Usut Tuntas Penyebaran Anjuran Perkawinan Usia Anak
Kepolisian diminta mengusut tuntas penyebaran informasi dalam bentuk pamflet ataupun secara daring yang meresahkan masyarakat. Pamflet itu berisi ajakan untuk menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meminta agar kepolisian mengusut tuntas penyebaran informasi berbentuk pamflet dan secara daring berisi ajakan menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih. Peredaran informasi itu dinilai melanggar hukum karena mendorong perkawinan anak, yang bertentangan dengan undang-undang.
Selain mengusut tuntas, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Rabu (10/2/2021), juga meminta kepolisian segera menutup akun Aishaweddings.com. Sebab, dalam akun tersebut terdapat sejumlah pesan yang tidak sejalan dengan upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, terutama dalam pencegahan perkawinan anak.
Di dalam akun tersebut terdapat pesan untuk kaum muda yang tertulis antara lain: ”Semua wanita muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih”.
”Pesan ini telah menimbulkan keresahan di masyarakat dan sangat memengaruhi cara pandang kaum muda untuk terdorong melakukan nikah secara siri dan menikah di usia anak,” tutur Menteri PPPA Bintang Darmawati.
Sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas perlindungan anak, termasuk pencegahan perkawinan anak, Kementerian PPPA menilai, selain melanggar hukum, tindakan tersebut menghambat program pemerintah dalam menurunkan angka perkawinan anak yang dampaknya amat merugikan anak, keluarga, dan negara.
Pesan ini menimbulkan keresahan di masyarakat dan memengaruhi cara pandang kaum muda untuk terdorong melakukan nikah secara siri dan menikah di usia anak.
Aisha Weddings dinilai melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002 dan UU No 35/2014) dan UU Perkawinan (UU No 1/1974 dan UU No 16/2019) karena ada unsur menganjurkan perkawinan anak.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kedeputian Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Rohika Kurnia Sari menambahkan, pihak Kementerian PPPA sudah menyiapkan surat kepada Kepolisian Negara RI (Polri) terkait hal itu.
Selain mendorong kepolisian, Menteri PPPA juga mengajak jajaran kementerian/lembaga, pemerintah daerah hingga desa-desa bersama seluruh pemangku kepentingan untuk terus melakukan advokasi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak.
Semua pihak juga diminta untuk secara intensif menyuarakan ”menolak nikah siri” karena melanggar kesetaraan gender. Selain itu, juga menyuarakan ”tidak menikah di usia anak” yang merupakan pilihan sangat tepat bagi anak muda.
”Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak yang telah dirintis Kementerian PPPA sejak tahun 2019 akan terus diintensifkan hingga ke desa-desa demi kepentingan terbaik bagi anak. Kami akan terus kampanyekan bersama dengan pemangku kebijakan,” ujar Rohika.
Sementara itu, penerbit harian Kompas dalam keterangan resmi menegaskan, penyisipan brosur di lembaran harian Kompas edisi Selasa 9 Februari 2021 di wilayah tertentu dilakukan tidak sepengetahuan dan tidak seizin penerbit harian Kompas.
Penerbit harian Kompas menyesalkan kejadian tersebut dan meminta maaf atas ketidaknyaman yang dialami pembaca setia harian Kompas. Penerbit sedang menelusuri penyisipan tersebut dan mengupayakan agar kejadian seperti itu tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Indikasi TPPO
Saat dihubungi secara terpisah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah meminta polisi segera bertindak dan mengungkap kampanye yang perkawinan anak tersebut. Sebab, dilihat dari narasi yang disampaikan ke publik, kampanye tersebut bisa mengarah pada kejahatan terhadap anak, yakni tindak pidana perdagangan orang (TPPO) melalui perkawinan.
”KPAI meminta polisi membongkar secara jelas tentang cara dan tujuan indikasi adanya perdagangan orang (anak) dalam konteks ini. Di prosesnya jelas kelihatan ada unsur perekrutan dan kampanye, tentang cara dan tujuan membutuhkan kerja keras polisi untuk mencari tahu. Namun, KPAI mencium adanya aroma praktik perdagangan orang daring,” tutur Ai.
Semua pihak, terutama kepolisian, agar melihat kampanye yang mengajak anak-anak menikah melalui daring sebagai pola baru perkawinan anak karena mulai dari perekrutan dan penyediaan secara daring. Bahkan, hal itu dikhawatirkan bisa sampai pada penyelenggaraan perkawinan.
Hingga Rabu, para aktivis lembaga perlindungan perempuan dan anak mengecam adanya penyebaran informasi berisi ajakan perkawinan anak secara daring ataupun melalui brosur. Pihak kepolisian terus didesak segera bertindak dan mengusut siapa di balik kampanye tersebut.