Pekerja Migran Perlu Pembekalan tentang Pengasuhan Anak
Penanganan anak pekerja migran yang ditinggalkan orangtuanya ke luar negeri membutuhkan perhatian khusus, Para pekerja migran perlu dibekali pemahaman tentang pengasuhan anak supaya anak-anak mereka tak telantar.
JAKARTA, KOMPAS — Pengetahuan pekerja migran Indonesia tentang pentingnya pengasuhan anak perlu ditingkatkan. Ini penting untuk memastikan hak-hak anak mereka terpenuhi.
Langkah tersebut bisa dimulai dengan pembekalan terhadap para orangtua yang menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) dengan berbagai pengetahuan terkait dengan pengasuhan anak. Pembekalan yang komprehensif soal pengasuhan anak terhadap PMI yang meninggalkan anak-anaknya di Tanah Air dilakukan sebelum pemberangkatan.
”Jadi, mereka mendapat pengetahuan, bagaimana pengasuhan anak tetap berjalan ketika mereka sudah berada di luar negeri sehingga mereka tahu bagaimana membangun komunikasi dengan anak-anaknya di Indonesia. Pembekalan ini harus disertai panduan yang rinci apa yang harus dilakukan orangtua yang menjadi PMI,” ujar Tyas Retno Wulan, pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, ketika dihubungi, Senin (8/3/2021).
Jadi, mereka mendapat pengetahuan, bagaimana pengasuhan anak tetap berjalan ketika mereka sudah berada di luar negeri sehingga mereka tahu bagaimana membangun komunikasi dengan anak-anaknya di Indonesia.
Komunikasi intens antara anak pekerja migran (APM) dan orangtuanya di luar negeri menjadi kunci agar anak-anak tidak kehilangan perhatian dari orangtuanya. Sebab, yang terjadi selama ini ketika PMI berangkat merantau ke luar negeri, anak-anak ditinggalkan kepada suami/istri atau kakek/nenek atau saudara. Setelah itu, tidak ada komunikasi di antara mereka dan pengasuhan anak pun tidak berjalan.
Minimnya pengasuhan dan perlindungan membuat sejumlah APM kekurangan gizi dan rentan menjadi korban kekerasa, baik fisik, psikis, maupun seksual. Selain minim pendidikan dan kesehatan, mereka juga kesulitan mengakses identitas kependudukan, seperti akta kelahiran, sehingga bisa mengakses berbagai program pemerintah (Kompas, 8/3/2021).
Tyas yang selama ini aktif melakukan kajian dan riset terhadap persoalan APM mengungkapkan, komunikasi dan pengasuhan jarak jauh oleh PMI terhadap anak-anaknya memang membutuhkan usaha khusus. Namun, hal tersebut sekarang memungkinkan dilakukan karena teknologi informasi sudah berkembang.
”PMI bisa memanfaatkan teknologi informasi, dan sekarang itu tidak sulit dilakukan. Mereka bisa melakukan telepon video kapan saja dengan anak-anaknya. Komunikasi tersebut akan memengaruhi situasi psikologi anaknya, setidaknya memberikan kebanggaan kepada anak bahwa orangtuanya bekerja keras di luar negeri,” ujar Tyas.
Meskipun tidak semua orangtua bisa melakukan hal tersebut karena kondisi di tempat kerja, menurut Tyas, dari penelitiannya di sejumlah negara penempatan PMI, dia menemukan ada sejumlah PMI yang mengambil waktu khusus untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Bahkan, ada PMI yang dari luar negeri meminta anaknya membaca buku, lalu menceritakan isinya pada hari berikutnya.
Selain pembekalan pada PMI, pengasuhan APM berbasis komunitas juga bisa dilakukan sehingga ada perhatian dari pemerintah dan masyarakat terhadap APM. Pemerintah desa yang memiliki APM seharusnya melakukan pemetaan profil APM, seperti apa (usia, pendidikan, jenis kelamin), termasuk persoalan yang dihadapi.
Ketika sudah tahu persoalannya, akan lebih mudah menanganinya. Akan tetapi, hal seperti itu jarang ada di desa-desa. Kalaupun ada desa yang memberikan perhatian kepada APM, itu karena sudah intervensi program dari lembaga swadaya masyarakat, atau program pemerintah. Namun, jumlah yang belum tersentuh program jauh lebih banyak.
