskan pembukaan kembali sekolah, dan sekolah yang lebih baik dari sebelumnya.
Saat siswa kembali ke sekolah, mereka membutuhkan dukungan untuk menyesuaikan kembali dan mengejar ketinggalan pelajaran mereka selama ini. Rencana pembukaan kembali sekolah juga harus mencakup upaya untuk memulihkan pendidikan anak-anak yang hilang selama pandemi.
Karena itu, Unicef mendesak pemerintah untuk memprioritaskan kebutuhan unik setiap siswa, dengan layanan komprehensif yang mencakup pemulihan dari kehilangan dan ketinggalan pembelajaran, kesehatan dan gizi, serta kesehatan mental dan langkah-langkah perlindungan di sekolah untuk membina perkembangan dan kesejahteraan anak.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres ketika mengunjungi instalasi Kelas Pandemi mengatakan bahwa dunia sedang menghadapi bencana generasi. Kebutuhan untuk membuka kembali sekolah dengan lebih baik kian mendesak.
Tantangan
Namun, memastikan anak-anak tetap bersekolah ketika sekolah dibuka kembali merupakan tantangan tersendiri. Risiko bahwa anak-anak yang selama ini tidak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh tidak kembali ke sekolah ketika sekolah dibuka adalah nyata.
Di SMK Negeri 1 Percut Situan, Deli Serdang, Sumatera Utara misalnya, lebih dari 200 siswanya tidak kembali ke sekolah ketika sekolah dibuka kembali mulai Januari lalu. Mereka selama ini terkendala mengikuti pembelajaran jarak jauh karena ketiadaan gawai atau karena ketiadaan kuota internet.
“Banyak siswa yang lost contact, kami kehilangan kontak mereka. Ketika dicari ke alamat tempat tinggal, tidak ketemu karena ternyata tempat tinggalnya tidak sesuai alamat yang tercatat di sekolah, atau sudah pindah mengikuti orangtua karena orangtua kehilangan pekerjaan,” kata Fahriza Martha Tanjung, salah satu guru yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, ketika dihubungi 2 Maret lalu.
Kondisi tersebut sangat mungkin terjadi di sekolah-sekolah lain. Pemantauan yang dilakukan Unicef dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada akhir 2020 menunjukkan sebanyak 938 anak putus sekolah karena pandemi. Jumlah ini sekitar 1 persen dari 145.000 anak dari 109.00 keluarga miskin di 1.104 desa. Selain itu, 70 persen anak berpotensi putus sekolah, 30 persen di antaranya berpotensi tinggi putus sekolah.
“Pemerintah daerah seharusnya membuat semacam posko pendidikan terkait PJJ (pembelajaran jarak jauh) sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020. Sejauh ini belum terlihat ada upaya ini,” kata Fahriza.
Surat Edaran Sekjen Kemendikbud tersebut antara lain meminta pemda membentuk Pos Pendidikan Dinas Pendidikan dalam masa darurat Covid-19. Pos pendidikan ini bertugas sebagai sekretariat penanganan darurat Covid-19 bidang pendidikan. Ada pula tugas pemda untuk memetakan kondisi pendidikan selama pembelajaran dari rumah atau PJJ.