Guru Honorer Berharap Afirmasi yang Lebih Berkeadilan
Guru honorer berharap kebijakan afirmasi dalam seleksi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang lebih berkeadilan, dengan memperhitungkan masa kerja yang telah dilampaui guru honorer.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan guru honorer mengapreasiasi kebijakan afirmasi dalam seleksi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Namun, mereka masih berharap ada afirmasi yang lebih berkeadilan dengan memperhitungkan tingkatan masa kerja guru honorer karena banyak yang telah lama mengajar, terutama guru honorer kategori dua atau K2.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan memberikan bonus nilai kompetensi teknis bagi guru honorer peserta seleksi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Bonus 75 poin atau 15 persen dari nilai maksimal 500 poin bagi mereka yang berumur minimal 40 tahun dan aktif mengajar minimal tiga tahun. Bonus 50 poin (10 persen) bagi mereka yang disabel, dan bonus 500 (100 persen) bagi yang memiliki sertifikasi pendidik.
Pengalaman merupakan suatu proksi dari mutu. Hal-hal yang tidak bisa diukur dengan tes harus dinilai. Pengalaman (mengajar) itu ada nilainya dan harus dihargai.(Nadiem Makarim)
“Pengalaman merupakan suatu proksi dari mutu. Hal-hal yang tidak bisa diukur dengan tes harus dinilai. Pengalaman (mengajar) itu ada nilainya dan harus dihargai,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR, Rabu (10/3/2021).
Selain tes kompetensi teknis, peserta seleksi guru PPPK akan mengikuti tes manajerial, sosiokultural, dan wawancara. Ujian seleksi akan diselenggarakan pada Agustus, Oktober, dan Desember 2021. Ujian seleksi pertama diperuntukkan bagi guru honorer di sekolah negeri, sedangkan ujian seleksi kedua dan ketiga terbuka untuk semua guru honorer dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Sodikin (41), guru honorer K2 di SD Negeri Cibalongsari 1, Kabupaten Karawang, Jawa Barat mengapresiasi kebijakan afirmasi tersebut. Namun, afirmasi ini belum adil guru honorer K2 yang masa kerjanya minimal 16 tahun. Dengan afirmasi yang lebih berkeadilan, Sodikin berharap masalah guru honorer K2 dapat diselesaikan dalan rekrutmen guru PPPK ini.
“Mohon afirmasi ini mengerucut untuk menyelesaikan masalah guru honorer K2, dengan mempertimbangkan juga tingkatan masa kerja. Kami ini produk pemerintah, keberadaan kami diakui pemerintah berdasarkan Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah,” kata Sodikin, Kamis (11/3).
Sri Hariyati (50), guru honorer K2 di SMP Negeri 1 Kademangan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur pun berharap ada penghargaan bagi guru honorer yang telah lama mengabdi dan belum mempunyai sertifikat pendidik. Sri memiliki sertifikat pendidik sejak 2009, tetapi tak sedikit guru honorer K2 yang belum memiliki sertifikat pendidik. “PNS yang masa kerjanya 20 tahun saja ada penghargaan dari Presiden,” kata dia.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan, guru honorer K2 merupakan utang pemerintah yang belum tuntas. Mereka seharusnya yang perlu mendapatkan prioritas afirmasi dengan memperhitungkan tingkatan masa kerja sehingga semakin lama masa kerja semakin besar pula bonus poin yang mereka dapatkan.
“Afirmasi bonus 75 poin untuk yang berusia 40 tahun ke atas dan minimal masa kerja tiga tahun tidak adil bagi guru honorer yang telah lama mengabdi. Tidak adil menyamakan mereka yang masa kerjanya 15 tahun, misalnya, dengan mereka yang masa kerjanya tiga tahun,” kata Satriwan.
Belum capai target
Satriwan juga menyoroti minimnya usulan formasi guru PPPK dari daerah. Awal Maret lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan, ada 568.238 formasi guru PPPK usulan 490 daerah, atau kurang dari 60 persen dari total kuota guru PPPK yang sebanyak 1 juta. Selain itu usulan tersebut belum mencakup semua kebutuhan guru.
“Kami mendapat aduan dari guru-guru bahasa daerah di Jawa Barat, guru bahasa daerah belum masuk dalam usulan formasi. Formasi guru agama yang mengajar di sekolah umum juga belum ada formasinya. Masih banyak daerah juga yang belum mengusulkan formasi guru PPPK,” kata Satriwan.
Nadiem mengatakan, sebanyak 58 daerah belum mengajukan formasi kebutuhan guru PPPK, 29 di antaranya di Papua dan Papua Barat. Selain itu, sebanyak 166 daerah mengusulkan kurang dari 50 persen total formasi yang dibutuhkan. Meski pemerintah sudah menjamin gaji dan tunjangan PPPK ditanggung APBN melalui Dana Alokasi Umum, masih ada daerah yang tidak yakin soal itu. Total usulan formasi setelah disesuaikan dengan data pokok pendidikan terkait kebutuhan guru sebanyak 513.393.
“Waktu kami kunjungan kerja ke daerah, sejumlah pemda masih belum percaya (anggaran untuk PPPK ditanggung APBN), mereka takut ini menjadi beban anggaran di APBD. Ini tidak bisa diselesaikan dengan sosialisasi, sosialisasi kami sudah seintensif mungkin. Daerah yang tidak mengajukan formasi merupakan daerah yang terbatas anggarannya. Butuh waktu dan proses untuk meyakinkan daerah,” kata Nadiem dalam raker dengan Komisi X.
Meskipun begitu, kata Nadiem, semua guru honorer tetap dapat mengikuti seleksi guru PPPK, ada atau tidak ada usulan formasi dari pemda. “Dengan demikian, ketika lolos tes, begitu formasi dibuka guru honorer tersebut bisa langsung masuk (mengisi formasi yang diusulkan pemda). Kami akan mengejar terpenuhinya formasi (1 juta guru PPPK) untuk tahun depan,” kata Nadiem.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi Jawa Barat Harjono mengatakan, pemerintah daerah memahami bahwa hanya gaji dan tunjangan profesional guru PPPK yang nanti akan ditanggung APBN. Sedangkan tunjangan kinerja daerah menjadi tanggungan pemerintah daerah.
“Bagi kami (Kota Cimahi) tidak ada masalah, selama ini ada insentif dari pemda untuk guru honorer, nanti tinggal mengalihkan menjadi tunjangan guru (tunjangan kinerja daerah). Karena itu kami usulan kami sesuai kebutuhan, 780 formasi,” kata dia.