Tumbuh kembang anak sangat bergantung pada situasi dan kondisi keluarga, termasuk perekonomian keluarga. Ketika perekonomian keluarga terguncang, maka anak-anak ikut terdampak. Intervensi pemerintah menjadi penting.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 mengguncang kehidupan masyarakat di semua kelompok umur. Namun, anak dan remaja menanggung beban lebih berat karena penurunan pendapatan rumah tangga dan kesulitan yang dialami keluarga untuk meningkatkan status ekonominya. Bahkan, jumlah anak dan remaja yang jatuh ke bawah garis kemiskinan akibat pandemi lebih banyak dibandingkan penduduk dari kelompok usia lain.
Kajian yang dilakukan oleh UNICEF dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, yang diluncurkan Rabu (17/3/2021), memperkirakan angka kemiskinan anak akan meningkat tajam pada tahun 2021 dengan estimasi sekitar 2,1 juta orang.
Bahkan, kajian berjudul “Impact of Covid-19 on Child Poverty and Mobility in Indonesia” memperlihatkan anak-anak berusia di bawah 18 tahun (32 persen dari populasi Indonesia) menyumbang hampir 40 persen penduduk miskin baru pada tahun 2020 akibat pandemi.
Meski demikian, program tanggap darurat perlindungan sosial pemerintah dinilai cukup kuat dan efektif mengurangi dampak pandemi terhadap kemiskinan pada tahun 2020, menurunkan tingkat kemiskinan dan kerentanan anak hingga di bawah kondisi pra pandemi.
"Program perlindungan sosial sebagai langkah tanggap darurat dari pemerintah memberikan jaring pengaman yang penting untuk anak-anak pada masa Covid-19,” kata Robert Gass, Deputi Perwakilan UNICEF Indonesia dalam keterangan pers, Rabu pekan lalu.
Oleh karena itu, jika kebijakan tersebut dihentikan, kemiskinan anak dikhawatirkan meningkat tajam hingga melebihi proyeksi sebelum pandemi. Penarikan program ini akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan anak hingga 12,6 persen seperti pada tahun 2018, sedangkan kerentanan anak akan meningkat hingga 38,9 persen.
Program perlindungan sosial sebagai langkah tanggap darurat dari pemerintah memberikan jaring pengaman yang penting untuk anak-anak pada masa Covid-19.
Hal itu disebabkan berhentinya bantuan akan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia kehilangan kesejahteraan bersih antara tahun 2020 dan 2021, terutama rumah tangga berpenghasilan rendah dan yang tinggal di pedesaan.
Kondisi pandemi saat ini, lanjut Gass, justru menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengembangkan visi jangka panjang untuk perlindungan sosial, sejalan dengan mandat presiden untuk mereformasi program perlindungan sosial. Program perlindungan sosial yang berfokus pada anak perlu diperluas dan ditingkatkan agar semua anak dapat dijangkau pada masa krisis.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Hidayat Amir menilai pentingnya perluasan ruang fiskal untuk perlindungan sosial yang berfokus pada anak di tahun 2021 dan seterusnya, untuk mengentaskan kemiskinan anak di seluruh negeri. “Ini juga merupakan peluang untuk memanfaatkan dividen demografis Indonesia dan sejalan dengan prioritas Presiden untuk berinvestasi di bidang sumber daya manusia,” ungkapnya.
Pertahankan program perlindungan sosial
Dari kajian UNICEF dan Kemenkeu tersebut memperlihatkan respons sigap pemerintah menghadapi krisis Covid- 19 dengan meningkatkan pengeluaran tahunan untuk program perlindungan sosial lebih dari dua kali lipat.
Dari program itu, sekitar 800.000 keluarga baru terdaftar dalam skema bantuan transfer tunai bersyarat Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun 2020 hingga mencakup 10 juta keluarga. Nilai bantuan transfer tunai untuk sementara pun meningkat sebesar 25 persen hingga Desember 2020.
Tak hanya itu, cakupan program bantuan pangan nontunai Kartu Sembako juga diperluas dari 15,6 juta menjadi 20 juta rumah tangga dan jumlah transfer tunai ditingkatkan hingga sepertiganya. Selain itu, hingga Desember 2020, ada tiga program baru diperkenalkan untuk memberikan bantuan kepada sekitar 22 juta rumah tangga yang tidak tercakup oleh skema yang ada.
Namun, jika program darurat dan bantuan sosial dilaksanakan sepenuhnya, itu berpotensi mengurangi dampak pandemi terhadap kemiskinan. Hasil simulasi menunjukkan rata-rata tingkat kemiskinan anak akan turun menjadi 10 persen, atau jumlah anak yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional dapat berkurang 2,8 juta.
Hal itu berbeda dengan skenario Covid-19 tanpa tindakan darurat, proporsi anak-anak yang berisiko tinggi mengalami kemiskinan bisa mencapai 40 persen.
Oleh karena itu, berdasarkan analisis dan proyeksi UNICEF serta Kemenkeu merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan untuk tetap menjalankan program perluasan perlindungan sosial, khususnya PKH dan Kartu Sembako. Hal itu akan membantu mengurangi kemiskinan dan kerentanan anak pada tahun 2021 dan seterusnya.
Rekomendasi utama dari kajian tersebut yakni memantau dan bersiap menghadapi kemungkinan meningkatnya ketimpangan serta melebarnya kesenjangan dalam capaian sosial ekonomi. Pemerintah harus menginvestasikan upaya dan sumber daya untuk mencegah “orang miskin baru” akibat Covid-19 menjadi “orang miskin kronis” di masa mendatang.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menilai hasil kajian itu menunjukkan kondisi perekonomian keluarga pada masa pandemi berdampak besar pada anak. Padahal, anak dan remaja memerlukan perlindungan dan pemenuhan hak dasar oleh orangtua atau walinya.
Hal ini juga sejalan dengan data KPAI yang menemukan selama tahun 2020 (masa pandemi) kasus anak korban pengasuhan meningkat secara signifikan hampir 80 persen akibat konflik orang tua. “Ini menjadi alarm kita semua, bahwa kehidupan keluarga tidak baik-baik saja di masa pandemi. Kesejahteraan anak terancam, khususnya perlindungan dari berbagai jenis kekerasan ketika keluarga tidak dalam keadaan baik-baik saja,” kata Rita.
Selain itu, dari data yang diperoleh KPAI di 10 provinsi, sebanyak 75 persen dari 20 dari kabupaten/kota mengalami peningkatan pekerja anak khususnya anak yang dilacurkan dan pemulung anak. Belum lagi dampak tumbuh kembang akibat asupan gizi berkurang hingga 15 persen dari kelompok masyarakat, ancaman putus sekolah akibat ketiadaan sumber daya, perkawinan anak, hingga stunting dan layanan kesehatan dasar yang terganggu.
Karena itu, tak hanya pemerintah, semua pihak terutama masyarakat mesti bergerak bersama, meperkuat solidaritas sosial, sehingga tidak ada kelompok masyarakat atau keluarga-keluarga yang tertinggal dan terus dalam lingkaran kemiskinan, yang mempengaruhi pada masa depan anak-anak.