Perkawinan anak menghancurkan masa depan anak. Tak hanya pendidikan terputus, kesehatan reproduksi anak perempuan sangat berisiko ketika terjadi kehamilan di usia anak. Lingkaran kemiskinan membayangi hidup mereka.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor/Machardin Wahyudi Ritonga
·5 menit baca
Mengandung dan melahirkan anak pertama adalah momen yang akan selalu diingat oleh seorang perempuan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Rasminah (35) warga Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sedapat mungkin ia justru ingin melupakan momen-momen saat dia melahirkan anak pertamanya 22 tahun silam.
Rasminah menggambarkan perjuangannya beratnya saat melahirkan Taryamin anak pertamanya. Tidak seperti proses kelahiran normal umumnya, Rasminah membutuhkan proses berhari-hari hingga akhirnya anaknya lahir. “Waktu melahirkan anak pertama, yang ada dipikiran saya ingin mati saja saat itu. Kata saya melahirkan ‘kok sakitnya kayak gitu. Benar-benar antara hidup dan mati,” tuturnya kepada Kompas, Senin (19/4/2021) petang.
Anaknya akhirnya bisa dilahirkan setelah dibantu oleh dua bidan dan dukun bayi (beranak) di kampungnya. Persalinannya sulit karena ketika itu Rasminah baru menginjak usia 14 tahun. Dia dipaksa orangtua untuk menikah pada usia 13 tahun, ketika masih kelas VI sekolah dasar. Dia tak berdaya ketika diminta ibunya menikah dengan laki-laki berusia 27 yang tidak dikenalnya. Ayahnya menderita lumpuh sejak dia masih kecil, sedangkan ibunya hanya buruh tani.
Anak punya anak. Itulah nasib yang dialami Rasminah. Jangankan mengandung, pada saat menikah dia sama sekali tidak mengerti soal hubungan seks suami-istri. Bahkan sesaat setelah menikah dia berani tidur dengan suaminya dan memilih tidur dengan ibunya. Dia baru menjalani hubungan suami istri, ketika suaminya membawa dia ke Jakarta dua bulan setelah menikah.
Dia bahkan tidak mengerti jika dirinya telah hamil. Seiring kandungannya membesar, dia pulang ke rumah ibunya. Menjelang persalinannya dia merasakan sakit. “Saking sakitnya, saya tidak bisa makan berhari-hari,” ujar Rasminah.
Karena masih anak-anak, usai melahirkan, Rasminah tidak tahu cara mengurus bayinya. Ibunyalah yang merawat anaknya. Saat anaknya usia dua tahun, suaminya meninggalnya. Tak berapa lama Rasminah pun kembali dipaksa orangtuanya menikah siri dengan laki-laki 37 tahun, yang seusia pamannya. Ia dipoligami. Dengan suami kedua, Rasminah kembali mengandung, dan kembali melahirkan seorang anak perempuan dengan susah payah.
Lembaran kelam Rasminah tak berhenti. Tak sanggup dipoligami, Rasminah pulang ke rumah orangtuanya. Namun, tak berapa lama kemudian, ibunya meminta dia menikah dengan seorang dalang yang hampir berusia 50 tahun. Dia kembali punya seorang anak. Rasminah mengalami disabilitas, karena salah satu kakinya diamputasi, akibat dipatuk ular saat bekerja di sawah.
Balada hidup Rasminah tak kunjung berhenti. Saat suami ketiganya meninggal, ia pun kembali pulang ke rumah dengan tiga anak dan dalam kondisi disabilitas. Di tengah kondisi tersebut, dia mengenal seorang laki-laki yang tidak jauh dari umurnya, yang kemudian menikahinya.
Rasminah kembali mengandung anak keempat, namun dia mengalami keguguran. Dia kemudian diminta para bidan di kampungnya untuk tidak mengandung lagi karena kandungannya lemah.
