Anak penyandang disabilitas kerap disembunyikan keluarga sehingga mereka tidak mendapat pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial. Perlu ada upaya semua pihak untuk mengubah paradigma masyarakat terkait disabilitas.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Tidak ada orang yang ingin dilahirkan dan hidup disabilitas. Namun, kenyataannya, di tengah kehidupan masyarakat terdapat penyandang disabilitas, termasuk usia anak-anak. Hingga kini, mereka masih termarjinalkan, bahkan nyaris terlupakan.
Sebagian besar anak disabilitas terkurung di balik tembok-tembok rumah. Bahkan, sejumlah anak disabilitas mental dikirim orangtua ke panti-panti sosial. Minim pengasuhan, telantar, dan tidak mendapat pengakuan dalam keluarga dan masyarakat, membuat anak-anak dengan disabilitas semakin jauh dari perlindungan.
Tak hanya rentan mengalami kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual, anak-anak disabilitas juga mengalami perundungan, stigma, hingga pemasungan. Padahal, jumlah anak disabilitas di Tanah Air cukup banyak. Pemenuhan hak-hak mereka pun jauh dari anak-anak pada umumnya. Di masa pandemi, kekerasan yang dialami anak disabilitas juga meningkat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Profil Anak Indonesia pada 2020 menyebutkan, dari 84,4 juta anak di Indonesia terdapat 0,79 persen atau 650.000 anak penyandang disabilitas. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada 2019 juga menunjukan ada sebanyak 13,5 persen anak belum pernah sekolah dan 9,58 persen tidak lagi bersekolah.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar, dalam webinar ”Perlindungan terhadap Anak Penyandang Disabilitas di Masyarakat”, Rabu (31/3/2021) pekan lalu, menyebutkan, hingga 30 Maret 2021, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) diketahui sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak korban mengalami kekerasan.
”Banyaknya anak penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan perlakuan salah lainnya disebabkan mereka mendapatkan pengasuhan buruk,” ujar Nahar.
Undang-Undang No 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas mengamanatkan bahwa tanggung jawab penyelenggaran perlindungan terhadap anak termasuk anak disabilitas bukan hanya tanggung jawab keluarga, orangtua atau wali, tetapi juga negara, pemerintah pusat/daerah, dan masyarakat.
Perhatian dan upaya bersama dari seluruh pihak untuk mendorong pemenuhan hak, serta memberikan perlindungan secara cepat terhadap anak penyandang disabilitas, hendaknya dibarengi dengan komitmen seluruh pihak untuk memastikan anak mendapatkan pengasuhan yang baik.
”Kita harus bisa memahami kondisi anak penyandang disabilitas, memastikan tumbuh kembangnya berjalan dengan optimal, memiliki masa depan yang baik, tidak lagi dibedakan dengan anak non disabilitas lainnya, dan mau mengambil tindakan segera ketika ada anak yang memerlukan perlindungan khusus,” ungkap Nahar.
Ketua Yayasan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) Nurul Sa’adah menegaskan, perhatian pemerintah terhadap disabilitas sangat dibutuhkan. Apalagi, selama ini komunitas-komunitas perlindungan disabilitas di akar rumput masih bergerak sendiri-sendiri, untuk menyuarakan pemenuhan hak-hak anak disabilitas.
Bahkan, SAPDA kerap menerima berbagai keluhan orangtua yang anak-anaknya ditolak ketika mendaftar sekolah, atau terkait layanan kesehatan yang belum menjangkau anak disabilitas.
Terkait persoalan anak disabilitas, Nurul menegaskan, ada sejumlah hal krusial yang perlu mendapat perhatian, misalnya dokumen kependudukan. Selain tidak punya akta kelahiran, juga tidak masuk kartu keluarga, dan ketika sudah saatnya memiliki kartu tanda penduduk tidak diurus keluarganya karena dianggap tidak penting karena tidak punya masa depan.
Dari 40 persen anak disabilitas, ada yang tidak punya dokumen kependudukan sehingga tidak bisa sekolah, kerja, dan mengakses jaminan sosial. (Nurul Sa’adah)
”Dari 40 persen anak disabilitas, ada yang tidak punya dokumen kependudukan sehingga tidak bisa sekolah, kerja, dan mengakses jaminan sosial,” ujar Nurul.
Karena itulah, penting mengubah paradigma perlindungan terhadap anak disabilitas, mulai dari keluarga hingga masyarakat. Namun, selama persoalan anak disabilitas sebagai persoalan domestik, situasi anak-anak disabilitas tidak akan banyak berubah. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat ketika melihat di lingkungan ada anak disabilitas yang tidak sekolah atau mendapat kekerasan dari keluarga.
Regulasi
Bagaimana dengan pemerintah? Nahar menyatakan, selain menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak Penyandang Disabilitas yang di antaranya juga membentuk kelompok kerja anak penyandang disabilitas, Kementerian PPPA bersama kementerian/lembaga terkait juga tengah Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Khusus Anak.
Peraturan tersebut diharapkan akan mengakomodasi upaya perlindungan anak penyandang disabilitas, baik dalam aspek kesehatan, pengasuhan keluarga, pemenuhan kebutuhan khusus, pemberian layanan yang dibutuhkan, maupun perlindungan khusus, perlakuan sama dengan anak lainnya. Selain itu, integrasi sosial, perlindungan individu, pemberian akses untuk mengembangkan diri sesuai bakat dan minat yang dimiliki, dan lainnya.
Dari sisi pemerintah daerah, sejumlah daerah sudah mulai memberikan perhatian terhadap anak disabilitas. Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta, misalnya. Berbagai regulasi dilahirkan terkait penyandang disabilitas, seperti Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pemajuan Pelindungan dan Pemenuhan Hak Hak Penyandang Disabilitas. Ada juga Peraturan Wali Kota No 47/2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi dan Perwal 36/2017 tentang Pedoman Pendataan Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengungkapkan, salah satu tantangan yang dihadapi pemda terkait pemenuhan hak anak disabilitas justru dari orangtua yang masih ada yang menyembunyikan kondisi anak dengan disabilitas.
”Akibatnya, kadang-kadang anak-anak penyandang disabilitas memperoleh hak-haknya karena memang oleh orangtua kadang-kadang tidak dimunculkan di masyarakat. Karena itulah kami mengajak masyarakat dan pihak rukun tetangga dan rukun warga untuk meyakinkan kepada orangtua agar anaknya bisa sekolah,” ujar Heroe.
Selain menyiapkan sekolah-sekolah inklusi yang menerima siswa-siswa penyandang disabilitas, Pemkot Yogyakarta juga menyelenggarakan program-program yang berkaitan dengan disabilitas, antara lain, jemput bola buku perpustakaan baik mengantar maupun mengambil, serta fasilitasi pelatihan dan pengiriman atlet difabel untuk mengikuti berbagai perlombaan olahraga.
Oleh karena itu, selain mengubah paradigma yang memandang anak disabilitas tidak memiliki masa depan, berbagai langkah bersama dari tingkat keluarga anak penyandang disabilitas, masyarakat, hingga pemerintah, sangat penting agar perlindungann dan pemenuhan anak disabilitas terwujud.