Sempat “Tiarap” karena Pandemi, Perfilman Yogyakarta Menggeliat Lagi
Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap aktivitas perfilman di Yogyakarta. Akibat pandemi, sejumlah produksi film menjadi batal atau tertunda sehingga para pekerja film yang terlibat pun kehilangan penghasilan.

Pekerja film sedang melakukan proses penyuntingan atau editing sebuah film yang tengah dalam tahap produksi di kantor rumah produksi Belantara Films, Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (2/3/2021).
YOGYAKARTA, KOMPAS – Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap aktivitas perfilman di Yogyakarta. Akibat pandemi, sejumlah produksi film menjadi batal atau tertunda sehingga para pekerja film yang terlibat pun kehilangan penghasilan. Meski begitu, sejak akhir tahun 2020, aktivitas perfilman di Yogyakarta sudah mulai bergeliat kembali.
Dampak pandemi Covid-19 itu antara lain dirasakan oleh X-CODE Films, rumah produksi yang berbasis di Yogyakarta. Rumah produksi yang berdiri sejak tahun 2003 itu aktif memproduksi berbagai karya audio visual, misalnya film, video iklan, video musik, video profil perusahaan, dan sebagainya.
Selain itu, X-CODE Films juga kerap membantu rumah produksi dari luar Yogyakarta yang sedang memproduksi film atau produk audio visual lain di Yogyakarta. Selama ini, Yogyakarta memang kerap menjadi lokasi syuting film yang dibuat oleh rumah produksi dari Jakarta atau kota-kota lain. Bahkan, X-CODE Films juga beberapa kali membantu proses produksi film yang dibuat rumah produksi dari negara lain.
Kami sangat terdampak oleh pandemi. Sudah setahun ini kami tiarap.(Viko Amanda)
Pemilik X-CODE Films, Viko Amanda (49), mengatakan, pandemi Covid-19 sangat berdampak pada aktivitas rumah produksi tersebut. Karena adanya pandemi, sejumlah proyek pembuatan film atau produk audio visual lain yang dijalankan X-CODE Films menjadi batal. “Kami sangat terdampak oleh pandemi. Sudah setahun ini kami tiarap,” ujarnya, Kamis (25/3/2021), di Yogyakarta.

Proses syuting film dokumenter berjudul "Cipto Rupo" yang disutradarai Catur Panggih Raharjo. Film tersebut diproduksi dengan bantuan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2019. Sumber pendanaan itu berasal dari dana keistimewaan DIY.
Viko menuturkan, setelah adanya pandemi Covid-19, beberapa klien yang awalnya hendak menggunakan jasa X-CODE Films untuk membuat produk audio visual memilih untuk membatalkan proyek. “Job (pekerjaan) pada tahun lalu itu banyak yang cancel (batal), bukan hanya pending (ditunda). Karena budget (anggaran) klien mungkin dialihkan untuk (penanganan) Covid-19 atau alokasi yang lain,” tuturnya.
Pembatalan beberapa proyek itu berdampak signifikan pada aktivitas X-CODE Films. Hal ini karena proyek pembuatan produk audio visual itu menjadi sumber utama penghasilan rumah produksi tersebut.
Untuk mempertahankan operasional X-CODE Films, Viko pun harus memberikan subsidi dari pendapatan pribadinya. Selama ini, selain terlibat dalam produksi yang dijalankan X-CODE Films, Viko memang kerap terlibat sebagai pekerja lepas atau freelance dalam produksi film yang dijalankan rumah produksi lainnya.
Pada September 2020 hingga Maret 2021, misalnya, Viko terlibat dalam produksi film asing di Batam, Kepulauan Riau. “Untungnya saya ada kerjaan freelance. Jadi masih bisa mensubsidi silang kebutuhan operasional X-CODE Films,” ungkap Viko yang terlibat dalam sejumlah produksi film Hollywood, misalnya Eat Pray Love, Java Heat, Bufallo Boys, dan Beyond Skyline.
Baca juga: Industri Film Indonesia Optimistis Menyongsong Tahun 2021

