MUI dan Pemerintah Berkomitmen Mencegah Perkawinan Anak
Perkawinan anak menghancurkan masa depan anak-anak. Karena itu, upaya pencegahan perkawinan anak harus dilakukan secara masif, tidak hanya pemerintah, tetapi juga seluruh pemangku kebijakan, termasuk lembaga keagamaan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan untuk mencegah perkawinan anak terus bergulir seiring meningkatnya komitmen untuk melindungi dan memastikan masa depan anak-anak. Bahkan saat ini, pemerintah dan lembaga keagamaan terus memperkuat kolaborasi agar semakin banyak pihak yang menyuarakan bahaya dari perkawinan anak dan pentingnya pendewasaan usia perkawinan.
Kolaborasi tersebut seperti yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan menandatangani nota kesepahaman bersama (MOU) dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Kamis (19/3/2021), tentang PPPA. MOU ditandatangani Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati dan Ketua MUI KH Miftachul Akhyar.
Selain menandatangani MOU, MUI Bersama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan kementerian/lembaga mendeklarasikan Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia.
Semua pihak menyatakan komitmen untuk bekerja sama dan saling mendukung dalam berbagai upaya pendewasaan usia perkawinan dan peningkatan kualitas keluarga, demi kepentingan terbaik bagi anak Indonesia.
Menteri PPPA menegaskan, MOU dan deklarasi dilakukan sebagai upaya penyelamatan anak bangsa yang terjebak dan terabaikan dalam perlindungan anak, salah satunya terkait praktik perkawinan anak yang saat ini sangat memprihatinkan.
”Masih banyak persoalan yang dihadapi pemerintah terkait tingginya praktik perkawinan anak di Indonesia yang belum dipahami oleh sebagian orang tua dan keluarga, yang dampaknya akan meninggalkan generasi lemah dan pada akhirnya merugikan banyak pihak,” ujar Bintang pada acara virtual yang dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Selain itu, masih adanya persepsi di masyarakat yang melakukan praktik terselubung sebagai modus perkawinan anak yang dapat disebut sebagai kejahatan anak, misalnya perdagangan orang maupun bentuk eksploitasi seksual anak.
Bintang juga mengingatkan perkawinan anak yang tinggi akan menggagalkan banyak program yang telah dicanangkan oleh pemerintah, baik Indeks Pembangunan Manusia maupun Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), serta bonus demografi yang tidak dapat kita manfaatkan dengan optimal.
Karena itu, Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan oleh MUI dan Kemenko PMK bersama kementerian/lembaga sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab bersama ulama dan pemerintah terhadap kepentingan umat dan bangsa. MUI dinilai sebagai wadah ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim melalui Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga memiliki peran strategis dalam ikhtiar pendewasaan usia perkawinan guna mewujudkan keluarga yang berkualitas serta mencegah kemudaratan akibat perkawinan anak, karena ulama dan tokoh agama, baik laki-laki maupun perempuan, adalah rujukan umat dan masyarakat.
Selain Menteri PPPA, sejumlah menteri juga ikut menandatangani deklarasi, yakni Menteri Agama, Menteri Pemuda dan Olahraga, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Miftachul Akhyar dalam sambutannya mengingatkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kemaslahatan keluarga, umat, dan bangsa yang harmoni, yang pada gilirannya akan terwujud generasi Indonesia yang berkualitas pula.
”Intinya, perkawinan di samping sakinah, mawadah, warahmah, tapi di balik itu ada tugas besar di dalam sebuah perkawinan adalah melahirkan sebuah kehidupan yang harmoni bukan hanya di dunia, tetapi sampai nanti di akhirat,” ujar Miftachul Akhyar yang mengingatkan jangan sampai perkawinan hanya karena kepuasan biologis.
Kematangan mental calon pengantin
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya mengingatkan, hal yang paling utama untuk disiapkan sebelum perkawinan ialah kematangan kedua calon mempelai, khususnya kematangan mental terkait dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai suami/istri untuk melaksanakan perkawinan dan hidup bersama membina sebuah keluarga.
Kemampuan tersebut juga tidak berarti kesiapan fisik semata, yang sering kali dipahami sebagai kesiapan organ reproduksi untuk menjalankan hubungan suami istri, kehamilan, dan persalinan.
”Calon mempelai juga harus paham bahwa kurangnya pengetahuan dan pemahaman berpotensi menimbulkan dampak negatif, seperti ancaman kesehatan reproduksi, keselamatan persalinan, kekerasan dalam rumah tangga, anak stunting akibat tidak terpenuhi kebutuhan nutrisinya, atau anak- anak yang tidak cukup pendidikannya sehingga menciptakan generasi yang lemah,” tegas Amin.
Oleh karena itu, Amin menilai sebelum menikah, perlu digalakkan kelas konseling pranikah yang akan mengajarkan hal-hal paling krusial dalam perkawinan, misalnya tujuan perkawinan, hak dan kewajiban, serta cara untuk saling memahami pasangan masing-masing, seluk-beluk kesehatan reproduksi dan persalinan, kesehatan ibu hamil dan anak, dan sebagainya.
Bahkan apabila diperlukan, dibuat aturan bagi calon pasangan yang akan menikah harus lulus kelas konseling pranikah. Konseling pranikah juga menjadi sangat penting, terutama setelah adanya temuan semakin tingginya kasus perceraian.