Pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan yang menghancurkan hidup korban, merendahkan martabat korban, hingga meninggalkan luka dan trauma sepanjang hayat. Hingga kini, masih banyak korban tidak mendapat keadilan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor/Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Sejak pekan lalu, grup media sosial para perempuan aktivis dan perlindungan anak dipenuhi komentar yang menyesalkan dan mempertanyakan pernyataaan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD tentang restorative justice (keadilan restoratif) yang menggunakan contoh pemerkosaan. Pernyataan tersebut dinilai tidak berpihak pada upaya-upaya untuk memberikan penguatan pengaturan hak korban pemerkosaan ataupun kekerasan seksual.
Para aktivis menilai, pernyataan Mahfud saat menjadi pembicara dalam acara Rapim Polri, Selasa (16/2/2021), yang dimuat di sejumlah media, tidak pas dan tidak sejalan dengan perspektif perlindungan korban. Itu terkait pernyataan bahwa pendekatan keadilan restoratif tidak bicara bahwa si pemerkosa harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum, tetapi soal membangun harmoni agar antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat tidak gaduh.
Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Mahfud meluruskan pernyataan tersebut. Dalam pernyataan sikap yang disampaikan, Kamis (18/2/2021), Liza Farihah (Direktur Eksekutif LeIP), Dio Ashar (Direktur Eksekutif IJRS), dan Maidina Rahmawati (Peneliti ICJR) menegaskan, keadilan restoratif bukan soal membungkam hak korban untuk mendapatkan harmoni semu di masyarakat.
Pemerkosa ya harus diseret ke pengadilan. Restorative justice perlu tetap diambil nilai moralnya saja, yakni membangun harmoni dan tidak mempermalukan korban. (Mahfudz MD)
Ketiga aktivis tersebut menilai keadilan restoratif hadir sejalan dengan gerakan penguatan hak korban. Titik sentralnya adalah menyelaraskan pemulihan korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku, untuk mencapai harmoni agar penyelesaian sengketa tersebut bersifat memulihkan atau restoratif.
Pada kasus pemerkosaan, keadilan restoratif dapat saja diterapkan. Namun, tetap yang menjadi titik sentral yang harus diperjuangkan, yaitu mendengarkan dan memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugiannya. Tak kalah utama adalah membuat pelaku menyadari perbuatannya dan memahami dampak dari perbuatan yang dilakukannya, untuk kemudian menyelaraskan pertanggungjawaban pelaku untuk bisa berdampak positif bagi pemulihan korban.
Pernyataan ini juga tidak berpihak pada upaya-upaya untuk memberikan penguatan pengaturan hak korban pemerkosaan ataupun kekerasan seksual. Padahal data survei Lentera Sintas Indonesia pada 2016 terhadap 25.213 responden korban kekerasan seksual ditemukan 93 persen korban pemerkosaan tidak melaporkan kasusnya, salah satu alasan mendasar adanya ketakutan dengan narasi menyalahkan korban.
Survei terbaru IJRS dan Infid pada 2020 juga menujukkan bahwa 57,4 persen responden yang pernah mengalami kekerasan seksual menyatakan aparat penegak hukum tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual. Dengan adanya pernyataan ini, aktor tingkat tinggi (high level) yang seharusnya memberi jaminan hak korban, justru semakin tidak berpihak pada korban.
Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala menegaskan, pemerkosaan bukanlah hal sepele. Karena pemerkosaan adalah tindak pidana yang amat merendahkan martabat korban dan menimbulkan penderitaan seumur hidup bagi korban.
Adat zaman dulu
Menanggapi hal tersebut, Mahfud MD kepada Kompas, Minggu (21/2/2021), menyatakan bahwa dia telah mengklarifikasi pernyataan tersebut. ”Menurut saya, beberapa media sudah menulis berita dan statement saya dengan benar, tapi beberapa media daring yang tak jelas lembaganya sengaja membelokkan beritanya,” ujar Mahfud.
