UNESCO: Dua Pertiga Tahun Akademik Hilang akibat Pandemi
Secara global, rata-rata penutupan sekolah akibat pandemi selama 5,5 bulan atau setara dengan dua pertiga tahun akademik. UNESCO mendorong negara-negara memasukkan pendidikan sebagai program prioritas respons pandemi.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Satu tahun pandemi Covid-19, lebih dari 800 juta siswa atau lebih dari setengah populasi siswa dunia masih menghadapi gangguan pendidikan. Dari 190 negara, 31 negara masih menutup sekolah secara penuh, 48 negara masih menutup sekolah sebagian, dan 101 negara telah membuka sekolah secara penuh.
Peta pemantauan interaktif Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menunjukkan, rata-rata penutupan sekolah secara global mencapai 5,5 bulan (22 minggu) atau setara dengan dua pertiga tahun akademik. Puncak penutupan terjadi pada April 2020, yang terjadi di 190 negara.
Durasi penutupan sangat bervariasi menurut wilayah, di negara-negara Amerika Latin dan Karibia rata-rata 5 bulan (20 minggu), ) di Eropa rata-rata 2,5 bulan (10 minggu, dan di Oseania satu bulan. Di Indonesia, penutupan sekolah selama 31-40 minggu atau rata-rata 39 minggu meski di beberapa daerah telah dibuka lebih awal. Penutupan sekolah paling lama di India, rata-rata 47 minggu.
Hanya sedikit negara yang mempunyai komitmen kuat tentang kesetaraan pendidikan dalam respons Covid-19.
Penutupan sekolah yang berkepanjangan dan berulang-ulang meningkatkan jumlah siswa yang mengalami masalah psikososial, meningkatkan kerugian belajar, dan risiko putus sekolah. Hal ini secara tidak proporsional berdampak pada mereka yang paling rentan. Semakin lama sekolah ditutup, mereka akan semakin tertinggal.
Ini sejalan dengan laporan yang diterbitkan UNESCO, Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), dan Bank Dunia pada 29 Oktober 2020. Dampak penutupan sekolah pada anak-anak yang terkendala pembelajaran jarak jauh akan lebih lama dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terkendala dalam pembelajaran jarak jauh (Kompas, 30/11/2020).
”Oleh karena itu, penutupan sekolah penuh harus menjadi pilihan terakhir dan membukanya kembali dengan aman menjadi prioritas,” kata Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, dalam laman UNESCO, 25 Januari 2021.
Dilema
Pembukaan sekolah menjadi dilema di negara-negara dengan tingkat kasus Covid-19 yang masih tinggi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pembukaan sekolah dilakukan jika tingkat infeksi Covid-19 kurang dari 5 persen. Di Indonesia, tingkat infeksi Covid-19 terus meningkat dan saat ini berkisar 33 persen.
Semula Pemerintah Indonesia melalui Surat keputusan Bersama Empat Menteri memberikan panduan untuk pembukaan sekolah mulai Januari 2021. Namun, karena tingkat kasus Covid-19 terus meningkat, pembukaan sekolah secara nasional urung dan pembelajaran jarak jauh tetap dilanjutkan dilakukan hingga kondisi memungkinkan sekolah dibuka kembali.
Meskipun begitu, sekolah-sekolah yang terkendala menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh dan berada di daerah yang relatif aman dari Covid-19 bisa menyelenggarakan pembelajaran tatap muka dengan melaksanakan protokol kesehatan. Ini agar anak tetap mendapatkan hak pendidikan.
”Kami menganjurkan pemerintah daerah untuk mengakselerasi pembelajaran di sekolah-sekolah tersebut,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, 20 Januari 2021.
Penutupan sekolah dan juga krisis akibat pandemi dipastikan berdampak pada psikososial dan hasil belajar anak. Penelitian Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan, satu dari empat anak mengalami gangguan psikologi akibat pandemi. Adapun survei yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud menunjukkan ada indikasi potensi hilang belajar (learning loss) yang kian nyata.
Nadiem mengatakan, learning loss akibat pandemi akan dapat terukur dengan membandingkan hasil asesmen nasional yang akan diselenggarakan pada September 2021 dengan hasil ujian nasional. ”Asesmen nasional antara lain untuk mengukur learning loss,” kata Nadiem.
Komitmen pada kesetaraan
Menurut Azoulay, perlu komitmen pendidikan terutama dari aspek pembiayaan dan perhatian pada anak-anak yang lebih rentan terdampak penutupan sekolah. UNESCO menyerukan negara-negara untuk memprioritaskan pendidikan dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan memberikan prioritas pada mereka yang rentan.
Data yang dirilis Laporan Pemantauan Pendidikan Global UNESCO ini menunjukkan, bahkan sebelum krisis Covid-19, hanya satu dari lima negara yang menunjukkan komitmen yang kuat terhadap kesetaraan dalam pendidikan melalui mekanisme pembiayaan mereka. Selain itu, hanya sedikit negara yang mempunyai komitmen kuat tentang kesetaraan pendidikan dalam respons Covid-19.
”Kami membutuhkan paket pemulihan yang dibiayai dengan memadai untuk membuka kembali sekolah dengan aman, menargetkan mereka yang paling membutuhkan, dan mengembalikan pendidikan ke jalur yang tepat untuk generasi Covid-19,” kata Azoulay.
Data UNESCO menunjukkan, secara global sektor pendidikan hanya menerima sekitar 0,78 persen dari paket bantuan penanganan Covid-19. Selain itu, bantuan untuk pendidikan diperkirakan akan turun 12 persen akibat pandemi.
Temuan UNESCO menunjukkan, pandemi juga meningkatkan kesenjangan anggaran pendidikan sebesar sepertiga di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, mewakili hampir 40 persen dari total anggaran. Investasi di awal dalam program peningkatan dan perbaikan pendidikan akan menghemat anggaran di masa mendatang, mengurangi 75 persen biaya perbaikan dampak negatif Covid-19.