Guru honorer menjadi tumpuan untuk mengatasi kekurangan guru. Mereka dituntut mendidik secara profesional, tetapi dengan honor minimal. Pandemi membuat mereka semakin terjepit antara profesionalitas dan honor yang minim.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Istilah guru honorer seharusnya tidak relevan lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan, guru adalah pendidik profesional. Namun dalam praktiknya, pendidikan masih bertumpu pada guru honorer untuk mendidik anak-anak bangsa karena jumlah pendidik profesional sangat kurang.
Berdasarkan laman statistik.data.kemdikbud.go.id Tahun Ajaran 2019/2020, jumlah guru tetap dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 1.288.336 orang (47,75 persen) dan guru tetap yayasan 420.238 orang (15,57 persen). Sementara itu, jumlah guru tidak tetap meliputi: guru bantu 564 orang (0,02 persen), guru honorer daerah 201.242 orang (7,46 persen), dan guru tidak tetap 787.823 (29,20 persen).
Proporsi guru honorer di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama lebih banyak lagi. Dari 750.771 guru di tingkat pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah, sebanyak 624.558 orang atau sekitar 83,2 persen berstatus non pegawai negeri sipil/honorer.
Dapat dikatakan jika pendidikan di Indonesia sangat bertumpu pada guru honorer. Guru honorer membantu sekali.(Satriwan Salim)
Dengan kondisi seperti itu, kata Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, dapat dikatakan jika pendidikan di Indonesia sangat bertumpu pada guru honorer. “Guru honorer membantu sekali (untuk pendidikan),” kata dia ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (21/11/2020).
Meskipun sejumlah guru honorer telah memiliki sertifikat pendidik, berdasar data Kemendikbud ada 16.655 orang belum termasuk yang di DKI Jakarta, mereka belum bisa dikatakan sebagai pendidik profesional. Satriwan mengatakan, ada empat poin untuk dikatakan pendidik profesional, yaitu kompetensi, kesejahteraan, perlindungan, dan passion (benar-benar menyukai menjadi guru).
Namun di daerah-daerah, guru honorer seringkali justru menjadi pendidik utama karena jumlah guru PNS sangat minim. Mereka direkrut untuk memenuhi kebutuhan guru karena rekrutmen guru PNS tidak sebanding dengan jumlah guru yang pensiun. Berdasar data Kemendikbud, Indonesia kekurangan 1.020.921 guru. Jika ditambah jumlah guru yang pensiun setiap tahun, pada 2024 akan kekurangan sekitar 1,3 juta guru.
Wilfridus Kado, guru honorer di sebuah SMK negeri di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, di sekolahnya hanya kepala sekolah yang berstatus PNS, para guru yang berjumlah 23 orang berstatus honorer. Mengajar sejak Januari 2017 dengan status honorer sekolah, Wilfridus menerima honor Rp 700.000 per bulan.
“Setelah lulus kuliah, saya lamar-lamar ke sekolah, kadang sekolah buka lowongan (guru). Istri saya juga begitu, melamar (menjadi guru) ke sekolah,” kata Wilfridus yang istrinya juga guru honorer di sekolah yang sama.
Sri Hariyati, guru honorer di sebuah SMP negeri di Kabupaten Blitar, Jawa Timur mengatakan, kebutuhan guru Bahasa Indonesia di sekolahnya 6-7 orang, namun saat ini hanya ada empat guru Bahasa Indonesia termasuk dirinya. Dari empat guru tersebut, satu guru saat ini sakit dan satu guru lainnya akan pensiun pada Maret 2021.
Karena jumlah guru kurang, kata Sri, jam mengajarnya pun bertambah menjadi 30 jam per minggu dari seharusnya sesuai ketentuan 24 jam per minggu. “Saya hanya dibayar Rp 105.000 per bulan untuk kelebihan mengajar enam jam per minggu,” kata Sri.
Dengan status sebagai guru honorer pemda, setiap bulan Sri mendapatkan honor Rp 1 juta, ditambah tunjangan sertifikasi guru sekitar Rp 1,5 juta per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Jumlah ini hanya setara gaji awal guru PNS golongan 3A, padahal Sri sudah 23 tahun menjadi guru honorer.
Makin terjepit
Meski tuntutan guru honor sama seperti guru PNS, tetapi dari aspek kesejahteraan masih jauh di bawah guru PNS. Honor mereka sangat kecil, terutama guru honorer sekolah. Di masa pandemi ini tuntutan mengajar semakin tinggi karena pembelajaran tidak bisa dilakukan seperti biasa.
Berdasar survei yang dilakukan Ikatan Guru Indonesia pada 2020, dari 24.835 guru honorer yang disurvei, mayoritas atau sekitar 64 persen honornya Rp 250.000-Rp 1 juta per bulan. Dalan catatan P2G, baru di DKI Jakarta yang pemberian honor kepada guru honorer mengacu upah minimum provinsi (UMP), di daerah-daerah lainnya masih di bawah UMP.
Wilfridus mengatakan, awal menjadi guru honornya Rp 400.000 per bulan. Meski kini honornya Rp 700.000 per bulan, tetap belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Jujur saja, kami dengan gaji yang ada, pulang sekolah (mengajar) harus kerja lagi, beternak dan bertani. Kalau hanya mengharapkan gaji (honor) tidak bisa mencukupi kebutuhan,” kata dia.
Di masa pandemi ini, kata Wilfridus, biaya operasional untuk mengajar bertambah karena dirinya harus mengunjungi rumah siswa untuk memberikan pembelajaran luring (di luar jaringan). Setiap kali pergi ke rumah siswa, rata-rata dia membutuhkan satu botol bensin seharga Rp 15.000 untuk bahan bakar sepeda motornya.
Agar pelajaran praktik tetap berjalan meski sekolah ditutup, dia meminta siswa datang ke rumahnya. "Saya ajak siswa praktik di rumah saya. Kalau di sekolah kan dilarang pemerintah," kata Wilfridus yang mengajar di produksi pertanian.
Wilfridus merasa beruntung karena mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Beberapa guru honorer di sekolahnya tidak mendapatkan bantuan dana BOS karena masa kerjanya belum satu tahun sehingga belum tercatat di Data Pokok Pendidikan Kemendikbud.
Meskipun begitu dia berharap bantuan subsidi upah guru honorer yang sebesar Rp 1,8 juta bisa segera cair untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional mengajar.