Nasib anak-anak pekerja migran kerapkali terabaikan. Selain kurang mendapat pengasuhan yang layak, mereka rentan mengalami gangguan tumbuh kembang, kekerasan, dan terganggu pendidikannya.
Oleh
Tim Kompas
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Meski menghasilkan devisa besar bagi negara, situasi pekerja migran Indonesia diwarnai berbagai persoalan. Keputusan bekerja di luar negeri membuat mereka meninggalkan keluarga selama bertahun-tahun. Akibatnya, pengasuhan anak-anak pekerja migran terabaikan sehingga mengancam tumbuh kembang dan masa depan anak-anak tersebut.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) tahun 2020 mencatat, ada 113.173 pekerja migran Indonesia, terdiri dari 36.784 orang (PMI yang bekerja di sektor formal) dan 76.389 orang (PMI informal). Lebih dari setengah adalah penempatan PMI Informal, dengan komposisi 22.673 orang (laki-laki) dan 90.500 orang (perempuan). Adapun, dari status perkawinan sebanyak 49.898 orang (menikah), 41.139 orang (belum menikah) dan 22.136 orang (cerai).
Meski tak semua pekerja migran Indonesia (PMI) memiliki persoalan sama, sejumlah anak pekerja migran (APM) yang ditinggalkan orangtua tidak mendapat pengasuhan yang layak seperti anak-anak lain. Hingga kini tidak ada data pasti jumlah APM yang ditinggalkan orangtuanya bekerja sebagai pekerja migran. Padahal, data amat penting sebagai dasar pengambilan kebijakan perlindungan terhadap anak pekerja migran.
Minimnya pengasuhan dan perlindungan membuat sejumlah APM, kurang gizi, serta rentan jadi korban kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual. Selain terkendala mengakses layanan pendidikan dan kesehatan, mereka kesulitan mengakses identitas kependudukan, seperti akta lahir sehingga bisa mengakses berbagai program pemerintah.
Menurut penelusuran Kompas, di sejumlah daerah yang jadi kantong-kantong pengiriman PMI, selain pendidikan terganggunya, bahkan putus sekolah, sejumlah anak pekerja migran yang tidak mendapat pengasuhan dari orangtua lalu menjadi pekerja anak, korban perkawinan anak, serta rentan menjadi korban perdagangan orang.
Perkembangan psikososial anak-anak pun terganggu. Sejumlah -anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan, atau dilahirkan di luar negeri mendapat stigmatisasi buruk, bahkan perundungan dari masyarakat. Berbagai label negatif dilekatkan pada anak-anak tersebut, dengan sejumlah sebutan termasuk stigmatisasi sebagai anak-anak yang tidak diinginkan.
Anak-anak yang mengalami perundungan dan stigmatisasi cenderung menjadi pendiam dan menghindari pergaulan. Sementara anak yang tumbuh tanpa pengasuhan orang tua lengkap kerap bertindak hiperaktif dan berusaha mencari perhatian hingga bermasalah dengan hukum.
Pengasuhan tak adil jender
Situasi buruk dihadapi anak-anak pekerja migran, terutama saat yang berangkat adalah kedua orangtuanya atau hanya ibunya yang bekerja sebagai PMI. Ketika ibunya saja yang berangkat, sang ayah sering melimpahkan pengasuhan anak-anak dilimpahkan kepada kakek dan nenek, atau dititipkan pada keluarga terdekat seperti kakak atau bibi/paman.
“ Ini terjadi karena pengasuhan anak belum memiliki perspektif adil jender yang membagi kesempatan pengasuhan sama pada orangtua laki-laki maupun perempuan. Tapi yang terjadi selama ini meloncat. Karena kalau berangkat ayahnya, otomatis yang mengasuh ibunya. Tapi kalau yang pergi ibunya yang mengasuh anak-anak adalah neneknya,” ujar Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migran Care, di Jakarta, Sabtu (6/3/2021).
Padahal, nenek atau kakeknya merupakan kelompok rentan, apalagi yang sudah lanjut usia (lansia). Hal ini semakin menjadi persoalan, karena mayoritas pekerja migran Indonesia yang berangkat ke luar negeri adalah perempuan atau ibu.
Karena kalau berangkat ayahnya, otomatis yang mengasuh ibunya. Tapi kalau yang pergi ibunya yang mengasuh anak-anak adalah neneknya.
Situasi berbeda ketika yang berangkat menjadi PMI adalah ayah. Meski menjadi orangtua tunggal pengasuhan anak tetap dilakukan ibu, seperti yang dijalani Nurmayani (30), warga Desa Pandan Wangi (Pandawa), Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dia merawat sendiri dua anaknya, Nita Hartini (10) dan Muhammad Zain yang berusia 18 tahun.
Dia juga mendampingi anaknya saat mengalami perundungan. “Misalnya kalau ada yang bilang anak saya tidak disayang bapak, saya selalu berusaha meyakinkan dia bahwa itu tidak benar. Bapaknya bekerja ke Malaysia untuk dia,” kata Nurmayani.
Minimnya pengasuhan dan perlindungan pada anak PMI, menjadi fenomena di sejumlah daerah yang menjadi kantong-kantong pekerja migran, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bahkan, di Desa Pandawa misalnya, Kompas menemukan ada empat APM sekaligus termasuk yang berusia di bawah tiga tahun, yang diasuh neneknya, karena orangtuanya menjadi PMI di Malaysia dan Saudi Arabia.
Di desa tersebut pada tahun 2018 saja, terdapat 425 APM. Selain diasuh oleh nenek/kakek, sebagian tidak memiliki akta lahir dan tidak masuk kartu keluarga (KK) karena orangtuanya sudah lama menjadi PMI. Akibatnya, tidak bisa mengakses program bantuan sosial pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan layanan lainnya.
“Setidaknya ada empat persoalan APM yang kami temukan yakni pengasuhan, pendidikan, dokumen kependudukan, dan rentan kekerasan,” ujar Suharti, Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai), lembaga swadaya masyarakat yang sejak 2016 mendampingi sekitar 2.200 APM di Lombok Timur dan Lombok Tengah.
Situasi anak pekerja migran yang bermasalah juga terjadi di NTT. Misalnya, di Sumba Barat Daya, hampir 500 anak PMI yang tersebar di delapan desa sempat terganggu sekolahnya. Sebagian dari APM yang lahir di Malaysia dibawa pulang ke desa tidak memiliki kartu keluarga, dan tidak punya surat baptis sebagai syarat masuk sekolah.
“ Kami ingin menjadi anak-anak yang berguna untuk diri, dan masyarakat sekitar di kemudian hari,” ujar Aloysius Bole Ngongo (13), salah satu APM yang lahir di Malaysia, yang mendapat pendampingan dari Komunitas, Umma Pande (Rumah Pintar) di Sumba Barat Daya.
Perlindungan keluarga
Kepala BP2MI Benny Ramdhani menegaskan Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI sebenarnya sudah progresif, karena mengamatkan perlindungan PMI beserta keluarganya, sebagai tanggung jawab bersama pemerintah di tingkat desa hingga pusat. Cakupan perlindungan dalam aspek hukum, sosial, dan ekonomi pada sebelum, selama, dan setelah penempatan.
“ UU 18/2017 sudah terbit tiga tahun, namun peningkatan kesadaran semua pihak akan tugas pelindungan PMI dan keluarganya masih perlu dilakukan. Kami terus mensosialisasikan kepada kementerian/lembaga dan pemda, melakukan kerjasama dan mendorong kebijakan yang melindungi PMI dan keluarganya,” ujar Benny.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Rafail Walangitan mengungkapkan kurangnya pengasuhan APM disebabnya sejumlah faktor.
Selama ini, sejumlah APM yang ditinggalkan orangtuanya hanya mendapatkan perhatian secara finansial, sedangkan aspek sosial dan psikologis kurang diperhatikan. “Anak-anak yang kehilangan sosok orangtuanya, tak percaya diri dan seringkali pesimistis dengan kemampuan dirinya,"ujarnya.
Pendidikan mereka pun terabaikan, rentan terlambat disekolahkan walaupun usianya menginjak usia sekolah, prestasi di sekolah menurun, dan tidak jarang putus sekolah, serta mudah terpengaruh hal-hal negatif,” ujar Rafail.
Terkait situasi anak pekerja migran, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menyatakan persoalannya bisa dipetakan dalam berbagai hal terutama aspek yang terganggu (meskipun tidak semua) di bidang pendidikan dan psikososial karena kurangnya perhatian orangtua, bahkan terancam putus sekolah.
“ Ada anak-anak yang mendapat stigma kurang positif sebagai anak PMI sehingga menjadi masalah psikososial, bahkan ada anak PMI yang kadang menyembunyikan pekerjaan ibunya sebagai PMI karena pekerjaan ibunya sebagai pekerja rumah tangga,” kata Ai. (ZAK/IKI/MEL/KOR/TAM/BRO/ETA/SON)