Tanpa ada terobosan-terobosan, perekrutan satu juta guru PPPK tidak akan menyelesaikan masalah guru honorer. Terobosan kebijakan sangat dimungkinkan jika ada keberpihakan kepada mereka.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Perekrutan satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja mulai 2021 yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah guru honorer ternyata dalam praktiknya tidak sesederhana itu. Sejumlah persoalan mengganjal, berpangkal pada kurangnya keberpihakan pemerintah kepada guru honorer yang selama ini menjadi tumpuan untuk mengatasi kekurangan guru.
Di atas kertas, jumlah guru honorer di sekolah negeri yang mencapai 742.459 akan dapat mengisi kekosongan guru ASN yang tahun ini mencapai 1.090.678 orang. Hingga kini, usulan formasi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dari pemerintah daerah baru 513.393. Selain itu, di sejumlah daerah tidak ada formasi guru bahasa daerah, olahraga, dan agama.
Formasi guru agama hanya sekitar 90.000. Padahal, jumlah guru agama yang berstatus honorer, berdasarkan data Kementerian Agama, sekitar 120.000 orang. Untuk bahasa daerah, sejumlah daerah di Jawa Barat tidak mengusulkan formasi ini. Usulan formasi guru PPPK dari Jabar termasuk minim, hanya 46 persen dari total kebutuhan 159.688 guru.
Minimnya usulan formasi guru PPPK dari daerah, bahkan 58 daerah tidak mengusulkan, kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, menunjukkan ketidakpercayaan pemerintah daerah kepada janji pemerintah pusat yang menjamin alokasi anggaran untuk guru PPPK. ”Perlu ada MOU (nota kesepahaman) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ketidakpercayaan ini,” kata Syaiful, di Jakarta, Sabtu (13/3/2021).
Pemahaman pemerintah daerah masih beragam terkait jaminan anggaran tersebut. Sejumlah daerah memahami jaminan anggaran tersebut hanya untuk dua tahun. Ada pula daerah yang memahami bahwa jaminan anggaran tersebut hanya untuk gaji pokok dan tunjangan profesi guru PPPK, sedangkan tunjangan kinerja tetap ditanggung pemda.
Selain itu, ada peraturan bahwa belanja pegawai tidak boleh melebihi 50 persen APBD untuk kabupaten/kota dan tidak boleh melebihi 30 persen APBD untuk provinsi. Jaminan anggaran dari pemerintah pusat untuk guru honorer akan disalurkan ke daerah melalui dana alokasi umum, yang masuk salah satu komponen APBD.
Padahal, menurut pakar pemerintahan dari Universitas Diponegoro, Semarang, Teguh Yuwono, sejumlah daerah sudah hampir memenuhi batas tersebut. ”Di Jawa Tengah, misalnya, banyak daerah (kabupaten/kota) yang (belanja pegawainya) sudah hampir 50 persen APBD, di provinsi hampir 26 persen. Karena itu, kalau usulan pemda menyebabkan kuota tersebut terlampaui, ada kekhawatiran anggaran (untuk guru PPPK) menjadi tanggungan pemda,” kata Teguh, Minggu (14/3/2021).
Karena itu, komitmen pemerintah pusat terkait anggaran untuk guru PPPK tidak bisa hanya disosialisasikan ke daerah. Komitmen tersebut hendaknya dituangkan dalam bentuk tertulis, apakah melalui peraturan atau nota kesepahaman pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Komitmen tertulis ini juga memerinci komponen apa saja yang ditanggung pemerintah pusat.
Keberpihakan
Lebih dari itu, minimnya usulan tersebut menunjukkan kurangnya keberpihakan kepada guru honorer. Karena itu, dibutuhkan terobosan-terobosan lain yang berpihak kepada guru honorer.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN memang mensyaratkan pengangkatan ASN berdasarkan kualifikasi/kinerja, bukan pada senioritas. Namun, kasus guru honorer ini kasus khusus yang selayaknya diperlakukan secara khusus pula dalam perekrutan guru PPPK. Mereka telah berjasa pada pendidikan dan bertahun-tahun mengajar dengan honor yang rendah.
”Kalau mengikuti peraturan pasti tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Dian Puji N Simatupang, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Kerja Pengangkatan Guru dan Tenaga Kependidikan menjadi ASN Komisi X DPR dengan para pakar pemerintahan dan pakar hukum tata negara, 9 Maret 2021.
Pemerintah pernah mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer sebagai PNS. Dengan perubahan peraturan ini, hanya diperlukan kelengkapan administrasi untuk mengangkat guru honorer sebagai PNS. ”Mengapa preseden ini tidak digunakan sekarang?” katanya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, 10 Maret lalu, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan, guru PPPK tetap harus melalui proses seleksi berdasarkan amanah undang-undang dan demi menjaga kualitas guru. Untuk membantu guru honorer, pemerintah memberikan kesempatan tes hingga tiga kali dan mengeluarkan kebijakan afirmasi.
Kebijakan afirmasi tersebut diapresiasi, tetapi menurut para pakar pemerintahan dan pakar hukum tata negara, afirmasi tersebut belum mencerminkan keadilan. Guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun seharusnya mendapatkan poin lebih tinggi daripada mereka yang mengabdi kurang dari itu.
Bahkan, guru honorer yang telah memiliki sertifikat pendidik seharusnya tidak perlu tes lagi, cukup melengkapi syarat administrasi. Sertifikat pendidik merupakan bukti dan pengakuan pemerintah bahwa mereka berkompeten dalam mendidik.
Selain pembobotan berdasarkan masa pengabdian, menurut Fifiana Wisnaeni, pakar hukum tata negara dari Undip, Semarang, kompetensi dan prestasi mereka selama ini juga harus diperhitungkan dan ini bisa ditunjukkan dengan melampirkan surat rekomendasi kepala sekolah dan kepala dinas. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengikuti syarat tes yang sama dengan ASN pada umumnya.
Harus ada kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan guru honorer. Mereka, kata anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Zainuddin Maliki, telah hadir ketika negara tidak bisa hadir memberikan layanan pendidikan yang menjadi kewajiban konstitusi. Kini, saatnya negara hadir untuk menghargai pengabdian mereka.