Kendati menghadapi berbagai persoalan, keberadaan anak-anak dari pekerja migran hingga kini sering luput dari perhatian pemerintah. Mereka tidak mendapatkan pengasuhan yang baik dan rentan dari berbagai kekerasan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah bersama pemangku kebijakan perlu memberikan perhatian terhadap situasi dan kondisi anak-anak pekerja migran di daerah-daerah yang menjadi kantong pekerja migran. Kolaborasi berbagai pihak dalam meningkatkan pengasuhan terhadap anak-anak pekerja migran yang ditinggal bertahun-tahun oleh orangtua menjadi penting demi menyelamatkan masa depan anak-anak tersebut.
Buruknya pengasuhan terhadap anak-anak pekerja migran berdampak besar dalam tumbuh kembang anak-anak itu. Selain tereksklusi atau ada jarak dengan lingkungan sosialnya dan berbagai stigma negatif anak-anak pekerja migran yang diasuh oleh orang lain (seperti dititipkan kepada keluarga dekat, kakek/nenek), mereka juga tumbuh tanpa pengawasan sehingga rentan berhadapan dengan berbagai persoalan.
Hal ini terungkap dalam dialog ”Jejak Langkah Gerakan Inklusi Sosial Anak Pekerja Migran di Indonesia” yang diselenggarakan Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur, Selasa (20/10/2020), secara daring. Pada akhir dialog diluncurkan Modul Pengasuhan Anak Pekerja Migran Berbasis Budaya.
Gerakan Inklusi Sosial Anak Pekerja Migran merupakan bagian dari Program Peduli yang mulai diimplementasikan sejak 2014 atas dukungan dari pihak Pemerintah Australia melalui The Asia Foundation (TAF) yang fokus pada pendampingan kelompok-kelompok yang termarjinalkan di Indonesia dengan berbagai latar belakang penyebabnya. Selama lima tahun terakhir, Program Peduli terhadap anak pekerja migran dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Direktur LPKP Jatim Anwar Sholihin mengungkapkan, selama ini anak pekerja migran tidak banyak mendapat perhatian, bahkan dianggap tidak ada persoalan. Namun, saat Program Peduli masuk di kantong-kantong pekerja migran dan melakukan pemetaan masalah, mereka menemukan berbagai persoalan yang terkait dengan anak-anak pekerja migran yang ditinggalkan orangtuanya.
Bahkan, hasil analisis LPKP dan organisasi masyarakat sipil di tingkat daerah menemukan persoalan anak pekerja migran yang sangat kompleks. ”Persoalan anak pekerja migran tidak seperti yang dibayangkan masyarakat bahwa anak pekerja migran itu, kan, sudah enak hidupnya karena bapak atau ibunya merantau, duitnya banyak,” ujar Manajer Program Peduli LPKP Sutiah.
Temuan di lapangan, anak-anak pekerja migran (mulai dari usia bawah lima tahun sampai 18 tahun) tumbuh dengan stigma negatif yang berdampak pada praktik diskriminasi. Pengasuhan umumnya dilakukan oleh kakek/nenek yang kondisi ekonominya terbatas sehingga mengalami penelantaran dan minim pengasuhan. Kondisi tersebut membuat anak-anak pekerja migran rentan dari berbagai kekerasan, perlakuan salah, dan eksploitasi.
Pengasuhan yang buruk juga membuat anak-anak salah pergaulan, bahkan beberapa anak mengalami kehamilan di usia muda dan menjadi korban perkawinan anak, termasuk praktik aborsi ilegal. Beberapa anak pekerja migran juga berhadapan dengan hukum karena terlibat berbagai kasus.
Di sisi lain, sejumlah anak pekerja migran yang ditinggal orangtuanya bekerja di luar negeri juga bermasalah dalam administrasi kependudukan karena tidak terdata dalam daftar kartu keluarga yang mengasuhnya. Selain pendidikan terbatas, akses ke layanan bantuan sosial juga terbatas.
Membuka mata banyak pihak
Dari berbagai situasi anak-anak pekerja migran itulah, Gerakan Inklusi Sosial Anak pekerja Migran masuk ke kantong-kantong pekerja migran di empat provinsi bersama pemerintah desa, memberikan penguatan kepada warga setempat, dan pendampingan terhadap anak-anak pekerja migran.
”Program ini membuka mata dari yang tadinya tidak kelihatan menjadi kelihatan, bahkan mereka terkejut ketika tahu ada persoalan yang mereka hadapi. Beberapa desa akhirnya siap membuat peraturan desa terkait pemenuhan hak anak pekerja migran,” kata Anwar.
Program terhadap anak pekerja migran mendapat apresiasi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Bito Wikantosa menyatakan, anak-anak pekerja migran juga menjadi bagian dari perhatian kementeriannya.
Sandra Hamid, Country Representative The Asia Foundation, menyampaikan apreasiasi kepada LPKP dan organisasi masyarakat sipil serta semua pihak yang terlibat dalam Gerakan Inklusi Sosial Anak Pekerja Migran. ”Kami berharap Program Peduli bisa direplikasi dan diselaraskan dengan program pemerintah sehingga semua anak pekerja migran di Indonesia terpenuhi haknya dan meraih cita-citanya,” katanya.
Dialog dan peluncuran Modul Pengasuhan Anak Pekerja Migran Berbasis Budaya juga dihadiri Aedhan Whyatt (DFAT) dan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar serta Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak.