Agar Pulang Tidak Berujung Kecewa
Bekerja ke luar negeri tanpa berpikir matang hanya akan membahayakan masa depan. Banyak pekerja migran harus mengalami pengalaman getir karena tergesa-gesa berangkat ke luar negeri tanpa persiapan matang.
Keterbatasan membuat banyak warga Indonesia nekat bekerja sebagai pekerja migran. Namun, tanpa pendampingan ideal, para pekerja migran itu dibayangi masa depan yang tidak jelas saat pulang kembali ke Tanah Air.
Setelah setahun lebih meninggalkan keluarga, kini Kusniawati (40) menghabiskan hari-hari bersama dua buah hatinya. Namun, tidak bekerja, giliran penghasilannya yang kini pergi.
Kusniawati berangkat ke Hong Kong pada 2019 sebagai pekerja rumah tangga dan pengurus orang jompo. Namun, belum sampai dua tahun kontrak, ia dipulangkan pada Februari 2020. Itu keputusan majikannya. Kusniawati paham karena Covid-19 mulai menyebar ke sejumlah negara.
Biaya pesawat kembali ke Indonesia ditanggung berdua bersama majikan.
”Laka apa-apa balike. Sing penting selamat tekang ning umah (Saya enggak bawa apa-apa pulang, yang penting selamat sampai di rumah),” ucapnya saat ditemui di Desa Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (4/3/2021).
Masa kerja Kusniawati di negeri orang memang belum mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Gajinya sekitar Rp 6 juta per bulan masih harus dipotong selama tujuh bulan demi melunasi biaya keberangkatannya. Berapa potongannya, ia tak mengerti.
Apalagi, suaminya yang bekerja serabutan mengalami kecelakaan lalu lintas. Sisa gajinya digunakan untuk mengobati suaminya. Warung kecil-kecilan di teras rumahnya juga hanya bisa untuk jajan anaknya.
Kalau beli beras, enggak bisa. Apalagi, beli kuota internet anak. (Kusniawati)
”Kalau beli beras, enggak bisa. Apalagi, beli kuota internet anak,” ucap Kusniawati, yang mengaku tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah.
Beruntung, Migrant Care bersama Save the Children memiliki program Skema Perlindungan Sosial untuk Pekerja Migran Indonesia melalui Universal Child Benefits (UCBs). Bantuan berupa Rp 450.000 per bulan itu diberikan untuk setiap anak PMI yang pulang selama pandemi.
Bantuan diberikan tiga kali selama November-Desember 2020 kepada anak di bawah usia 11 tahun. Kusniawati menikmati bantuan itu untuk dua anaknya. Mereka adalah Fatih Muhamad Nur (9) dan Gani El Faribi (5).
”Selain menambah biaya pengobatan suami yang enggak punya BPJS, bantuan itu juga untuk beli susu, kuota, dan buku sekolah,” katanya.
Setiap bulan, lanjutnya, kebutuhan kuota internet sekitar Rp 100.000-Rp 150.000. Adapun biaya susu anaknya sekitar Rp 100.000 per bulan.
Meskipun tidak lagi menikmati gaji jutaan rupiah per bulan, Kusniawati bersyukur bisa pulang kampung di tengah pandemi. Kini, ia bisa mendampingi suami dan mengurus ibunya yang tak lagi mampu berjalan.
”Enakan di rumah, bisa pantau langsung perkembangan anak. Kalau di sana (Hong Kong), enggak bisa. Anak saya bilang, jangan pergi. Enggak enak kalau enggak ada mimi (mama),” ungkapnya. Kusniawati ingin menyaksikan pertumbuhan anaknya hingga ke pendidikan tinggi. Tidak seperti dirinya yang lulusan SMP.
Baca juga: Akar Masalah Anak Pekerja Migran yang Telantar
Terdampak pandemi
Ismail (35), pekerja migran asal Juntinyuat, juga harus pulang kampung Mei 2020 karena kehilangan pekerjaan. Pabrik benang, termpatnya bekerja lima tahun terakhir di Taiwan, bangkrut saat pandemi. Gaji sekitar Rp 8 juta per bulan lenyap seketika. Tabungannya bertahun-tahun menjelma rumah berkeramik.
Bapak dua anak ini kini menganggur dan hidup dari kiriman istrinya yang menjadi pekerja migran di Taiwan empat tahun terakhir. Anak pertamanya yang duduk di bangku kelas VI SD membutuhkan kuota internet. ”Kalau anak yang baru TK harus beli seragam dan lainnya sekitar Rp 500.000,” katanya.
Sama dengan Kusniawati, Ismail juga menerima bantuan dari Migrant Care dan Save the Children untuk dua anaknya. ”Lumayan, bisa beli kuota, susu, dan vitamin. Jangan sampai anak terserang penyakit. Apalagi, ada korona,” ucapnya.
Meski tak lagi memiliki gaji, Ismail tetap bahagia bisa bertemu buah hatinya. Ia pergi saat kedua anaknya saat masih berusia 6 tahun dan 1 tahun. Peran orangtua digantikan oleh sang nenek. Soal komunikasi, ada telepon video. Untuk tumbuh kembang anak, nenek yang paling paham.
”Waktu pulang, anak pertama saya sudah berubah. Dulu, kalau ke mana-mana dia pasti pengin ikut. Sekarang katanya malu. Dia di kamar main HP (gawai) aja. Enggak mau ketemu orang baru,” ungkap Ismail, yang masih berpikir-pikir ke luar negeri lagi.
Pastinya, ia dan Kusnawati tak lagi jadi tulang punggung keluarga. ”Semoga ada bantuan untuk anak lagi. Kalau bisa, ada yang bagi ilmu soal ngatur uang. Jadi, pulang dari luar negeri saya punya usaha,” ujar Ismail.
Diana, enumerator program UCBs, mengatakan, bantuan anak PMI diberikan di Kecamatan Juntinyuat. Di daerah itu terdata 255 anak di bawah 11 tahun yang orangtuanya baru pulang dari luar negeri. ”Banyak yang berpikir kalau PMI pulang bawa duit, padahal tidak. Mereka yang kembali ini terdampak pandemi,” katanya.
Menurut Diana, sekitar 80 persen dari bantuan tersebut digunakan untuk kebutuhan anak, seperti makanan bergizi hingga kuota internet sekolah. Selebihnya, boleh dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga, seperti bayar listrik dan air. Ia belum tahu apakah program itu bakal berlanjut atau tidak.
Diana menilai, anak PMI juga membutuhkan ruang pengembangan diri berkelanjutan selama orangtuanya di luar negeri. ”Dulu, ada program Pemkab Indramayu dan pemerintah pusat yang menyediakan rumah untuk belajar bersama, seperti bahasa Inggris. Tapi, cuma jalan setahun karena programnya juga selesai,” katanya.
Pikirkan ulang
Pendampingan mutlak diberikan. Bila dibiarkan, hanya akan memutar kisah ulang yang sama bagi generasi selanjutnya. Wiwin Wantini (48), warga Desa Cipaku, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, tidak ingin orang-orang di sekitarnya merasakan pilu yang sama seperti dia. Bekerja ke luar negeri tanpa berpikir matang hanya akan membahayakan masa depan.
Wiwin berkisah sempat menyesal bekerja di luar negeri. Demi mencari uang keluarganya berantakan. Saat bekerja di Singapura periode 2012-2015, suaminya kawin lagi. Anaknya terpaksa menikah muda.
”Saya kaget ternyata anak menikah saat sekolahnya belum selesai. Padahal, saya kerja di luar negeri agar bisa menyekolahlan anak setinggi-tingginya,” ujar Wiwin lirih saat ditemui, Jumat (5/3/2021).
Wiwin bukan pertama kali menjadi pekerja di negeri orang. Sebelumnya, sekitar tahun 2005, dia pernah mengadu nasib sebagai PMI dan ditempatkan di Arab Saudi. Di sana, selama empat tahun Wiwin menjadi pekerja ilegal karena kabur dari majikannya.
”Waktu itu saya tidak suka dengan perlakuan majikan saya, terlalu keras, dan tidak baik. Saya bahkan sempat mau ditawarkan kepada teman-temannya. Karena itu, saya kabur. Namun, waktu itu keluarga tidak ada masalah, karena itu saya rasa menjadi PMI lagi tidak masalah,” ujarnya.
Pernah jadi korban, Wiwin kini aktif bersuara. Dia menyuarakannya bersama Bale Istri, program pendampingan perempuan Sapa Institute, sejak tahun 2017. Sapa adalah organisasi yang fokus pada isu kekerasan dan pemenuhan hak terhadap perempuan dan anak.
Aktivitasnya beragam, mulai dari meminta warga Cipaku lainnya berpikir ulang sebelum jadi PMI. Dia juga meminta mereka selektif memilih agen penyalur. Tidak jarang, ia meminta warga membatalkan keberangkatan karena masih menggunakan jasa calo ilegal.
”Di Desa Cipaku ini ada lebih dari 200 PMI dan eks PMI yang bergabung. Kebanyakan dari mereka mengalami permasalahan keluarga. Karena itu, saya sering mengingatkan kaum ibu, terutama yang masih muda, untuk memikirkan matang-matang jika ingin bekerja ke luar negeri,” ujar Wiwin, yang kini menjadi koordinator Bale Istri.
Koordinator Pendamping Kasus Sapa Institute Sugih Hartini menuturkan, Desa Cipaku bisa dikatakan sebagai kantong PMI di Kabupaten Bandung. ”Minimal 1-2 orang yang berangkat ke luar negeri dalam sebulan,” ujarnya.
Pelaku dan korban
Sugih menuturkan, anak menjadi korban utama saat keluarga berantakan karena orangtua meninggalkan mereka tanpa persiapan. Persiapan di sini tidak hanya terkait materi, tetapi juga tanggung jawab bersama dalam mengasuh para anak.
Sejauh ini, tutur Sugih, baru ada dua kasus terkait pernikahan anak yang kami tangani. Tapi ada banyak orangtua yang membiarkannya. Alasannya, hal tersebut sudah telanjur terjadi sehingga hanya bisa pasrah.
”Ada 45 laporan yang masuk ke kami tahun 2020 kemarin dari PMI. Kebanyakan berupa upah yang tidak layak hingga sakit di luar negeri. Namun, sedikit sekali orang yang mengadu terkait pernikahan dini dari anak yang ditinggalkan. Padahal, jika dilihat lebih dalam lagi, hampir semua PMI di sini memiliki permasalahan keluarga serupa,” ujarnya.
Bahkan, anak yang tidak mendapat perhatian bisa menjadi pelaku kejahatan. Karena itu, dia berharap ada pendampingan, tidak hanya kepada para calon PMI tetapi juga keluarga yang ditinggalkan.
Baca juga: Anak Pekerja Migran Masih Terabaikan
”Saya pernah mengurus kasus kekerasan perempuan dan ternyata pelaku adalah anak dari PMI yang ditinggalkan. Jika dilihat lebih jauh lagi, anak laki-laki ini juga dianggap sebagai korban dari keluarga yang tidak perhatian. Karena itu, pendampingan menjadi penting untuk menghindari kejadian serupa terulang,” paparnya.