Akar Masalah Anak Pekerja Migran yang Terlantar
Persoalan anak pekerja migran yang terlantar dapat diatasi dengan meminimalisir jumlah orang tua yang memilih bekerja di negara lain.
Anak pekerja migran rentan ditelantarkan oleh orang tuanya yang mengadu nasib di negara lain. Penanganan komprehensif dari pemerintah diperlukan dengan mempertimbangkan akar masalah keberadaan pekerja migran.
Indonesia menempati urutan kedua di Asia Tenggara sebagai negara terbanyak pengirim pekerja migran. Berdasarkan data Bank Indonesia dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, jumlah pekerja migran Indonesia di 2020 mencapai 3,19 juta orang. Banyaknya jumlah tenaga kerja migran ini memberikan efek domino munculnya permasalahan lain, yakni anak pekerja migran yang terlantar.
Mereka adalah anak berusia kurang dari 18 tahun yang ibu, ayah, atau kedua orangtuanya bekerja di luar negeri dan rentan ditelantarkan. Sebab, mereka kemudian diasuh oleh salah satu sosok orang tua (ayah saja atau ibu saja) atau oleh kerabat orang tuanya (paman, bibi, kakek, atau nenek).
Para anak pekerja migran ini rentan ditelantarkan karena berbagai hal. Umumnya, pengasuh (kakek-nenek atau kerabat lain) memiliki permasalahan ekonomi dan keterbatasan akses pendidikan serta kesehatan. Belum lagi, orang tua tunggal atau pengasuh tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai pola asuh dan cara mendidik anak.
Hal pertama yang perlu diperhatikan untuk permasalahan ini bukanlah mencari cara untuk menjamin kehidupan layak bagi anak pekerja migran yang ditinggal orang tuanya bekerja. Akan tetapi, menyoroti banyaknya masyarakat yang memilih untuk bekerja jauh dari keluarganya hingga ke luar negeri.
Mengirim tenaga kerja ke luar negeri sudah menjadi bagian sejarah bangsa ini. Sebelum Indonesia merdeka, migrasi tenaga kerja Indonesia dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menempatkan buruh kontrak ke negara Suriname, Amerika Selatan yang merupakan daerah jajahan mereka.
Saat itu tercatat, ada 32.986 tenaga kerja dikirim ke Suriname menggunakan 77 kapal laut. Padahal letak Suriname sangat jauh dari Indonesia, di benua Amerika bagian Selatan dekat negara-negara Amerika latin.
Pemerintah Belanda mengirim sejumlah besar kuli kontrak asal Jawa, Madura, Sunda, dan Batak untuk dipekerjakan di perkebunan di sana. Dipilihnya tenaga kerja yang mayoritas asal Jawa adalah karena rendahnya tingkat perekonomian penduduk pribumi akibat meletusnya Gunung Merapi dan padatnya penduduk di Pulau Jawa saat itu.
Tujuan pengiriman warga Hindia Belanda ini untuk menggantikan tugas para budak asal Afrika yang telah dibebaskan pada 1 Juli 1863 setelah munculnya politik penghapusan perbudakan. Kebijakan tersebut membuat para budak bebas memilih lapangan kerja serta beralih profesi.
Setelah Indonesia merdeka hingga akhir 1960-an, penempatan tenaga kerja ke luar negeri belum melibatkan pemerintah, tapi dilakukan secara orang per orang, kekerabatan, dan bersifat tradisional. Negara tujuan utamanya adalah Malaysia dan Arab Saudi yang berdasarkan hubungan agama (haji) serta lintas batas antarnegara.
Untuk Arab Saudi, para pekerja Indonesia pada umumnya dibawa oleh warga yang mengurusi orang naik haji (umroh) atau orang Indonesia yang sudah lama tinggal menetap di Arab Saudi. Sedangkan warga negara Indonesia yang bekerja di Malaysia, sebagian besar datang begitu saja ke wilayah Malaysia sering tanpa membawa surat dokumen apa pun, karena memang sejak dahulu telah terjadi lintas batas tradisional antara dua negara tersebut.
Pada masa awal kemerdekaan hingga awal Orde Baru, pemerintah membentuk Kementerian Perburuhan hingga Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi. Namun pengaturan tentang tenaga kerja di luar negeri baru terpantau pada 1970, saat penempatan tenaga kerja diatur oleh pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi.
