Didiamkan, Kekerasan Seksual Perempuan Disabilitas Tak Banyak Terungkap
Suara-suara perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan sering tidak terdengar. Bahkan sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan disabilitas cenderung didiamkan dan tidak diproses.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Suasana Unjuk bincang yang dipandu Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu (berdiri) dengan pembicara Masniari Siregar (ibu dari 4 orang anak penyandang disabilitas tuli) dan Renny Setyaningrum (pengurus Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda).
JAKARTA, KOMPAS – Perempuan dan anak penyandang disabilitas sering mengalami stigmatisasi dan diskriminasi berlapis, serta sangat rentan mengalami kekerasan seksual. Kendati demikian, suara-suara perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan sering tidak terdengar. Bahkan sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan disabilitas cenderung didiamkan dan tidak diproses.
Situasi tersebut dialami mayoritas perempuan disabilitas, karena saat kasusnya diproses hukum mereka justru menghadapi berbagai hambatan. Selama ini proses peradilan dirasakan tidak berpihak kepada penyandang disabilitas korban kekerasan. Selain bukti minim, keterangan korban dianggap tidak cukup untuk dijadikan alat bukti hukum.
“Padahal, masalahnya terletak pada terbatasnya akses layanan yang seharusnya diberikan oleh aparat penegak hukum,” ujar Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, di Kedeputian Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Nyimas Aliah, dalam acara unjuk bincang bertema “Mendengar Suara Perempuan Penyandang Disabilitas agar Mandiri dan Berpartisipasi dalam Pembangunan”, Kamis (12/12/2019), di kantor KPPPA.
Unjuk bincang dalam rangka Peringatan Hari Disabilitas Internasional Tahun 2019, untuk mendengarkan suara perempuan penyandang disabilitas demi memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mereka di semua bidang pembangunan, baik politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Nyimas, yang mewakili Deputi Bidang PHP KPPPA Vennetia R Danes menegaskan, perempuan disabilitas rentan menjadi korban pelecehan seksual karena keterbatasan fisik, mental, dan intelektual. “Di antara mereka, yang paling rentan adalah disabilitas intelektual dan disabilitas pendengaran,” katanya.
Selama ini yang terjadi, ketika perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual dan diproses hukum, korban tidak didampingi oleh orang yang ahli menggunakan bahasa isyarat yang digunakan oleh korban. “Akibatnya polisi kesulitan dalam melakukan berita acara pemeriksaan. Akhirnya, proses peradilan tidak berpihak kepada penyandang disabilitas korban kekerasan,” katanya.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Suasana acara unjuk bincang bertema “Mendengar Suara Perempuan Penyandang Disabilitas agar Mandiri dan Berpartisipasi dalam Pembangunan”, Kamis (12/12/2019) di Kantor KPPPA.
Berbagi pengalaman
Unjuk bincang yang dihadiri komunitas disabilitas, dan dipandu Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu menghadirkan pembicara Masniari Siregar (ibu dari 4 orang anak penyandang disabilitas tuli) dan Renny Setyaningrum (pengurus Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda).
Masniari berbagi cerita bagaimana dia mengajari anak-anaknya untuk rajin belajar. Salah satu anaknya saat ini menjadi dosen di salah satu universitas swasta dan sedang menjalani pendidikan doktor (S3) di salah satu universitas negeri.
Sedangkan Renny memaparkan pengalaman yang dialaminya ketika melamar sebagai pegawai negeri untuk posisi guru matematika di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Renny menceritakan bagaimana sistem penerimaan pegawai di pemerintahan yang belum berpihak pada disabilitas yang sudah dimulai dari pendaftaran. “Disabilitas seolah-olah dianggap tidak mampu. Baru mau mengisi pendaftaran secara daring saja sudah ditolak,” katanya.
Soal perempuan disabilitas, Renny mengungkapkan menghilangkan ketidakadilan jender dan disabilitas akan memberikan peluang besar bagi perempuan disabilitas untuk maju, berdaya dan berkarya.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Dewi Tjandrawinata, pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi) saat berbagi cerita pada unjuk bincang bertema “Mendengar Suara Perempuan Penyandang Disabilitas agar Mandiri dan Berpartisipasi dalam Pembangunan”, Kamis (12/12/2019) di Kantor KPPPA.
Dalam diskusi, sejumlah perempuan disabilitas mengungkapkan berbagai kondisi buruk yang dialami di tengah masyarakat. Bahkan, beberapa ibu yang memiliki anak disabilitas juga memberikan kesaksian atas apa yang dialami selama ini. Misalnya Dewi Tjandrawinata, pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi) saat berbagi cerita tentang anaknya yang tampil berbagai kegiatan nasional maupun internasional, memotivasi sahabat-sahabatnya.
Peringatan HDI 2019 diharapkan dapat meningkatkan dan mempromosikan pemberdayaan dan membantu menciptakan kesempatan –kesempatan nyata bagi penyandang disabilitas umumnya dan penyandang disabilitas perempuan khususnya.
“Dengan mendengar suara perempuan penyandang disabilitas, kiranya dapat meningkatkan aksesibilitas di semua bidang untuk berperan dan berpartisipasi dalam pembangunan, mobilitas dan mandiri,” kata Nyimas.