Baca juga: Beban Berlipat Anak Pekerja Migran di Tengah Pandemi Covid-19
Sudah ada kebijakan
Dari sisi pemerintah, selain UU No 18/2017 tentang Perlindungan PMI yang mengamanatkan perlindungan PMI Bersama keluarganya, sejumlah kebijakan dan program terkait APM sudah dilakukan. Misalnya, Program Desmigratif (Desa Migran Produktif) yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, Program Bina Keluarga TKI (sekarang Bina Keluarga PMI) di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), dan Program Komunitas Keluarga Buruh Migran (KKBM) oleh Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Dari ketiga program ini, Desmigratif secara spesifik memberi perhatian khusus kepada anak pekerja migran melalui pilar pengasuhan anak. Hingga tahun 2019 sudah terbangun 204 Desmigratif, 106 Desa Penggerak Bina Keluarga TKI dan 49 KKBM. ”Namun, implementasi pola pengasuhan APM tersebut masih banyak yang bias jender dan tidak melibatkan laki-laki sebagai subyek aktif dalam pola pengasuhan. Oleh sebab itu, masih diperlukan pelembagaan pola pengasuhan yang tidak bias jender dan bebas dari stigmatisasi.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kementerian PPPA Rafail Walangitan menegaskan, pihaknya terus melakukan sosialisasi dan advokasi kepada pemerintah daerah dan pemangku kebijakan terkait dengan pemenuhan hak anak PMI, memasukkan topik pengasuhan anak dalam materi pelatihan prakeberangkatan bagi calom PMI dan keluarganya, serta menguatkan peran pemda maupun komunitas-komunitas di daerah dalam pengasuhan dan peningkatan pelayanan APM.
Kementerian PPPA juga menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 20 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Bina Keluarga TKI dan Petunjuk Teknis Penerapan Kebijakan Bina Keluarga PMI. ”BK-PMI sudah terbentuk di 13 provinsi, 65 kabupaten/kota, 95 kecamatan, 104 desa/kelurahan, serta 117 kelompok kerja. Berbagai upaya dilakukan melalui BK-PMI, seperti menyusun petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis perlindungan anak keluarga PMI, meningkatkan peran serta masyarakat untuk mengawasi pergaulan anak keluarga PMI, dan memberikan perlindungan terhadap anak keluarga PMI dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi,” ujar Rafail.
Kepala BP,2MI Benny Ramdani menyatakan pihaknya akan terus berupaya mengajak semua pihak bersinergi dan berkolaborasi untuk memberikan perlindungan PMI, termasuk keluarganya. ”Apalagi di UU 18/2027 kata disebut 30 kali itu berarti keluarga mendapat perhatian khusus. Meskipun kenyataannya sampai saat ini sekitar 95 persen pemerintah daerah belum memahami mandat dari UU 18/2017,” papar Benny.
Di tingkat daerah, seperti Jawa Timur, sebenarnya sudah memiliki regulasi terkait dengan pekerja migran bahkan telah direvisi, yakni Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2004 yang direvisi menjadi Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Namun, regulasi ini perlu diperbaiki lagi seiring terbitnya No UU 18/2017.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa beberapa waktu lalu mengatakan, perlindungan buruh migran tetap menjadi perhatian penting karena memiliki spektrum persoalan sosial yang kompleks. Bentuknya adalah memastikan anak-anak yang ditinggalkan mendapat pengasuhan, pengawasan, dan penanganan terbaik.
Di Tulungagung juga ada Peraturan Bupati Tulungagung tentang Pedoman Umum dan Penetapan Rincian Alokasi Dana Desa yang mendorong sejumlah desa mengalokasi dana khusus untuk perlindungan anak, termasuk APM, dalam bentuk unit-unit layanan. Begitu juga di Kabupaten Malang ada Perda No 7/2019 tentang PPMI dan Keluarganya.
Kabupaten Trenggalek juga menerbitkan Perda No 10/2019 tentang Kesejahteraan Sosial yang di dalamnya mengatur perlindungan buruh migran dan keluarga. ”Salah satu akar persoalan keberadaan buruh migran karena sulitnya daerah menghadirkan pekerjaan dengan upah yang layak dan berkecukupan. Bekerja di luar negeri menjadi pilihan karena harapan mendapat upah berkecukupan meski harus meninggalkan keluarga dan menanggung risiko berbahaya,” papar Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin.
Adapun di Nusa Tenggara Barat, meskipun belum ada aturan khusus terkait dengan penanganan APM, menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Provinsi NTB Husnanidiaty Nurdin, pemprov tetap memberikan perhatian terhadap APM melalui program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
”Apalagi tidak sedikit juga kasus kekerasan terjadi karena anak dititipkan, misalnya kepada nenek,” kata Husnanidiaty.
Baca juga: Agar Pulang Tidak Berujung Kecewa
Di Jawa Barat juga ada Perda No 2/2021 tentang Penyelenggaraan Pelindungan PMI Asal Jabar. Gubernur Jabar Ridwan Kamil berjanji akan segera menindaklanjuti perda tersebut ke dalam peraturan gubernur. Pergub diperlukan untuk mengatur ketentuan teknis dalam penerapan perda itu.