Namun, tak lama setelah itu, Rasminah kembali mengandung anak kelima, kemudian anak keenam. “Saat melahirkan anak keenam, saya kembali mengalami kesakitan yang sama hebatnya dengan kelahiran anak pertama. Hampir tiga hari anak baru bisa dilahirkan,” ungkap Rasminah.
Bertaruh dengan maut
Pengalaman pahit melahirkan anak di usia anak, juga pernah dialami Annah (51), warga Desa Cipaku, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jabar. Pada 35 tahun silam, saat berusia 16 tahun, dia harus bertaruh dengan maut saat melahirkan anak pertamanya. “Sakitnya luar biasa. Dokter sampai marah-marah ke orang tua saya. ‘Ini bagaimana bisa melahirkan usia 16 tahun’. Saya sampai sakit bergerak selama dua bulan,” ujarnya saat bercerita di tengah pertemuan rutin Bale Istri Yayasan Sapa, Bandung, Sabtu (17/4).
Pada umur 15 tahun, Annah diminta menikah dengan anggapan dia bisa hidup lebih mandiri. “Orangtua saya khawatir, ada anak remaja tapi tidak menikah. Lebih baik dinikahkan saja, padahal saya sedang senang bermain dengan anak-anak lainnya,” katanya.
Setahun setelah menikah, sekitar tahun 1985, Annah mengalami persalinan pertamanya di usia 16 tahun. Meski anak lahir secara normal dan sehat, dia merasakan kesakitan yang luar biasa dan perlu perawatan di rumah sakit selama seminggu.
Bahkan, untuk memastikan Annah tidak melahirkan dalam rentang waktu berdekatan. Dokter pun meminta Annah memasang alat kontrasepsi. Jeda melahirkan anak kedua pun cukup jauh, hingga sembilan tahun. “Saya tidak ingin anak-anak merasakan apa yang dirasakan kami saat menikah muda. Karena itu, anak-anak saya sekolahkan dulu, baru menikah,” ujarnya.
Rasminah dan Annah merupakan potret korban perkawinan anak di Tanah Air. Proses persalinan yang sulit, hanyalah salah satu dari dampak kesehatan yang dialami anak perempuan ketika menikah. Ancaman kanker mulut rahim, dan tulang keropos juga mengintai, perempuan korban perkawinan anak.
Sejumlah perempuan korban perkawinan anak di Poliwali Mandar, Sulawesi Barat yang pernah ditemui Kompas, sebelum pandemi, juga mengalami pertumbuhan badan yang berbeda dengan perempuan umumnya. Bahkan sejumlah perempuan bungkuk padahal usianya masih sekitar 40 tahun.
Koordinator Pendampingan Kasus Yayasan Sapa, Sugih Hartini mengungkapkan sejumlah perempuan di desanya menjadi korban perkawinan anak karena minimnya pendidikan. Akses pendidikan yang sulit membuat orangtua memilih untuk menikahkan anak-anaknya di masa lalu. Bahkan, sejumlah ibu yang hadir dalam pertemuan rutin Bale Istri ini, menikah pada rentang usia 15-16 tahun.
Sebagai contoh, Sugih memaparkan, perkawinan anak seharusnya dihindari. Tidak hanya masalah kesehatan, ada banyak dampak yang merugikan anak perempuan. “Semua akan sulit. Belum lagi emosi yang belum stabil. Masih diasuh sama ibunya, malah sudah mengurus anak. Ini juga yang berdampak pada perceraian usia muda,” ujarnya.
Pengalaman pahit yang dialaminya mendorong Rasminah bersama dua perempuan korban perkawinan anak lainya, pada tahun 2018 mengajukan pemohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi atas UU No.1 Tahun 1974 khususnya pasal yang mengatur batas usia minimal perkawinan.
Permohonannya Rasminah dan kawan-kawan dikabulkan. MK menyatakan perkawinan anak melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Setahun kemudian, akhir 2019, DPR bersama pemerintah pun merevisi UU Perkawinan, dan menaikkan usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, sama dengan laki-laki. Harapannya tidak ada lagi praktik perkawinan anak yang akan menghancurkan masa depan anak dan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan reproduksi.