Mahfud menegaskan, dalam Rapim TNI/Polri, dia menyampaikan bahwa di dalam keadilan restoratif, hukum adalah membangun harmoni, bukan untuk mencari menang dan kalah, dan bukan sekadar untuk menghukum orang salah dan jahat. Yang juga harus dilindungi dalam keadilan restoratif adalah korban, bukan hanya menghukum pelaku.
Keadilan restoratif berakar dari budaya dan adat Indonesia. Bahkan, dulu orang yang tertangkap memperkosa hukumannya tidak diumumkan ke masyarakat melalui pengadilan terbuka.
Mengapa? Karena kalau begitu penjahatnya bisa dihukum, tapi si korban, yakni perempuan yang diperkosa, bisa malu karena sudah ternoda, korban tersebut bisa dijauhi oleh masyarakat karena dianggap kotor.
Maka, di dalam adat zaman dulu ada juga pelaku kejahatan yang disembunyikan, bahkan disuruh lari dulu agar si korban dan keluarganya tidak malu. Itu keadilan restoratif zaman dulu, bukan zaman sekarang.
”Tapi saya bilang itu berlaku di adat di masa lalu, kalau sekarang tak boleh lagi seperti itu. Pemerkosa ya harus diseret ke pengadilan. Restorative justice perlu tetap diambil nilai moralnya saja, yakni membangun harmoni dan tidak mempermalukan korban,” paparnya.
Ia pun mencontohkan bahwa untuk hal-hal yang sepele seperti orang mencuri empat kakao atau mencuri semangka atau mencuri buah di kebun anaknya, atau denda yang kecil karena tilang, tak usah dibawa ke pengadilan.
Sebelumnya, Jumat (19/2/2021), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga meminta klarifikasi dan pada Menko Polhukam atas pernyataan yang dimuat sejumlah media terkait keadilan restoratif dalam kasus pemerkosaan, yang dinilai mencederai rasa keadilan korban.
Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dalam klarifikasi lisan Mahfud menyatakan bahwa keadilan restoratif adalah praktik yang sudah dikenali masyarakat Indonesia, di mana penekanan dalam penyelesaian kasus adalah membangun harmoni dan kebersamaan, bukan semata tentang pemidanaan pelaku.
Adapun contoh pemerkosaan tidak dimaksudkan untuk mengarahkan penyelesaian di luar pengadilan pada kasus pemerkosaan, melainkan menangkap semangat untuk pelindungan korban selain pemidanaan pelaku. Arah penerapan keadilan restoratif dengan penyelesaian di luar pengadilan hanya pada tindak pidana ringan atau hal-hal yang sepele dan bukan pada kasus pemerkosaan.
”Komnas Perempuan menyambut baik klarifikasi oleh Menko Polhukam dan mendorong agar klarifikasi disampaikan secara resmi guna mencegah salah persepsi lebih lanjut mengenai arah pelaksanaan restorative justice, dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,” tambah Siti Aminah Tardi, komisioner Komnas Perempuan yang juga bersama tiga komisioner lain, Rainy M Hutabarat, Theresia Iswarini, dan Mariana Amiruddin.
Klarifikasi tersebut penting karena praktik mengawinkan korban dengan pelaku pemerkosaan ataupun mengusir korban dari komunitasnya masih banyak terjadi atas nama keharmonisan komunitas dan nama baik korban (dan keluarga). Praktik ini ditengarai lebih untuk menghentikan proses hukum sehingga meneguhkan impunitas pelaku.
Padahal, praktik mengawinkan korban dengan pelaku pemerkosaan merupakan pemaksaan perkawinan yang memiliki dampak jangka panjang terhadap korban. Selain masih mengalami trauma sehingga memerlukan pemulihan, praktik ini juga menempatkan korban terus dalam kerentanan pada kekerasan di dalam perkawinannya.
Karena itu, sudah seharusnya semua pihak, masyarakat maupun pemerintah, memberi perlindungan kepada korban pemerkosaan, termasuk mendukung proses Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang di dalamnya juga melindungi korban pemerkosaan.