Suasana pengambilan gambar film Satria Dewa Gatotkaca di Yogyakarta.
Viko mengatakan, selama satu tahun terakhir, X-CODE Films sama sekali tak memproduksi film atau produk audio visual lain karena dampak pandemi Covid-19. Meski begitu, saat ini, rumah produksi tersebut mulai beraktivitas kembali.
Viko menuturkan, saat ini, X-CODE Films sedang dalam proses negosiasi dengan klien untuk pembuatan iklan. Apabila kedua belah pihak setuju, proses produksi iklan itu akan dimulai pada April mendatang. “Ini baru persiapan-persiapan saja. Kalau jadi, April akan ada produksi iklan, tapi ini masih belum pasti,” katanya.

Kreativitas tak berhenti
Dampak pandemi Covid-19 juga dirasakan oleh pemain film Annisa Hertami (32). Annisa menuturkan, ada tiga film yang melibatkan dirinya yang akhirnya batal diproduksi karena adanya pandemi Covid-19. Selain itu, ada satu film lain yang melibatkan Annisa yang proses produksinya sempat tertunda karena pandemi Covid-19.
“Ada tiga film yang cancel. Ada juga film yang produksinya sempat pending lama, tapi karena sudah separuh jalan ya akhirnya tetap diproduksi dengan protokol kesehatan,” ujar Annisa yang telah tampil bermain di sejumlah film, misalnya Soegija (2012), Jokowi (2013), Jenderal Soedirman (2015), Aach... Aku Jatuh Cinta (2015), Nyai (2016), dan Bumi Manusia (2019).

Annisa Hertami
Menurut Annisa, pandemi Covid-19 memang sangat berdampak pada industri kreatif, termasuk perfilman. Hal ini karena proses produksi film biasanya melibatkan banyak orang, sementara pandemi Covid-19 mengharuskan adanya pembatasan dalam interaksi sosial. “Produksi film itu kan tidak bisa dikerjakan sendiri dan harus melibatkan cukup banyak orang. Jadi, ketika pandemi, hal-hal itu (produksi film) tidak bisa berjalan dengan lancar,” tuturnya.
Meski begitu, Annisa mengatakan, dirinya tetap berupaya agar kreativitasnya sebagai seniman tak berhenti di tengah pandemi Covid-19. Selama pandemi Covid-19, Annisa banyak menghabiskan waktu untuk menulis. Beberapa tulisan yang dibuat Annisa itu kemudian dikembangkan menjadi cerita pendek dan skenario film pendek.
“Aku harus berupaya agar kreativitasku tidak berhenti. Jadi, adanya pandemi ini tidak boleh mematikan kreativitas. Makanya, mau tidak mau aku berusaha bagaimana caranya supaya tetap ada penghasilan tapi kreativitasku juga tidak mati,” ungkap Annisa.
Selain itu, pada tahun 2020, Annisa juga mulai memproduksi film pendek sebagai sutradara dan penulis skenario. Film pendek pertama yang disutradarai Annisa itu berjudul Daya dan diproduksi pada tahun lalu di tengah pandemi Covid-19. Film yang berkisah tentang hubungan ibu dan anak saat pandemi itu dirilis pada November 2020.
Baca juga: Ikhtiar Jaringan Bioskop Bertahan Saat Pandemi Covid-19

