Pandemi Covid-19 memunculkan kerentanan-kerentanan dalam pendidikan yang berpotensi membalikkan kemajuan yang telah dicapai. Perlu komitmen semua pemangku kepentingan pendidikan untuk mencegah generasi yang hilang.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 telah mengubah model pembelajaran secara drastis. Ketika sekolah ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19 mulai pertengahan Maret 2020 dan lebih dari 60 juta siswa harus belajar di rumah, hampir semua sekolah berusaha bertransformasi ke pembelajaran daring atau dalam jaringan.
Hampir semua tidak siap. Pembelajaran di masa pandemi berlangsung di tengah-tengah upaya guru untuk terus beradaptasi menggunakan teknologi digital. Kemampuan sumber daya yang berbeda memengaruhi adaptabilitas guru. Akses ke teknologi digital dan internet yang tidak merata membuat kualitas pembelajaran menjadi semakin beragam.
Mengacu data Pusat Statistik 2019, sekitar 23 persen siswa di perkotaan dan 35,31 persen siswa di pedesaan belum menggunakan telepon seluler. Penetrasi internet baru 66,22 persen, di perkotaan rata-rata 78,08 persen dan di pedesaan hanya 51,91 persen. Harga kuota internet juga belum terbilang murah.
Gerakan masyarakat untuk mendukung pendidikan muncul meski masih parsial, baik dalam bentuk menggalang donasi telepon genggam maupun menyediakan layanan internet nirkabel (wifi) secara gratis. Berbagai upaya juga dilakukan pemerintah mulai dari relaksasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) hingga bantuan kuota internet.
Namun sejumlah siswa tetap terkendala akses ke teknologi digital dan internet, terutama di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Guru kunjung menjadi solusi untuk menjangkau mereka meski tak jarang terkendala kondisi geografis, dan risiko penularan Covid-19. Program belajar di rumah melalui televisi dan radio, juga penyediaan modul pembelajaran tetap membutuhkan peran guru.
Krisis akses ini berimplikasi kepada krisis kualitas karena siswa kesulitan memahami pelajaran, bahkan tidak belajar. Kajian Bank Dunia yang dipublikasi pada 18 Juni 2020 menunjukkan, pandemi dapat mengakibatkan hilangnya kualitas pendidikan sekolah selama 0,6 tahun. Efektivitas tahun sekolah dasar menurun dari 7,9 tahun menjadi 7,3 tahun.
Penutupan sekolah juga dapat berdampak menurunkan nilai ujian rata-rata hingga 25 persen. Kendala PJJ diperkirakan membuat anak-anak Indonesia kehilangan 11 poin pada skala membaca (literasi) program penilaian siswa internasional (PISA).
Berkurangnya paparan kegiatan belajar yang rutin karena berkurangnya interaksi guru dan siswa berpotensi membuat siswa kehilangan pengalaman belajar (lost learning) dan menurun kemampuan belajarnya. Estimasi Bank Dunia, penutupan sekolah hingga Juli 2020 saja, pencapaian PJJ rata-rata hanya 33 persen dari hasil pembelajaran di kelas.
Kajian terbaru Bank Dunia menunjukkan, penutupan sekolah juga berpotensi mendorong siswa sekolah dasar ke dalam kemiskinan belajar (learning poverty) atau tidak dapat membaca dan memahami teks sederhana di usia 10 tahun. Pada 2019 Bank Dunia memperkirakan tingkat kemiskinan belajar di Indonesia lebih dari 30 persen.
Semua siswa terdampak, tetapi dampaknya berbeda sesuai modalitas sumber daya yang mereka miliki. Karena itu, perubahan pembelajaran secara drastis ini juga berisiko membalikkan kemajuan pendidikan yang telah dicapai sebelum pandemi. Kesenjangan digital berpotensi memperdalam ketidaksetaraan pendidikan antara siswa dari keluarga kaya dengan siswa dari keluarga miskin.
Krisis akibat pandemi yang berdampak pada perekonomian masyarakat membuat sejumlah anak dari keluarga miskin harus keluar dari sekolah untuk bekerja, atau menikah untuk meringankan beban ekonomi orangtua. Akses pendidikan yang telah meningkat sebelum pandemi pun terancam menurun.
Adaptasi baru
Penggunaan teknologi digital untuk pembelajaran memang membantu menjaga keberlanjutan pendidikan di masa pandemi sekaligus menjaga keamanan siswa dari risiko paparan virus korona baru. Namun, teknologi digital bukanlah obat mujarab untuk mengatasi kendala pendidikan akibat pandemi.
Pendidikan harus dibangun di dalam ruang interaksi antara guru dan murid. Membuka sekolah akan dapat mencegah dampak krisis akses dan krisis kualitas semakin besar. Namun membuka sekolah di tengah kasus Covid-19 yang masih terus bertambah berisiko terjadi penyebaran virus korona baru di sekolah meski pembelajaran tatap muka diselenggarakan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Sekolah/guru harus terus beradaptasi. Peningkatan kapasitas sekolah dan guru untuk memanfaatkan teknologi digital harus berkelanjutan untuk pembelajaran yang berkualitas. Pembelajaran tatap muka, jika bisa dilakukan di masa pandemi ini, tetap tidak meninggalkan pembelajaran daring.
Pembelajaran daring tetap harus dilanjutkan untuk memfasilitasi siswa yang tidak mendapatkan izin orangtua mengikuti pembelajaran tatap muka. Sekolah juga harus siap kembali ke pembelajaran daring lagi jika pembelajaran tatap muka harus dihentikan karena kasus Covid-19 di sekolah.
Sekolah juga harus membangun kolaborasi dengan orangtua untuk mendampingi dan mengontrol pembelajaran anak. Pandemi ini telah menunjukkan bahwa orangtua dan masyarakat pada umumnya merupakan komponen kunci keberhasilan pendidikan.
Pandemi COVID-19 telah mempercepat transformasi pendidikan secara digital dan sistem pendidikan pun telah beradaptasi dengan cepat untuk itu. Kolaborasi antar kementerian dibutuhkan untuk mendukung kebijakan ini, terutama untuk memperluas akses internet dan listrik.
Untuk memperluas akses ke teknologi digital, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memutuskan melanjutkan program digitalisasi sekolah dan menempatkan program ini sebagai program prioritas pada 2021. Meskioun demikian, bantuan kuota internet tetap diperlukan dengan prioritas pada mereka yang lebih membutuhkan dukungan.
Pandemi telah membentuk wajah baru pendidikan yang lebih adaptif terhadap bencana dan lebih siap menghadapi era revolusi industri 4.0. Namun, pandemi juga memunculkan kerentanan-kerentanan dalam pendidikan. Kini waktunya untuk memperkuat komitmen pendidikan untuk memberi hak atas pendidikan kepada semua anak bangsa tanpa meninggalkan satu anak pun di belakang