Kemendikbud: Tak Benar, Tunjangan Profesi Hanya untuk Guru Berprestasi
Mutu hasil pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari sisi guru, siswa, maupun sistem pendidikan secara menyeluruh. Mengaitkan mutu hasil pembelajaran dengan tunjangan profesi guru dinilai tidak tepat.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membantah bahwa tunjangan profesi hanya akan diberikan kepada guru berprestasi. Tunjangan profesi tetap diberikan kepada guru apa pun yang memenuhi beban mengajar sekurang-kurangnya 24 jam dan mengajar sesuai dengan sertifikat pendidiknya.
Hal itu ditegaskan oleh Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno, Jumat (29/1/2021), di Jakarta.
Apabila ada pemberitaan yang menyebut tunjangan profesi hanya akan diberikan kepada guru berprestasi, kami tegaskan itu tidak benar. Pemberitaan tentang penghapusan tunjangan profesi guru juga tidak benar.
”Apabila ada pemberitaan yang menyebut tunjangan profesi hanya akan diberikan kepada guru berprestasi, kami tegaskan itu tidak benar. Pemberitaan tentang penghapusan tunjangan profesi guru juga tidak benar,” katanya.
Totok menyampaikan, kebijakan tunjangan profesi guru akan masih memakai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pada Pasal 15 Ayat (1) UU No 14/2005 disebutkan, penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, fungsional, khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya.
Kemudian, dalam Pasal 16 UU No 14/2005 dijelaskan, tunjangan profesi diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan ataupun satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Tunjangan profesi dialokasikan dalam APBN dan/atau APBD.
”Terobosan kebijakan Merdeka Belajar dirancang untuk menghadirkan solusi terbaik bagi guru dan siswa,” kata Totok.
Sebelumnya, saat menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Rabu (27/1/2021), Totok mengatakan, tunjangan profesi guru belum berpengaruh nyata terhadap hasil belajar siswa. Menurut dia, hal itu pernah diteliti oleh Bank Dunia.
Dalam draf Peta Jalan Indonesia 2020-2035, kata Totok, guru diposisikan sebagai pemilik dan pembuat kurikulum. Guru sebagai fasilitator dari berbagai sumber pengetahuan. Pelatihan guru akan didasarkan pada praktik. Semua guru yang mengabdi harus mendapatkan penghasilan yang layak. Penghargaan lebih akan diberikan kepada guru dengan kompetensi yang baik.
Pengurus Serikat Guru Indonesia Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Mansur, saat dihubungi terpisah, menjelaskan, selama ini tunjangan profesi guru dibayarkan kepada pendidik yang punya sertifikat, mengajar 24 jam pelajaran per minggu, dan ketidakhadiran maksimal tiga hari berturut-turut atau tujuh hari tidak berurutan dalam satu bulan.
Kehadiran guru diverifikasi oleh dinas pendidikan. Jadi, pemerintah pusat tidak selalu melakukan verifikasi langsung.
Menurut dia, keberadaan tunjangan profesi guru tidak berkaitan dengan mutu pendidik saat mengajar kepada siswa. Mutu seorang guru dalam mengajar berhubungan dengan sistem pendidikan keguruan, karakter, kompetensi pribadi, hingga tata kelola pembinaan pendidik.
”Untuk mutu guru, saat ini kami belum melihat ada instrumen pengontrolan pemerintah yang efektif dan berhubungan dengan gaji ataupun tunjangan. Kecuali, untuk kenaikan pangkat atau penghargaan lain, kami mengamati sudah ada ketentuan mengukur kualitas guru secara aturan meskipun itu pun tak selalu berjalan baik,” ujar Mansur.
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Suparman memandang, hasil penelitian Bank Dunia–yang disebut Kemendikbud– mengaitkan pemberian tunjangan profesi guru dengan mutu hasil belajar siswa tidak dapat dijadikan rujukan untuk membuat kebijakan. Pasalnya, mutu hasil pembelajaran siswa melibatkan aneka variabel, antara lain manajemen kepala sekolah, kelengkapan sarana, latar belakang siswa, dan kebijakan pemerintah.
”Mutu hasil belajar siswa tidak bisa hanya dilihat dari faktor guru semata,” katanya.
Hubungan yang minim dialog guru-siswa tidak bisa dilepaskan dari proses birokratisasi. Ini cenderung menjadikan guru bukan sebagai sosok intelektual transformatif, tetapi lebih menjadikan mereka yang menjalankan administrasi kepegawaian.
Menurut Suparman, rekomendasi tentang status guru yang dikeluarkan oleh UNESCO dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada tahun 1966 pernah dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan rancangan undang-undang guru oleh Kemendiknas pada tahun 2000. Salah satu isi rekomendasi adalah penilaian terhadap guru tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan, apalagi menghilangkan penghasilan.
”Kami harap, untuk sekarang, Kemendikbud wajib menyampaikan klarifikasi bahwa tunjangan profesi tetap sesuai ketentuan lama. Dengan demikian, di kalangan guru tidak kembali timbul keresahan dan mengganggu ketenangan selama bekerja,” ujarnya.