Wisatawan mengunjungi Studio Alam Gamplong di Desa Sumberrahayu, Moyudan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (2/3/2021). Lokasi pengambilan gambar sejumlah film karya Sutradara Hanung Bramantyo tersebut dikembangkan menjadi obyek wisata yang menghadirkan lapangan pekerjaan bagi warga setempat. Saat akhir pekan obyek wisata itu didatangi sekitar 1.500 pengunjung.
Saat ini, Annisa juga sedang syuting film pendek berjudul Dari Jogja Kisahku Bermula. Dalam film tersebut, lagi-lagi Annisa menjadi sutradara dan penulis skenario. Film itu diproduksi Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Elora Film dengan produser Siska Raharja dan ide kreatif dari Yetti Martanti.
Menurut Annisa, proses produksi film itu dijalankan dengan protokol kesehatan ketat dan jumlah kru yang terlibat pun dibatasi. “Judul filmnya masih belum pasti, tapi film ini menyasar anak-anak milenial,” katanya.
Peran Paguyuban
Ketua Paguyuban Filmmaker Jogja (PFJ) Agni Tirta (35) mengatakan, pada masa awal pandemi Covid-19, sejumlah proses produksi film di Yogyakarta akhirnya dibatalkan atau diundur hingga batas waktu yang belum ditentukan. Melihat kondisi itu, PFJ kemudian memutuskan untuk mengumpulkan uang secara sukarela untuk membantu para pekerja film yang mengalami kesulitan ekonomi karena pandemi Covid-19.
“Kami memutuskan untuk serkileran (mengumpulkan uang). Teman-teman yang mampu mengumpulkan uang seadanya untuk membantu teman-teman kru film yang tidak seberuntung teman lainnya,” ujar Agni yang juga merupakan sutradara film sekaligus pendiri rumah produksi Belantara Films.
Agni menyebut, uang yang terkumpul itu dibelikan barang kebutuhan pokok yang kemudian diberikan kepada para pekerja film yang membutuhkan bantuan. Selain itu, PFJ juga berkomunikasi dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menanyakan apakah ada program untuk membantu para pekerja film di Yogyakarta yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Salah satu adegan dalam film dokumenter berjudul "Cipto Rupo" yang disutradarai Catur Panggih Raharjo. Film tersebut diproduksi dengan bantuan pendanaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2019. Sumber pendanaan itu berasal dari dana keistimewaa DIY.
Berdasarkan hasil komunikasi itu, Dinas Kebudayaan DIY ternyata memiliki program pembiayaan produksi film pendek yang bisa dimanfaatkan untuk membantu para pekerja film di Yogyakarta. Menurut Agni, dalam program itu, Dinas Kebudayaan DIY memberi bantuan pendanaan untuk pembuatan 10 film pendek dengan anggaran Rp 10 juta per film. “Nilainya memang kecil, tapi tidak masalah karena teman-teman kan butuh kegiatan (membuat film),” tuturnya.
Agni memaparkan, untuk menjalankan program itu, PFJ kemudian mencari 10 sutradara film di Yogyakarta yang bersedia terlibat. Namun, berdasarkan kesepakatan PFJ dengan para sutradara itu, dana bantuan dari Dinas Kebudayaan DIY tidak boleh dihabiskan seluruhnya untuk memproduksi film. Masing-masing sutradara hanya boleh menghabiskan maksimal 50 persen dana bantuan itu untuk membuat film.
Adapun sisa dana bantuan itu kemudian dikumpulkan dan dibagikan kepada para pekerja film di Yogyakarta yang membutuhkan bantuan. Mereka yang diberi bantuan adalah para pekerja film yang tidak terlibat dalam produksi 10 film pendek yang didanai oleh Dinas Kebudayaan DIY itu.
“Kami sepakat bahwa anggarannya tidak boleh dihabiskan, maksimal 50 persen (yang boleh dipakai). Sisanya dibagi buat teman-teman yang tidak ikut dalam produksi itu,” ungkap Agni.

Pekerja film sedang melakukan proses penyuntingan atau editing sebuah film yang tengah dalam tahap produksi di kantor rumah produksi Belantara Films, Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (2/3/2021).
Agni menyebut, PFJ kemudian mengumpulkan data pekerja atau kru film di Yogyakarta. Berdasarkan data tersebut, ada sekitar 300 orang pekerja film yang kemudian diberi bantuan uang tunai.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Belum Usai, Penayangan Film Baru di Bioskop Masih Sulit
Agni menambahkan, pada akhir tahun 2020, proses syuting film di Yogyakarta sudah mulai berjalan kembali. Selain produksi film oleh para pembuat film Yogyakarta, sejumlah rumah produksi asal Jakarta juga telah mulai melakukan syuting di Yogyakarta. Namun, karena pandemi Covid-19 belum selesai, proses syuting itu harus dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
“Memang harus ada penyesuaian, misalnya jumlah kru tidak bisa sebanyak sebelumnya dan jam kerja tidak boleh terlalu panjang,” kata Agni.