Penempatan ini dilakukan melalui program Antarkerja Antardaerah (AKAD) dan Antarkerja Antarnegara (AKAN). Sejak itulah penempatan TKI ke luar negeri melibatkan pihak swasta (perusahaan pengerah jasa TKI atau pelaksana penempatan TKI swasta).
Lapangan kerja
Jika dilihat dari segi wilayah, Pulau Jawa menjadi pengirim pekerja migran secara formal terbanyak. Tercatat, Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mengirimkan lebih dari 50 ribu pekerja migran. Jika dijumlahkan, ketiga provinsi tersebut telah menyumbang 187.129 pekerja migran pada 2019.
Jika dilihat dari tingkat kabupaten/kota, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat menjadi penyumbang tenaga migran terbanyak yaitu 23.260 orang. Di posisi kedua tercatat Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat mengirim 12.284 pekerja migran. Sementara posisi ketiga Kabupaten Cirebon dengan jumlah 12.188 pekerja migran.
Untuk memahami fenomena daerah-daerah penyumbang pekerja migran terbanyak ini, petunjuk awal dapat ditemukan dalam indikator sosial-ekonomi di tiga kabupaten tersebut. Dari PDRB per kapita tahun 2019, ketiga kabupaten tersebut memiliki selisih angka yang cukup jauh dari PDRB nasional di tahun yang sama yaitu sebesar Rp 40,84 juta.
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah menyoroti banyaknya masyarakat yang memilih untuk bekerja jauh dari keluarganya hingga ke luar negeri
Untuk PDRB per kapita 2019, Kabupaten Indramayu mencapai Rp 34,8 juta, Kabupaten Cirebon Rp 33,72 juta rupiah, dan paling kecil dari ketiganya Kabupaten Lombok Timur hanya Rp 12,01 juta rupiah.
Rendahnya PDRB per kapita dapat menggambarkan kurangnya kabupaten tersebut dalam memanfaatkan potensi daerah, membuka pintu investasi, serta kemampuan menyerap tenaga kerja. Sangat mungkin tingginya tenaga kerja yang keluar dari daerah tersebut dipicu rendahnya upah minimum yang berlaku.
Kabupaten Indramayu dan Cirebon memiliki 50 persen upah minimum lebih rendah daripada kabupaten/kota di provinsi yang sama. Upah minimum Kabupaten Indramayu hanya sebesar Rp 2,12 juta bandingkan di Kabupaten Karawang yang dapat mencapai Rp 4,23 juta. Begitu juga di Kabupaten Cirebon yang hanya Rp 2,02 juta. Oleh sebab itu, masuk akal jika tenaga kerja di sana lebih memilih mengadu nasib di tempat lain.
Ironisnya, para tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri ini mayoritas bekerja sebagai buruh kasar. Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan, sekitar 50 persen tenaga kerja yang dikirim, mengisi sektor pekerjaan domestik, seperti asisten rumah tangga, petugas keamanan rumah, supir, dan tukang kebun. Posisi pekerjaan seperti itu sangat rentan dengan tindakan kekerasan, diskriminasi, eksploitasi di tempat kerja hingga phk.
Upaya
Tentu bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah, terutama BP2MI untuk menangani persoalan pekerja migran. Saat ini, BP2MI masih berfokus dalam upaya pelindungan pekerja migran Indonesia melalui program memerangi sindikasi pengiriman pekerja migran Indonesia nonprosedural/pekerja migran informal. Sasarannya, meningkatnya pelindungan dan kesejahteraan pekerja migran dan keluarganya, serta meningkatnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Persoalan ini tentu juga harus diperhatikan pemerintah daerah terkait, terutama daerah yang sudah langganan tahun ke tahun mengirim pekerja migran. Lagi-lagi, permasalahan ini tidak jauh dari kurangnya lapangan pekerjaan dan jaminan memperoleh kehidupan memadai di daerah asal. Diharapkan, dengan sinergi antara pemerintah pusat, BP2MI, serta pemerintah daerah, permasalahan pekerja migran dapat teratasi.
Dengan begitu, persoalan anak pekerja migran yang terlantar dapat diatasi dengan meminimalisir jumlah orang tua yang memilih bekerja di negara lain. Sebab, tidak ada penanganan masalah yang lebih baik selain mengatasi dari akarnya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Anak Pekerja Migran Masih Terabaikan