Aisha Weddings Dilaporkan agar Perkawinan Anak Tidak Dianggap Wajar
Perkawinan anak tidak hanya berdampak negatif bagi anak dan keluarga, tetapi juga pada negara. Angka anak putus sekolah serta anak tengkes berisiko meningkat sehingga menghambat kemajuan bangsa.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sahabat Milenial Indonesia-SETARA Institute tetap melanjutkan pelaporan terhadap pengelola Aisha Weddings yang mempromosikan perkawinan anak di bawah umur, di tengah adanya opini bahwa Aisha Weddings bagian dari skenario pengalihan isu tertentu. Bagi mereka, proses hukum terhadap Aisha Weddings penting agar pernikahan dini tidak dianggap wajar oleh masyarakat.
”Ketika ini tidak ditindak, artinya (seolah-olah) dilegalkan, ya, tidak ada unsur kesalahan di dalamnya,” ucap advokat publik yang juga pegiat Sahabat Milenial Indonesia (Samindo)-SETARA Institute, Disna Riantina, sebelum memenuhi undangan klarifikasi di Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta, Rabu (17/2/2021).
Jika tidak dilaporkan dan penegak hukum tidak mengusutnya, oknum warga dikhawatirkan mendapatkan pembenaran untuk melakukan perdagangan anak lewat pernikahan dini.
Melalui laman yang sekarang sudah tidak bisa diakses, pengelola Aisha Weddings, antara lain, menuliskan informasi ”Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih”. Padahal, berdasarkan Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No/1974 tentang Perkawinan, perkawinan hanya diizinkan jika laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.
Ketika ini tidak ditindak, artinya dilegalkan ya. (Disna Riantina)
Dengan penyebaran materi promosi semacam itu secara daring, Disna menilai penanggung jawab Aisha Weddings melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dengan muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman hukumannya, penjara hingga 6 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Karena itu, Samindo-SETARA Institute melaporkan Aisha Weddings ke Polda Metro Jaya pada Rabu (10/2/2021) malam. Laporan direkomendasikan untuk ditangani Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Sebagai tindak lanjut, Disna datang ke polda Rabu ini untuk diklarifikasi sebagai saksi pelapor.
Disna menyayangkan terdapat kalangan yang menyebut kasus Aisha Weddings sebagai upaya pengalihan konsentrasi masyarakat terhadap isu tertentu. Pengalihan isu, menurut dia, baru sebatas opini, sedangkan dugaan pelanggaran hukum oleh penanggung jawab Aisha Weddings merupakan fakta.
”Kita tidak bisa berbicara bahwa ini sekadar opini. Mari, bersama-sama membuktikan dengan alat-alat bukti tentunya,” ujarnya.
Terkait ada-tidaknya anak di bawah umur yang sudah dinikahkan lewat jasa Aisha Weddings, Disna menyebut Samindo-SETARA Institute tidak mengarah ke pengungkapan tersebut. Mereka fokus pada pengungkapan pelaku lewat pelaporan delik formil. Jika unsur pidana terpenuhi, tersangka bisa ditetapkan tanpa perlu ada korban.
Melalui siaran pers, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin, menyatakan, kasus Aisha Weddings menjadi peringatan bagi semua pihak untuk lebih intensif menyosialisasikan bahwa perkawinan anak tidak boleh terjadi.
”Kasus Aisha Weddings ini menjadi tantangan bagi Kemen PPPA untuk dapat merespons cepat dan mengawal isu pencegahan perkawinan anak serta memastikan tumbuh kembang anak dapat berjalan optimal,” katanya.
Lenny menyebutkan, perkawinan anak tidak hanya berdampak negatif bagi anak dan keluarga, tetapi juga pada negara. Sebab, perkawinan anak berisiko meningkatkan angka anak putus sekolah serta anak tengkes sehingga menghambat kemajuan bangsa.
Zumrotin K Susilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan menambahkan, perkawinan anak bisa memicu terganggunya kesehatan organ reproduksi perempuan, bahkan bisa menyebabkan kanker serviks atau kanker leher rahim. Karena itu, ia mendorong pendidikan kesehatan reproduksi secara komprehensif di sekolah-sekolah.
”Namun sayang, masih banyak pihak yang menganggap pendidikan kesehatan reproduksi merupakan hal tabu sehingga materi kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah hanya dijadikan materi sisipan di satu mata pelajaran atau muatan lokal, padahal dampaknya luar biasa,” ujar Zumrotin.
Edukasi kesehatan reproduksi juga penting diberikan pada orangtua yang berperan strategis dalam mendampingi anak-anak mereka ketika beranjak dewasa, terutama saat anak baru mengalami menstruasi atau mimpi basah.
Pada 2019, angka rata-rata nasional perkawinan anak adalah 10,82 persen, tetapi angka perkawinan anak di 22 provinsi lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional tersebut. Dari 2019 ke 2020, angka perkawinan anak menurun 0,6 persen dan ditargetkan terus turun menjadi 8,74 persen pada 2024.